Talangi Dampak Covid-19, Waspadai Utang Negara

Relaksasi devisit anggaran dinilai terlalu lama.

Antara/Akbar Tado
Sejumlah bantuan sembako dari Presiden Joko Widodo.
Rep: Adinda Pryanka Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance Abdul Manap Pulungan menilai, jangka waktu tiga tahun untuk relaksasi pelebaran defisit merupakan jangka waktu yang terlalu lama. Dua tahun menjadi periode ideal yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menambah belanja.


Abdul menyebutkan, pandemi virus corona (Covid-19) yang terjadi di Indonesia memang menuntut pemerintah untuk meningkatkan belanja. Hanya saja, pemerintah harus memperhatikan konsekuensi yang akan dihadapi, yaitu penumpukan utang untuk menutupi defisit anggaran.

Berkaca dari histori kemampuan pembiayaan Indonesia, Abdul pesimistis, penambahan utang itu bisa dimanfaatkan pemerintah secara efektif dan efisien. Pengelolaan anggaran selama ini dinilai buruk, seperti banyaknya anggaran daerah yang tidak terserap. "Oleh karena itu, saya rasa (relaksasi defisit) sampai 2021 cukup," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (31/3).

Apabila terlalu lama, Abdul cemas, kapasitas fiskal justru akan ‘jebol’. Utang terus bertambah, sedangkan kemampuan untuk mengembalikannya tidak membaik karena pengelolaan anggaran yang buruk.

Batasan dua tahun juga merujuk pada prediksi dari beberapa lembaga keuangan internasional. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) maupun Bank Dunia (World Bank) memprediksi, ekonomi global sudah mulai pulih pada 2021. "Kita berharap, Indonesia juga sudah pulih di saat yang sama," ujar Abdul.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah meneybutkan, pelebaran defisit dibutuhkan untuk memberikan stimulus di tengah tekanan ekonomi akibat Covid-19. Meski nominalnya masih kecil jika dibandingkan stimulus negara lain, iin menjadi breakthrough yang berani dan dibutuhkan di tengah pandemi.

Hanya saja, Piter menekankan, pemerintah juga harus menyiapkan dan menjelaskan skenario pembiayaan dari pelebaran defisit tersebut. Termasuk memperjelas rencana penerbitan recovery bond seperti yang sudah disampaikan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono sebelumnya.

Skenario lain yang berpotensi dilakukan adalah pendekatan quantitative easing oleh Bank Indonesia. Tapi, Piter mengatakan, ketentuan yang melarang BI untuk melakukan kuasi fiskal juga harus dipertimbangkan. "Hal ini perlu diperjelas oleh pemerintah," tuturnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk relaksasi defisit APBN. Ia menyebutkan adanya kemungkinan terjadi defisit anggaran yang diperkirakan mencapai 5,07 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dari ketentuan di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni tiga persen.

Tapi, Jokowi mengatakan, relaksasi defisit hanya berlaku untuk tiga tahun, yakni 2020 sampai dengan 2022. "Setelah itu, kita kembali ke disiplin fiskal tiga persen mulai 2023," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa.

Jokowi mengatakan, dirinya baru saja menandatangani Perppu tersebut. Ia mengharapkan dukungan dari DPR agar beleid hukum itu dapat segera diundangkan dan dilaksanakan untuk menahan tekanan ekonomi akibat Covid-19. "Dan dalam waktu secepatnya kami akan menyampaikan ke DPR RI untuk mendapat persetujuan menjadi UU," ucap Jokowi.

Pelebaran defisit juga sudah pernah dikonfirmasi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Belanja pemerintah yang bertambah seiring dengan upaya antisipasi Covid-19 di Indonesia membuat defisit berpotensi dari target dalam Undang-Undang APBN 2020, yakni 1,76 persen atau sekitar Rp 307,2 triliun. n

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler