Tawakal dan Fokus Pegangan Manusia Menghadapi Covid-19

Sangat penting kehati-hatian dalam hal dan situasi kompleks seperti sekarang ini.

www.freepik.com
Virus corona (ilustrasi).
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jhody Arya Prabawa*

Wabah penyakit seperti virus corona atau Covid-19 bukanlah kejadian baru di bumi manusia ini. Dalam catatan sejarah peradaban dunia, pandemi seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Manusia pernah mengalami epidemi pada tingkat yang paling dahsyat sekalipun pada zaman dahulu.

Namun, kondisinya juga perlu disikapi. Salah satu caranya adalah belajar dari sejarah, sebagaimana Bung Karno bilang, Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) dan dikatakan oleh George Santayana, “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it”.

Karena itu ada dua hal mendasar yang baiknya dilakukan manusia dalam menghadapi pandemi yang mewabah di lebih dari 170 negara ini, yakni tawakal dan fokus.

Tawakal
Saat ini sedang populer adanya argumen yang dibangun dan disebarluaskan; jangan takut shalat di masjid, karena masjid adalah rumah Allah, virus corona adalah ciptaan Allah, maka ini ujian untuk keimanan, justru harus makin rajin ke masjid karena Allah yang akan menjaga, dan hidup mati sudah ditentukan. Lalu ada juga yang bilang “Ini Masjid Phobia,” padahal semua rumah ibadah agama lain juga mengalami situasi yang sama, jadi tidak hanya terjadi pada Islam kita semata.

Bagi saya orang-orang yang menghindari kerumunan di masjid maupun mushala justru merupakan bagian dari menjaga dan memakmurkan masjid. Bahkan di Baitullah pun umroh diberhentikan dulu dan dibatasi sekali saat ini, sebagaimana di tempat-tempat suci umat agama lain di dunia.

Imbauan (bukan larangan) terkait berjamaah di masjid, saat ini, justru adalah bentuk lain dari adanya keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan perwujudan Islam yang rahmatan lil’alamin, yaitu Islam yang memikirkan kemaslahatan umat dalam arti luas. Sehingga akan menjadi aneh jika memaksakan argumen bahwa hal itu adalah bentuk ketakutan pada virus dan kematian, dan lalu dipertentangkan dan atau sengaja dibenturkan dengan sikap bahwa takut hanya boleh kepada Allah.

Logika begini agak ngeri kalo dipakai sembarangan. Nanti para Nabi mulia bisa-bisa dituduh “pengecut” jadinya, seolah lebih takut pada manusia ketimbang Allahnya.

Rasulullah SAW pernah menghindari upaya jahat dari kaum Musyrikin Quraish, lalu Nabi Musa AS juga pernah lari dari kejaran pasukan Fir'aun, dan Nabi Ibrahim AS pun pernah bersembunyi dari tentara Raja Namrud. Jadi memang sangat penting kehati-hatian dalam hal dan situasi kompleks seperti sekarang ini.

Mencegah penyebaran virus merupakan wujud perintah syariah, sebagai bentuk ketaqwaan kepada Allah SWT agar mendahulukan menghindari mudharat ketimbang mengejar manfaat, jika memang pilihan dan situasinya kompleks seperti saat ini. Padahal Rasulullah SAW menjelaskan agar mengikat unta kita terlebih dahulu baru kemudian bertawakal. Dan dalam ushul fiqh juga jelas kaidahnya: menghindari mudharat lebih diutamakan ketimbang mengejar manfaat dalam situasi begini!

‎دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
"Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan."


Fokus
Saat situasi seperti ini yang diperlukan adalah fokus. Berbagi itu baik, namun jika dilakukan dengan tidak utuh maka bisa menjadi buruk dampaknya.

Saat ini jemari kita adalah bentuk lain dari mulut kita dalam mengkomunikasikan apa yang ada pada pikiran kita. Persoalannya, apa yang kita pikirkan akan bergantung juga pada apa yang masuk ke dalam kepala kita sehari-harinya. Jika kita ada di group atau kelompok yang isinya hanya menyebarkan keluhan dan kebencian semata, maka kemungkinan itulah realita yang akan menjadi nuansa hidup kita dari masa ke masa.

Tak percaya? Cek saja timeline kita semua dan jenis hal apa saja yang sudah kita forward ke mana-mana melalui media sosial kita dan amati perasaan kita setiap kali membacanya.

Apa sebabnya? Ini dikarenakan bahwa apa yang menjadi fokus kita, itulah yang akan menentukan arah pikiran kita, dan kemudian mempengaruhi segenap perasaan kita, yang selanjutnya akan menetapkan pola keputusan kita, dan maujud menjadi tindakan nyata kita dengan segala konsekuensinya.

