Sejarah Kemegahan Masjid Dian Al-Mahri
Bahan pembangunan masjid hampir sebagian besar didatangkan dari luar negeri.
REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Masjid Dian Al-Mahri terletak di Jalan Raya Maruyung, Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat. Bila India punya Taj Mahal yang dibangun oleh Kaisar Mughal Shah Jahan untuk istri tercinta, maka Indonesia punya Masjid Dian Al- Mahri yang dibangun oleh sepasang suami istri Maimun Al-Rasyid dan Dian Al-Mahri.
Masjid Dian Al-Mahri menjadi salah satu masjid termegah di Asia Tenggara. Tidak heran bila masjid yang dikenal dengan sebutan Masjid Kubah Emas ini banyak dikunjungi oleh masyarakat dari luar daerah.
Pengurus Masjid Dian Al-Mahri, Karno, mengatakan Masjid Dian Al-Mahri dibangun sejak Maret 1999 dan pertama kali diresmikan pada 31 Desember 2006. Masjid mulai digunakan rutin oleh jamaah pada awal 2007 hingga sekarang.
Pembangunan masjid yang memakan waktu cukup lama ini bukan tanpa alasan. Menurut Karno, bahan pembangunan masjid hampir sebagian besar didatangkan dari luar negeri dan almarhumah Dian Al-Mahri yang memilih langsung bahan-bahan tersebut.
“Karena beberapa material yang digunakan membangun masjid ini kebanyakan didatangkan dari luar negeri seperti granit, marmer, mozaik emas, dan lampu gantung di dalam masjid. Jadi pendirinya ini, Dian Juriah dan Maimun Arsyid, memang ingin mendirikan sebuah masjid yang lebih bagus dari rumah beliau dan alhamdulillah terealisasi,” kata Karno saat ditemui di kantor Masjid Dian Al-Mahri, beberapa waktu lalu.
Masjid Dian Al-Mahri memiliki lima kubah yang seluruhnya dilapisi oleh emas 24 karat. Kubah utamanya memiliki diameter bawah 16 meter, diameter tengah 20 meter dan tinggi 125 meter. Selain kubah, Masjid Dian Al-Mahri juga memiliki enam menara yang juga dilapisi emas.
“Kubah masjid yang berjumlah lima ini melambangkan rukun Islam dan jumlah menara yang enam ini melambangkan rukun Iman,” kata Karno.
Masjid Dian Al-Mahri memiliki luas 40x60 meter pada bagian dalam masjid. Sedangkan di selasar masjid 60x60 meter, sehingga luas keseluruhan masjid sekitar 6.000 meter persegi.
Pada bagian dalam, Masjid Dian Al-Mahri dapat menampung 5.000 jamaah. Sedangkan bila menghitung dengan selasar masjidnya maka puluhan ribu jamaah bisa menempati masjid tersebut.
"Kalau shalat Idul Fitri, bahkan jamaah (penuh) sampai ke halaman (taman) masjid," kata Karno.
Karno mengatakan nama Dian Al-Mahri menjadi nama masjid sengaja dilakukan oleh Maimun Al-Rasyid untuk membahagiakan istrinya. “Sebenarnya yang membangun itu suami istri, cuma mungkin pak Haji (Maimun) ingin membahagiakan istrinya,” kata Karno.
Sejak berdiri, masjid ini juga aktif diisi oleh kegiatan harian yang bisa diikuti masyarakat umum. Misalnya, pada Sabtu dan Ahad puku 11.00 sampai sebelum azan zhuhur akan diisi kajian atau ceramah umum.“Penceramahnya ganti-ganti dalam satu bulan,” kata Karno.
Selain kajian rutin, kegiatan rutin di Masjid Dian Al-Mahri adalah pengajian kitab Maroqil Al-Ubudiyaj yang diisi langsung oleh KH. Muhammad Junaidi. Pengajian kitab ini sudah dimulai sejak 2012 dan dilakukan setiap Selasa malam Rabu pada pekan kedua dan Selasa malam Rabu pada pekan keempat.
“Sebulan dua kali. Dan setiap dua bulan sekali kita adakan zikir akbar Hizib Hirzul Jausyan dan kadang-kadang diselingi Qosidah Burdah,” kata Karno
Masjid Dian Al-Mahri juga melakukan kegiatan rutin Isra Mi’raj, Maulid Nabi, Nuzulul Quran. Kemudian setiap menjelang Ramadhan, Masjid Dian Al-Mahri juga mengadakan shalat sunnah tarawih sebanyak 20 raka’at ditambah tiga rakaat solat witir. Kemudian setiap malam 17 Ramadhan akan mengadakan malam Nuzulul Qur’an dan di malam 10 hari terakhir di bulan Ramadhan diadakan iktikaf bersama.
“Iktikaf dimulai dari pukul 02.00. Sebelum shalat jamaah kita adakan muhasabah atau ceramah umum diteruskan dengan solat malam berjamaah dan dilanjutkan dengan makan sahur bersama. Untuk konsumsi makan sahur sudah disiapkan dari masjid,” ujarnya.
Jamaah biasanya meramaikan masjid di 10 hari pertama Ramadhan dan 10 hari terakhir Ramadhan atau saat iktikaf. Bahkan kata dia, jamaah yang datang bisa mencapai 700 sampai 1.000 orang.
“Dari malam sampai selesai shalat subuh. Mereka ada yang lanjut iktikaf di sini sampai siang, sampai ketemu tarawih lagi tapi yang kerja biasanya pulang lalu malam balik lagi,” kata Karno.
Sedangkan pada malam Nuzulul Qur’an, biasanya kegiatan dimulai usai shalat subuh dengan ‘semaan’. Semaan merupakan tradisi membaca dan mendengarkan pembacaan Alquran 30 juz.
“Semaan Alquran juz 1-30 tapi juz amma (juz 30) yang beberapa surat nanti dilanjut bacaannya saat solat tarawih,” ujarnya.
Setelah itu, khusus di malam Nuzulul Quran, selepas shalat tarawih dilanjutkan dengan zikir Qosidah Burdah atau Hizib Jausyan dan ceramah agama. Setelah itu, semua jamaah akan dipersilakan untuk makan bersama-sama.
Karno menambahkan, Imam shalat tarawih setiap harinya akan membacakan satu juz Al-qur’an. Sehingga selama satu bulan Ramadhan mengkhatamkan satu kali Alquran.
“Di sini meskipun (yang dibaca) 1 juz (tapi) banyak jamaahnya, karena imamnya selain hafal suaranya enak juga jadi jamaah tidak merasa lama,” ucapnya.