KPU Mnta Kewenangan Tetapkan Jadwal dalam Perppu Pilkada
Penetapan penundaan pilkada dilakukan oleh KPU.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman meminta pihaknya diberikan kewenangan menetapkan jadwal pemilihan lanjutan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada. Sebab, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada saat ini mengatur penetapan pemilihan lanjutan maupun susulan oleh gubernur dan menteri.
"Agak unik. Kenapa? Karena penetapan penundaannnya itu dilakukan oleh KPU. Tetapi penetapan pemilihan lanjutan atau pemilihan susulannya itu tidak oleh KPU," ujar Arief dalam diskusi virtual di Jakarta, Ahad (5/4).
Ia mengatakan, kewenangan menetapkan pemilihan lanjutan menjadi fokus usulan KPU RI dalam rencana penerbitan Perppu Pilkada, selain soal waktu penundaannya. Ketentuan pemilihan lanjutan maupun pemilihan susulan diatur Pasal 122 UU Pilkada.
Pasal 122 ayat 1 menyebutkan, pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan dilaksanakan setelah penetapan penundaan pelaksanaan pemilihan diterbitkan. Kemudian pada Pasal 122 ayat 2 berbunyi, penetapan penundaan pelaksanaan pemilihan dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota ataupun KPU Provinsi.
Sementara pada Pasal 122 ayat 3, penetapan pemilihan gubernur lanjutan atau susulan dilakukan oleh menteri atas usul KPU Provinsi. Lalu pada Pasal 122 ayat 4, pemilihan bupati/wali kota lanjutan atau susulan dilakukan oleh gubernur atas usul KPU Kabupaten/Kota.
Menurut dia, pengaturan itu terhadap bencana yang hanya terjadi di daerah tertentu atau bencana lokal. Sementara, kata Arief, pandemi virus corona yang mengakibatkan pilkada ditunda merupakan bencana nasional.
"Ini juga yang kami usulkan agar KPU RI diberi kewenangan dalam hal bencana itu, wilayahnya itu, meluas secara nasional," jelas Arief.
Sebelumnya, Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, kewenangan melanjutkan pemilihan seharusnya diberikan kepada lembaga yang memutuskan melakukan penundaan. Tentu, prosesnya harus berkonsultasi dengan pemerintah daerah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), aparat keamanan, serta instansi terkait.
“Jadi kewenangan untuk melanjutkan pilkada itu diberikan kepada lembaga yang memutuskan penundaan. Itu substansi yang kemarin kita usulkan,” kata Pramono.
Sementara itu, penundaan Pilkada 2020 yang diselenggarakan di 270 daerah harus merevisi pasal Pasal 201 ayat 6 UU Pilkada melalui Perppu. Pasal itu secara eksplisit mengatur pilkada serentak hasil pemilihan 2015 dilaksanakan pada September 2020.
KPU RI telah menyampaikan tiga opsi waktu pemungutan suara Pilkada 2020 usai ditunda yaitu pemungutan suara dilaksanakan pada 9 Desember 2020, 17 Maret 2021, dan 29 September 2021. Skenarionya, jika opsi pemungutan suara Desember 2020, maka tahapan pilkada kembali dimulai akhir Mei 2020
Sedangkan, untuk opsi pemungutan suara Maret 2021, maka September 2020 sudah kembali memulai tahapan pilkada. KPU RI tengah meminta KPU Provinsi maupun Kabupaten/Kota memeberikan masukan sesuai situasi dan kondisi masing-masing daerah.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, penentuan jadwal pilkada yang berkaitan dengan titik mulai tahapan pascapenundaan diserahkan kepada KPU. Menurutnya, Perppu Pilkada hanya mengatur ketentuan umum.
"Perpu sebaiknya hanya mengatur klausul umum. Misalnya, pilkada dilaksanakan setelah pertengahan Juni 2021, agar tersedia fleksibilitas terutama di tenga kondisi Covid-19 yang tidak menentu," ujar Titi dalam kesempatan diskusi yang sama, Ahad.
Titi mendorong, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu terlibat aktif dalam menyusun substansi Perppu. Sebab, penyelenggara pemilu menjadi lembaga yang paling terdampak dan memahami secara teknis akan kebutuhan regulasi penundaan pilkada.
"Penyelenggara pemilu perlu ambil inisiatif lebih atau proaktif, bahkan berani menjadi leading sector (dalam penyusunan Perppu) terutama terkait materi muatannya yang berhubungan dengan teknis Pilkada," kata Titi.
Selain jadwal pilkada, setidaknya substansi Perppu mencakup implikasi teknis penundaan yang mengakibatkan adanya perubahan aturan dalam UU Pilkada. Misalnya saja, aturan pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang seharusnya dilantik enam bulan sebelum pemungutan suara.
Kemudian, Perludem mengusulkan agar sumber dana Pilkada berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan demikian, dengan dimungkinkan dukungan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk optimalisasi tata kelola pilkada.