Adanya atensi akan menimbulkan koneksi yang pada gilirannya akan mempengaruhi emosi, sebagai landasan aksi kita sehari-hari. Fokus dari keseharian dan perhatian kita akan cenderung meminta untuk ditularkan dan itulah kenapa kita juga berharap agar orang lain ikut merasakan apa yang tengah kita rasakan. Namun akan menjadi persoalan, jika yang kita sebarkan adalah hal-hal yang tidak memberdayakan, malah sebaliknya, hal-hal yang melemahkan dan mengacaukan.

Nah, iqra adalah alat untuk kita membaca setiap fenomena yang terjadi dengan kaca mata kehati-hatian dan kecermatan, dan bukan dengan ketakutan yang berlebihan. Agar kita mampu menembus makna di balik peristiwa, dan mengambil hikmah yang nyata dalam mengambil langkah selanjutnya.

Tentunya bukan berarti lantas mengabaikan segala fakta yang ada dan hanya memilih untuk yang bagus-bagus saja beritanya, tetapi justru kita berorientasi pada pemberdayaan dan pencerahan dalam menyelesaikan segala persoalan, agar tidak terjebak dalam narasi bermain hanya sebagai korban. Maka, kita semua perlu berlatih untuk menjaga apa saja yang akan masuk ke dalam hati dan pikiran kita, agar kita tidak merasa dunia kita tengah gelap-gulita, padahal kita sendirilah yang memilih untuk sengaja berada di dalam gua, sementara di luar sana, Tuhan masih memberi cahaya yang terang luar biasa.

Membangun Kesehatan Mental dan Fisik
Tidak ada satupun manusia yang mati karena virus ataupun penyakit, maupun bencana alam serta kecelakaan, hingga pembunuhan antar manusia. Kita hanya bisa mati apabila sudah tiba waktunya saja, dan jika waktunya belum tiba, maka apapun cara dan keadaannya, kita masih akan terus ada.

Sudah jelas ada banyak hal yang bisa menjadi jalan bagi munculnya ajal kita, tetapi yang paling unik adalah hancurnya kita oleh rasa takut kita bersama, yang mungkin hanya terjadi pada spesies yang namanya manusia saja. Dan rasa takut itu mampu menyebar dengan lebih dahsyat dari apa pun juga, menular melewati daya nalar, yang pada gilirannya, menjadi jalan lain bagi tibanya waktu kita.

Maka, ketika kita tengah sibuk mencegah bahaya agar keluarga kita tidak terkena, sudahkah kita juga cermat dalam upaya untuk tidak berpotensi menularkannya lagi pada sesama?

Sudahkah mempersiapkan pertahanan terbaik bagi tubuh? Ataukah hanya latah sibuk membeli dan memakai apa saja yang tengah ramai ada di media?

Memang apa pun yang dari luar diri kita, jelas bisa merusak tubuh ini, tetapi sesuatu yang sudah ada di dalam diri ini, akan lebih mampu mengganggu kita tanpa bisa diduga dampaknya begitu saja. Sehingga, selama kita masih membombardir isi pikiran kita dengan kekhawatiran yang berlebihan, maka itu akan menambah beban pada daya tahan tubuh kita bersama.

Setiap kali kita tidak menjaga dan memperhatikan pola makan dan asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh kita, maka itu akan mempengaruhi kekuatan tubuh kita semua. Manakala kita bernapas dengan asal-asalan, ataupun menghirup zat yang disalahgunakan, termasuk juga zat-zat yang sebetulnya tidak diperlukan, maka itu juga akan mengganggu keseimbangan fisik dan mental kita.

Jadi geserlah segera fokus hidup kita, dari menghindari kena penyakit, ke arah menjaga hidup sehat. Sebab, segala yang sering kita pikirkan, hirup, minum dan makan, kesemuanya ini memiliki setidaknya dua konsekuensi, entah membuat kita menjadi semakin sehat, atau malah membuat kita jadi sekarat.

Dan kalau sudah ditelan oleh rasa takut yang dahsyat, maka yang membunuh kita adalah rasa takut itu dan bukannya si penyakit. Bagi yang sudah paham akan placebo effect, akan paham juga soal nocebo effect, di mana kita terbunuh oleh pikiran kita akan suatu penyakit atau situasi dan tubuh kita akan merespon sesuai prasangkaan kita kepada diri kita.

Jadi, untuk situasi sekarang ini, saya sendiri berfokus pada metode bagaimana kita bernafas sehari-hari. Bagaimana kita mencerna makanan dan minuman sejak dalam mulut, dan zat makanan/minuman apa saja yang perlu kita atur/kelola asupannya agar kita dalam kondisi yang terbaik, dan itupun tidak menjadi jaminan kita untuk jadi kebal lho yaa, tetapi paling tidak kita akan sulit untuk sakit oleh faktor-faktir mahluk asing dari luar tubuh. Namun imunitas yang optimal tidak bisa mencegah cantengan ya, jadi berhati-hatilah dalam berativitas.

*) Jhody Arya Prabawa adalah seorang Pemerhati Sosial, yang juga mendalami tentang spiritual science.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler