Siti Manggopoh, Mujahidah Perang Belasting (Bagian 1)
Sambil meneriakkan takbir, Siti dan pasukannya melawan para serdadu Belanda
REPUBLIKA.CO.ID, Di Minangkabau, kaum perempuan memiliki keistimewaan tersendiri. Salah satunya, bisa dilihat dari sistem kekerabatan matrilinieal yang diusung oleh masyarakat setempat. Di Ranah Minang, perempuan tidak sekadar menjadi simbol kehormatan sebuah keluarga, tapi juga menjadi syarat kelangsungan eksistensi suatu kaum.
Jauh sebelum kampanye emansipasi perempuan ramai digembar-gemborkan oleh para aktivis masa kini, orang Minangkabau sudah lebih dulu memberikan penghargaan dan tempat terhormat bagi kaum Hawa. Karenanya, tidak usah heran jika daerah itu banyak melahirkan pejuang-pejuang perempuan yang tangguh. Sebut saja, Rohana Kudus, HR Rasuna Said, Rahmah el-Yunusiyah, dan Siti Manggopoh.
Nama yang terakhir disebutkan mungkin termasuk jarang didengar oleh publik di negeri ini, bahkan oleh kebanyakan generasi muda Minang hari ini sekalipun. Padahal, jika kita menelusuri kembali sepak terjangnya di masa lampau, perjuangan yang dilakukan Siti Manggopoh tidak bisa dianggap enteng. Sesuai namanya, Siti lahir di Nagari Manggopoh, Agam, Sumatra Barat, pada Mei 1880. Dia adalah bungsu dari enam bersaudara. Semua kakaknya laki-laki.
Masa kecil Siti dihabiskan di kampung halamannya. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang memegang teguh ajaran Islam, dia tumbuh menjadi seorang gadis pemberani. Bahkan, beberapa catatan tentang dirinya menyebutkan, teman-teman sebayanya yang pria pun merasa segan untuk sekadar menggodanya.
Seperti gadis Minang pada umumnya di masa itu, Siti belajar mengaji di surau. Dia mendapat pendidikan keterampilan perempuan dari ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya. Tak hanya itu, Siti juga melengkapi dirinya dengan ilmu bela diri.
Ketika usianya beranjak dewasa, Siti pun diminta orang tuanya untuk segera menikah. Namun demikian, tak mudah bagi dia untuk menerima sembarang lelaki sebagai pendamping hidupnya. Siti menginginkan lelaki yang sangat sempurna untuk ukuran pada zaman itu.
Di antara kriteria lelaki yang ingin dia jadikan suami adalah harus memahami ilmu agama dan dapat menguasai ilmu bela diri. Kepribadian Siti yang terbentuk kukuh amat pantang melihat kezaliman, baik terhadap perempuan maupun terhadap bangsanya. Maka dari itu, dia pun menuntut lelaki yang hendak menikahinya harus segaris dengan cita-cita perjuangannya. Tambahan pula, pada waktu itu Belanda sudah mulai memperkuat kekuasaannya di Nagari Manggopoh.
Seluruh kriteria lelaki idaman tersebut akhirnya ditemukan Siti pada diri Rasyid Bagindo Magek. Mereka berjumpa tatkala sama-sama melayat seorang penghulu Nagari Manggopoh yang meninggal dunia. Rasyid adalah pemuda asal Kampung Masang yang lokasinya masih berada dalam wilayah Agam.
Pada 1904 keduanya menikah. Beberapa tahun kemudian, mereka dikaruniai dua orang anak. Anak mereka yang laki-laki diberi nama Muhammad Yaman, sedangkan yang perempuan dinamai Dalima. Untuk menggairahkan kehidupan bernagari, Siti dan Rasyid membuka gelanggang silat di dekat rumah mereka. Pada kemudian hari gelanggang yang mereka dirikan itu ternyata berhasil melahirkan pesilat-pesilat tangguh.
Tahun 1908 adalah awal perlawanan Siti Manggopoh terhadap kebijakan belasting yang diterapkan Belanda terhadap masyarakat Manggopoh. Kebijakan tersebut tidak hanya dinilai bertentangan dengan adat Minangkabau, tetapi juga dianggap menginjak-injak harga diri masyarakat Manggopoh. Rakyat di nagari itu merasa terhina karena disuruh mematuhi peraturan untuk membayar pajak atas tanah yang telah mereka miliki secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Tak cukup sampai di situ, kebijakan belasting yang mulai berlaku di Sumatra Barat per 1 Maret 1908 itu juga mewajibkan masyarakat untuk membayar sejumlah pajak lainnya kepada Belanda. Di antaranya adalah hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten belasting (pajak barang masuk/cukai), hedendisten (pajak rodi), dan wins belasting (pajak kemenangan/keuntungan). Selain itu, ada lagi meubels belasting (pajak rumah tangga), slach belasting (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak tembakau), dan adat huizen belasting (pajak rumah adat).
Penetapan pajak dan tindakan kesewenang-wenangan Belanda itulah yang akhirnya menjadi pemicu utama perlawanan rakyat Manggopoh. Perlawanan yang dipimpin langsung oleh Siti tersebut kemudian dikenal dengan Perang Belasting. Sebelum perlawanan rakyat Manggopoh yang dikomandoi Siti, Perang Belasting sudah lebih dulu meletus di daerah Kamang, Agam, yang berjarak sekitar 16 km dari Fort de Kock (Benteng de Kock), Bukittinggi.