Covid-19 dan Brutalnya Oknum Aparat
Pengerahan aparat menangkal Covid-19 di Kenya tewaskan warga.
REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Merebaknya wabah Covid-19 membuat pemerintahan di berbagai negara menerapkan keadaan darurat dengan mengerahkan aparat keamanan guna menegakkan karantina maupun pembatasan sosial. Di Kenya, penggunaan kekuatan aparat tersebut justru menimbulkan korban jiwa.
Associated Press (AP) melaporkan, seorang anak berusia 13 tahun meninggal saat menyaksikan aparat kepolisian menertibkan warga dari balkon rumah mereka pada Selasa (31/3). Ia tertembak peluru dari senjata aparat yang ditembakkan untuk membubarkan warga yang berkerumun di pinggiran kota Nairobi.
Aisha Hussein (19 tahun) menceritakan, adiknya saat itu menonton pembubaran kerumunan warga bersama saudara-saudranya yang lain. Tiba-tiba, letusan senapan menyalak. "Ibu, saya kena tembakan," kata korban bernama Yasin Hussein Moyo itu kepada ibundanya sebelum menghembuskan nafas terakhir, seperti dituturkan Aisha kepada AP. Yasin saat itu tertembak di bagian perut.
Sang bocah langsung dimandikan seturut syariat Islam, dibopong jenazahnya, dan dimakamkan tak jauh dari kediaman mereka. Penembakan yang berujung kematian tersebut, menurut AP, adalah contoh terkini dari brutalitas aparat di sejumlah negara Afrika yang menerapkan darurat sipil guna mencegah merebaknya Covid-19.
Kepala kepolisian Kenya sejauh ini telah memerintahkan investigasi atas kejadian "peluru nyasar" tersebut. "Kami menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban," tis Kepolisian Kenya dalam cicitan di akun Twitter resmi mereka.
Terlepas dari upaya itu, ayah korban, Hussein Moyo, masih menyimpan kegeramannya. "Polisi-polisi itu membentak-bentak dan memukuli kami seperti sapi. Padahal kami warga yang taat hukum," ujarnya di sela-sela pemakaman.
Pemerintah Kenya mulai menerapkan kebijakan jam malam sejak Jumat pekan lalu. Sejak itu juga aparat kepolisian dikerahkan melakukan penertiban. Saksi mata melaporkan, upaya penertiban yang dilakukan kepolisian melibatkan penembakan gas air mata dan pemukulan terhadap warga.
Sebelum kejadian di Nairobi, seorang pengemudi ojek di Mombassa, Hamisi Juma Mbega, juga meninggal akibat luka-luka bekas pukulan aparat kepolisian, akhir pekan lalu. Merujuk laporan post-mortem yang diperoleh AP, Hamisi dipukuli sebab melanggar jam malam karena harus mengantarkan seorang perempuan hamil ke rumah sakit di Mombassa. Komisi Pengawas Kepolisian Kenya juga melaporkan tengah menyelidiki kematian seorang pengemudi becak di wilayah Homa Bay akibat brutalitas aparat.
Kelompok pegiat hak asasi manusia, gereja Katolik, bahkan Kementeriab Kesehatan Kenya telah melayangkan kecaman atas brutalitas aparat tersebut. "Warga harus diperlakukan secara manusiawi, kata Sekretaris Kabinet Bidang Kesehatan Kenya, Mutahi Kagwe. Sejauh ini pemerintah Kenya telah mendeteksi 59 kasus Covid-19 di negara itu dengan korban seorang meninggal.
Penggunaan kekuatan kepolisian guna menegakkan kebijakan pemerintah menangkal Covid-19 juga memunculkan kekhawatiran di Inggris. Sejumlah oknum kepolisian dilaporkan bertindak semena-mena dalam menertibkan masyarakat. "Beberapa anggota kepolisian Inggris agaknya bertindak terlalu jauh," kata Menteri Perhubungan Inggris, Grant Shapps kepada Sky News, Selasa (31/3).
Hal itu ia sampaikan selepas pemerintah Ingris menjalankan undang-undang darurat yang memberikan kepolisian kewenangan menindak orang-orang yang enggan mematuhi pembatasan sosial yang diberlakukan sejak beberapa waktu lalu.
Aljazirah melaporkan, beberapa oknum polisi di Inggris dituding melampaui kewenangan mereka dengan menggunakan drone untuk memata-matai warga, sampai melarang toko-toko menjual telur paskah karena dinilai bukan kebutuhan pokok. "inilah wujudnya negara polisi," kata mantan hakim agung Inggris, Jonathan Sumption, kepada BBC. Di jagad maya Inggris, tagar #policestate alias "negara polisi" juga jadi trending topic.
Sementara di Indonesia, pemerintah urung menerapkan darurat sipil yang bakal memberikan kewenangan pada TNI-Polri menindak pelanggaran pembatasan sosial skala besar yang dijalankan. Kendati demikian, laporan soal oknum aparat yang berlebihan sudah muncul.
Kapolri Jenderal Idham Azis sampai-sampai harus meminta maaf atas perlakuan anggotanya yang membentak-bentak warga saat melakukan pembubaran dalam rangka minimalisasi penularan Corvid-19. Idham mengucapkan permintaan maafnya dalam rapat daring bersama Komisi III DPR RI, Selasa (31/3). "Saya mohon maaf kalau di beberapa tempat ada anggota saya yang sedikit agak berbicara kasar dalam rangka membubarkan masyarakat," kata Idham.
Kapolri mengatakan, anggotanya bisa saja melakukan pembubaran dengan cara yang kurang persuasif karena sudah mengalami kelelahan. Namun Idham menegaskan, apapun alasannya, tindakan tersebut tidak benar. "Mungkin karena dia capek atau apa, tapi itu tidak ada alasan bagi kita sebagai institusi Polri untuk membenarkan hal yang tidak benar," ujar Idham.
Idham pun meminta para pimpinan kepolisian di daerah agar mengingatkan para anggotanya untuk tetap mengedepankan pendekatan humanis dalam menghadapi masyarakat. Terutama, terkait pembubaran kegiatan berkumpul demi mengantisipasi masalah Covid-19 ini.
"Kewajiban moral saya bersama seluruh senior di Polri dan para Kapolda dalam meluruskan anak kita di lapangan supaya tetap melaksanakan secara persuasif dan humanis," ujar Idham.
Jenderal bintang empat ini juga mengingatkan, pendekatan humanis dan persuasif ini telah tertuang dalam Maklumat Kapolri yamg ia keluarkan beberapa waktu lalu terkait penanganan Covid-19 ini.
Dalam Maklumat Kapolri bernomor Mak/2/III/2020 pada 19 Maret 2020 itu, masyarakat diminta tidak mengadakan kegiatan sosial yang melibatkan banyak orang atau massa dalam jumlah besar.
Kegiatan yang dimaksud dapat berupa pertemuan sosial, budaya dan keagamaan seperti seminar, lokakarya, sarasehan, konser musik pekan raya, festival, bazar, pasar malam, pameran dan resepsionis keluarga, olahraga, kesenian dan jasa hiburan.
Atas dasar itu, Polri tak segan menindak secara hukum kepada masyarakat yang menolak dibubarkan saat berkumlil. Pembubaran itu berlandaskan Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 214 KUHP, Pasal 126 ayat (1) KUHP, dan Pasal 128 KUHP.
Bila masyarakat menolak atau melawan aparat, Polri mengancam bakal menjerat dengan pasal pidana. Ancaman hukumannya mulai dari empat bulan hingga tujuh tahun bagi mereka yang menolak dengan kekerasan. n