Birokrasi PSBB Hambat Pencegahan Covid-19 di Daerah
Pengamat menyatakan pemerintah pusat seharusnya mengambil inisiatif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menyetujui penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta. Namun, birokrasi penerapan PSBB ini dinilai menyulitkan bagi pemerintah daerah untuk mengadang penyebaran Covid-19.
Menurut pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Defny Holidin, prosedur pengajuan permohonan PSBB bagi DKI Jakarta dan daerah-daerah lainnya sangat tidak diperlukan. Pertama, secara hukum administrasi, norma hukum PSBB beraras pada UU No. 6 Tahun 2018 yang memposisikan situasi darurat sebagai kondisi obyektif yang memerlukan penanganan segera.
Implikasinya pada satu sisi, pemerintah yang memegang kendali penetapan status karantina wilayah dan PSBB justru dituntut mengambil inisiatif melakukan eksaminasi dan pemetaan atas situasi empirik dalam penetapan status tersebut. "Pada sisi lain, pemda memiliki keleluasaan (diskresi) dalam menggunakan wewenang yang diperlukan secara cepat merespon perkembangan pandemi di lapangan," kata Defny kepada Republika.co.id, Selasa (7/6).
Kedua, secara teknis, selama ini daerah, khususnya Pemprov DKI Jakarta, telah menyampaikan kepada Kementerian Kesehatan semua data yang diumumkannya. Defny menilai, Kemenkes seharusnya menggunakan akumulasi data yang sudah disampaikan pemda untuk melakukan penilaian dan mengarahkan pemda langkah kebijakan berikutnya.
"Jadi, menurut saya, tendangan bolanya ada di pemerintah pusat. Mereka seharusnya mengambil inisiatif, menghindarkan diri menjadi bottle-neck upaya penanganan pandemi," kata Defny yang juga terafiliasi dengan Next Policy, lembaga think-tank kebijakan independen.
Ini berarti penerapan PSBB seharusnya langsung dilakukan berdasarkan urgensi masing-masing pemerintah daerah melalui asesmen dan pemetaan data penyebaran covid-19 dari Pemda atau sumber lainnya. Bahkan, menurut Defny, dengan data yang ada, berbagai pihak sudah membuat semacam permodelan matematika.
Misalnya yang baru saja dirilis peneliti ITB, yang seharusnya bisa dipakai sebagai alat prediksi. "Jadi, orientasi kerjanya move-forward. Prosedur Pemerintah Pusat yang dituntut pemenuhannya terhadap pemda ini cenderung backward," kata Defny.