Istana Ungkap Alasan Presiden Pilih PSBB Dibanding Lockdown
Istana mengungkap alasan presiden pilih PSBB dibanding lockdown untuk atasi corona.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki pertimbangan memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengatasi peredaran virus corona SARS-CoV2 atau Covid-19. Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro mengatakan, Presiden Jokowi menilai PSBB merupakan pilihan yang paling rasional di antara beberapa opsi kebijakan percepatan penanganan Covid-19.
Juri mengungkapkan, keputusan Presiden Jokowi membuat peraturan pemerintah (PP) nomor 21 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga mempertimbangkan penyelamatan warga negara dari wabah virus ini, termasuk karakteristik bangsa ini dengan pulau-pulau yang tersebar di nusantara, jumlah penduduk, serta demografi yang begitu besar. "Termasuk juga pertimbangan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat," ujarnya saat video conference di akun Youtube saluran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bertema pembatasan sosial berskala pesar PP 21/2020, Rabu (1/4).
Juri juga mengatakan, kebijakan ini diambil untuk melanjutkan yang telah dilakukan pemerintah maupun gugus tugas selama ini dalam percepatan penanganan Covid-19. "PSBB dilakukan untuk membatasi kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi virus dan bisa mencegah kemungkinan penyebaran Covid-19," katanya.
Juri melanjutkan, penerapan PSBB sama seperti yang selama ini sudah berjalan, misalnya peliburan sekolah dan belajar di rumah, bekerja di rumah, pembatasan kegiatan keagamaan, hingga pembatasan kegiatan di fasilitas umum. "Bedanya, usai PP ini diterbitkan, presiden ingin pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar yang lebih tegas, efektif, terkoordinasi, dan disiplin," ucapnya.
Karena itu, ada dasar hukum bagi gugus tugas mengambil kebijakan yang penting dalam pembatasan lalu lintas arus orang dan barang. Kendati demikian, ia menegaskan, pemerintah daerah yang ingin menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang di kabupaten tertentu harus mengusulkannya terlebih dahulu dan mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto.
Kemudian, Menkes meminta pertimbangan ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 untuk menetapkan apakah disetujui jika di daerah itu diterapkan pembatasan sosial berskala besar. Selain kepala daerah, usulan tersebut juga bisa diajukan oleh gugus tugas setempat. Apabila Menkes menerima usulan itu untuk wilayah atau daerah tertentu melaksanakan kebijakan ini, daerah tersebut wajib melaksanakan keputusan usulan itu.
"Artinya, tidak semua daerah dapat langsung melakukan pembatasan sosial berskala besar karena PSBB didasarkan pertimbangan menyangkut epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas dukungan sumber daya manusia (SDM), teknis operasional, pertimbangan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan keamanan," katanya.
Selain itu, untuk jumlah kasus atau kematian akibat penyakit yang meningkat secara cepat dan adanya kaitan epidemiologis di daerah lain, hal tersebut bisa diatur dengan kebijakan sosial berskala besar. Jika PSBB telah ditetapkan Menkes, ia menegaskan, pemerintah daerah wajib melaksanakan dan memperhatikannya sebagaimana diatur Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yaitu terkait apa yang dapat dilakukan, tidak boleh dilakukan, serta apa yang menjadi tanggung jawab dan diberikan pemerintah.
"Pembatasan sosial berskala besar ini harus terkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak sesuai ketentuan UU," ucapnya.