Dua Catatan KODE Inisiatif untuk Ketua MA Terpilih
Ketua MA harus memperhatikan sinergitas dan sinkronisasi dengan penafsiran MK.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif memberikan sejumlah catatan terhadap Ketua Mahkamah Agung (MA) terpilih periode 2020-2025, Muhammad Syarifuddin. Salah satunya, harus memperhatikan sinergitas dan sinkronisasi antara putusan MA dengan penafsiran Mahakamah Konstitusi (MK).
"Perlu adanya sinergitas dan sinkronisasi antara putusan MA dengan penafsiran MK untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi para pihak," ujar Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KODE Inisiatif, Violla Reininda, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (7/4).
Dia menyampaikan, MA harus menghindari munculnya dua penafsiran yang berbeda di antara dua pelaku kekuasaan kehakiman. Terlebih, keduanya sama-sama memiliki kewenangan yang bersumber dari konstitusi.
Menurut Violla, dualisme penafsiran akan memberikan implikasi yang buruk di tataran normatif maupun praktik. "Sebab, tidak memberikan kejelasan bagi para pihak terkait untuk mengikatkan diri kepada hukum yang mana, yang kemudian mempersulit implementasi atau eksekusi norma," terang dia.
Violla menjelaskan, putusan MA sepatutnya berlandaskan kepada nilai-nilai konstitusional yang telah digariskan dalam putusan-putusan MK sebagai penafsir konstitusi. Pada prinsipnya, kata dia, setiap putusan yang dihasilkan baik oleh MA maupun MK harus mencerminkan ruh dan norma yang hidup dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Catatan kedua, yakni persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU harus mencerminkan asas keterbukaan. Dengan kata lain, persidangan harus dilakukan secara terbuka untuk umum dan dapat disaksikan publik seara luas.
Menurut dia, transparansi proses persidangan merupakan instrumen fundamental dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. "Secara spesifik diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," jelas dia.
Pasal tersebut menyatakan, semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali UU menentukan lain. UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tidak menentukan perihal lain proses pemeriksaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU.
Karena itu, MA seharusnya tetap memegang teguh asas persidangan terbuka untuk umum. "Pelaksanaan asas ini penting untuk menjamin independensi, akuntabilitas, dan objektivitas hakim dalam proses persidangan, menjamin proses pemeriksaan yang adil dan imparsial, serta menghasilkan putusan yang adil bagi masyarakat," katanya.
Hakim Agung Muhammad Syarifuddin ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) terpilih setelah melalui dua putaran Pemilihan Ketua MA. Ia mendapatkan 32 suara dari total 47 hakim yang mempunyai hak memilih dan mengungguli Hakim Agung Andi Samsan Nganro yang hanya mendapat 14 suara pada Pemilihan Ketua MA putaran kedua tesebut.
"Berdasarkan berita acara hasil perhitungan suara ternyata yang mulia Dr. H. M. Syarifuddin S.H., MH. telah mendapaktan suara sejumlah 32 suara," ujar Ketua MA periode 2017-2020, Hatta Ali, dalam sidang paripurna yang dilaksanakan di Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (6/4).
Dengan hasil itu, Syarifuddin ditetapkan sebagai Ketua MA terpilih. Itu diputuskan berdasarkan Pasal 7 (1) Keputusan Ketua MA Republik Indonesia (RI) Nomor 96/KMA/SK/IV/2020 tentang Peraturan Tata Tertib Pemilihan Ketua MA RI. Di sana disebutkan calon Ketua MA yang mendapatkan suara terbanyak dalam putaran kedua, maka langsung ditetapkan sebagai Ketua MA terpilih.
"Maka calon Ketua MA tersebut (Syarifuddin) ditetapkan sebagai Ketua MA terpilih," kata Hatta.