Melamar dan Menikah, Apa Hukumnya dalam Islam?

Terdapat perbedaan pendapat soal hukum melamar untuk menikah.

Prayogi/Republika
Melamar dan Menikah, Apa Hukumnya dalam Islam?. Foto: Pernikahan (ilustrasi)
Rep: Imas Damayanti Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mayoritas ulama sepakat bahwa hukum nikah adalah sunah. Tak hanya hukum nikah, hukum lamaran pun dinilai sebagian besar ulama tidak wajib. Namun, terdapat selisih pendapat mengenai hukum ini.

Baca Juga


Mengacu pada kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd disebut kan, terjadinya perbedaan pendapat mengenai hukum lamaran ini lantaran adanya referensi dalil yang menyertainya. Referensi itu berupa tindakan Nabi Muhammad SAW, dalam hal ini membuat para ulama berselisih pendapat apakah hukumnya wajib ataukah sunah.

Kata as-Syaukani, yang mengutip Imam Tirmidzi, menyatakan, menurut para ulama dibolehkan menikah tanpa melamar. Pendapat ini berasal dari Sufyan as-Tsauri dan beberapa ulama lainnya.

Adapun dalilnya adalah hadis dari Ismail bin Ibrahim yang menunjukkan bahwa hukum lamaran nikah adalah sunah. Ibnu Qudamah juga mengungkapkan jika hukum melamar itu tidak wajib. Kecuali penda pat dari Imam Dawud yang mewajibkannya. Adapun bentuk khutbah nikah ialah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud.

Ibnu Mas'ud bercerita: "Rasulullah SAW mengajarkan kepada kami tasyahud shalat dan tasyahud hajat. Setelah menuturkan tasyahud shalat, Rasulullah SAW bersabda: 'Innalhamda lilahi nahmaduhu wa nasta'inuhu wa nastaghfirhu wa naudzubillahi min syururi anfusina wa min sayyiati a'malina man yahdihillahu fala mudhilalahu, wa man yudhlil fala hadiyalah. Wa asyhadu an la ilaha illallah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu,'."

Yang artinya: "Segala puji bagi Allah Tuhan yang kami mintai pertolongan dan kami minta ampunan. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu kami. Siapa yang ditunjuki oleh Allah, niscaya tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Dan, siapa yang disesat kan oleh Allah niscaya tidak akan ada yang sanggup menunjukkannya ke jalan yang benar. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus Rasul-Nya". 

Hukum Nikah 

Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum nikah adalah sunah, terdapat pendapat yang berbeda mengenai hukum perkara ini. Misalnya, kalangan ulama dari mazhab Zhahiri. Mereka menghukumi nikah adalah sebuah kewajiban. Sementara, kalangan mazhab Maliki menyebutkan, hukum nikah bagi sebagian orang adalah sunah, sedangkan bagian yang lain menghukuminya sebagai mubah. Ulama-ulama ini berpendapat bahwa hal itu menyangkut sejauh mana seseorang mengkhawatirkan dirinya terjerumus dalam perbuatan zina.

Silang pendapat ini karena adanya dalil Alquran Surah an-Nisa ayat 3 berbunyi: "Fankhihu ma thoba lakum minanisa-i matsna wa tsulasa wa ruba". Yang artinya: "Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat".

Sedangkan dalam sabda Rasulullah SAW disebutkan: "Tanakahuu fa inna mukatsirun bikum al-umama". Yang artinya: "Menikahlah kalian, karena sesungguhnya aku akan membanggakan kalian pada umat-umat lain".

Hadis-hadis senada ini menunjukkan wajib, sunah, atau mubah? Beberapa ulama berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagaian orang, sunah bagi sebagian yang lain, dan boleh bagi sebagian yang lain lagi. Asalkan berpijak pada pertimbangan kemaslahatan bersama.

Jenis qiyas tersebut, kata Ibnu Rusyd, yang disebut sebagai qiyas mursal atau qiyas yang tidak mempunyai sandaran. Meskipun banyak ulama yang menolak qiyas, mazhab Maliki tampak jelas menggunakannya.

Ibnu Qudamah menjelaskan, permasalahan nikah itu ada tiga tipe. Pertama, orang yang mengkhawatirkan dirinya terjerumus dalam zina jika ia sampai mengundur-undur pernikahan. Kedua, orang yang dianjurkan menikah, yaitu yang memiliki hasrat seksual, tetapi ia merasa aman dari jatuh ke dalam perbuatan yang haram.

Kategori ketiga, orang yang tidak punya hasrat seksual sama sekali karena ia menderita impotensi. Kondisi lainnya adalah dia punya hasrat seksual, tetapi sudah hilang disebabkan sudah tua atau sakit. Dalam hal ini ada dua versi pendapat, pertama, dia tetap dianjurkan menikah dengan syarat, kedua, yakni lebih baik dia membujang agar lebih leluasa beribadah kepada Allah SWT.

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler