RUU Omnibus Law, Politikus Gerindra: Tak Boleh Dikebut
RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus dibahas secara komprehensif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Elnino M. Husein Mohi menilai pembahasan Omnibus Law tak bisa dikebut di tengah badai Corona. Pembahasan RUU itu, kata ia, harus dilakukan secara maksimal dan benar-benar melibatkan semua pihak. D
"Pembahasan RUU Cipta Kerja ini tak boleh dilakukan lewat sistem kebut semalam tiga bulan, empat bulan, lima bulan, dan lain lain. Kalau harus lima tahun, why not? Yang penting hasilnya semaksimal mungkin," kata Elnino, Rabu (8/4).
Elnino mengatakan, RUU ini harus dibahas lewat kajian yang komprehensif, melibatkan partisipasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dan memenuhi seluruh aspek formal pembentukan undang-undang yang telah diatur UU 12/2011 dan perubahannya.
"Apalagi RUU Omnibus Law yang tebalnya luar biasa ini. Belum pula kondisi sekarang ini yang WFH (work from home) tentu agak menghambat jalannya perdebatan dan diskusi yang baik untuk penyempurnaan RUU," kata dia.
Ia mengingatkan, RUU Omnibus Law adalah jenis RUU yang bersifat menyederhanakan regulasi dengan cara merevisi dan mencabut banyak UU sekaligus. "Sederhananya, RUU sapujagat. For everything!" ujarnya.
Terdapat 174 pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang secara subtansi RUU ini memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi.
Elnino menegaskan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan ini mencakup banyak isu penting dan strategis yang perlu dikaji betul, semisal lingkungan hidup, otonomi daerah, ketenagakerjaan, penyederhanaan prosedur,dan investasi.
"Alih-alih menyederhanakan, RUU ini malah membuat ribet. Dimaksudkan untuk menghapus over-lapping dan over-regulated, malah justru sebaliknya. Tercatat RUU Cipta Kerja ini mensyaratkan 500-an aturan turunan (peraturan pemerintah) yang justru berpotensi melahirkan regulasi yang sangat banyak," kata Elnino.
Ia juga mengingatkan agar jangan mengabaikan perlidungan terhadap tenaga kerja, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan kepemilikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak.
"Kalau ingin UU ini benar-benar pro rakyat, pro negara, dan pro masa depan bangsa, maka butuh waktu yang cukup untuk DPR membahasnya secara akademik dan secara politik," ujarnya menegaskan.