Akhir Lockdown di Wuhan dan Asal-usul Virus Corona

Berakhir sudah lockdown di Wuhan akibat wabah virus corona selama beberapa pekan.

EPA-EFE/ROMAN PILIPEY
Lockdown Wuhan Dibuka: Warga Wuhan, China, mengenakan masker berjalan di pusat kota Wuhan setelah Pemerintah China mengakhiri lockdown di kota itu akibat pandemi virus corona.
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID. Oleh: Fergi Nadira, Kamran Dikarma


Ketika jutaan penduduk di belahan daratan lain berkutat melawan pandemi virus corona, kondisi berbeda terjadi Wuhan, Cina. Pemerintah Cina secara resmi mencabut lockdown Kota Wuhan yang berarti sudah cukup aman dari wabah Covid-19.

Jutaan penduduk di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, merayakan dicabutnya kebijakan lockdown atau karantina wilayah yang telah mereka jalani selama 11 pekan. Warga Wuhan kini diperbolehkan beraktivitas di luar rumah. Bahkan, pasar hewan liar yang diduga menjadi sumber mewabahnya Covid-19 telah kembali beroperasi.

Status lockdown di ibu kota Hubei tersebut resmi berakhir pada 8 April 2020. Jalanan di Wuhan kembali dipenuhi warga. Pada saat pembukaan wilayah, mereka mulai bepergian dengan bus, kereta api, dan pesawat meskipun tetap harus memakai masker.

Foto-foto yang diterbitkan media Cina menunjukkan sukacita warga Wuhan, khususnya kalangan anak-anak. Pada Rabu (8/4) dini hari, petugas keamanan membuka blokade yang terpasang di tengah jalan selama 76 hari terhitung sejak 23 Januari 2020.

Penumpang menunjukkan kode kesehatannya di pintu masuk stasiun kereta sesaat setelah lokcdown dicabut di Wuhan, China.  

Lampu-lampu di bangunan dan jembatan menyala. Kendaraan pribadi pun tampak mengantre memasuki tol menunggu giliran untuk pergi ke lain distrik. Di sejumlah perumahan terpampang bendera sukacita yang bertuliskan "bebas virus" dan "pertempuran yang menentukan, kemenangan yang menentukan".

Namun demikian, beberapa warga di Wuhan masih gelisah. Pasalnya, sebanyak 2.500 orang telah meninggal karena virus. Potensi penularan lanjutan pun masih ada. 

"Kami belum merasakan banyak perubahan. Untuk orang biasa, lockdown belum berakhir," ujar salah satu warga di Distrik Wuchang, Zhang (50 tahun), dikutip laman the Guardian, Ahad (12/4). Dicabutnya status lockdown di Wuhan merupakan bagian dari upaya Pemerintah Cina untuk meyakinkan publik bahwa kehidupan dapat kembali normal dan pihak berwenang di negara telah mengalahkan virus itu.  

Menurut dosen ekonomi politik di Johns Hopkins University, Ho-Fung Hung, pencabutan masa karantina wilayah di Wuhan untuk mengirimkan sinyal bahwa Cina akan kembali menghidupkan bisnis sehingga pekerjaan sudah dapat dilanjutkan. Namun, menurut Fung Hung, warga harus tetap sangat berhati-hati.

"Orang-orang tidak dapat dengan mudah melupakan kesalahan langkah awal pemerintah dalam menyebabkan krisis, khususnya bagi mereka yang kehilangan orang yang mereka cintai atau kesehatan mereka sangat terganggu," ujar dia.

Seorang pencukur mulai bekerja lagi usai pencabutan status lockdown di Wuhan, China, pada 8 April lalu. Wuhan merupakan epicentrum wabah virus corona di China. - ( EPA-EFE/ROMAN PILIPEY)

Kendati demikian, banyak pertokoan di kota-kota masih tutup. Sebagian besar restoran hanya beroperasi untuk pengiriman makanan. Sekolah dan tempat hiburan pun masih banyak yang ditutup.

Pada saat Cina mulai pulih, episentrum Covid-19 kini berpindah ke Eropa dan Amerika Serikat (AS). AS bahkan mencatat kasus infeksi tertinggi Covid-19 yang mencapai angka 500 ribu. Sementara itu, jumlah kematian di seluruh AS melampaui 20.600 dengan penduduk lebih dari 328 juta jiwa.

Sekitar setengah dari kematian di AS terjadi di wilayah metropolitan New York. Pada Sabtu (11/4), Gubernur New York Andrew Cuomo menyebut ada 783 kematian baru. Total kematian di New York kini lebih dari 8.600 jiwa.

Di Eropa, Italia yang berpenduduk lebih sedikit dari AS mencatat jumlah kematian yang sangat tinggi, yakni mencapai 19.468 jiwa. Sementara itu, kasus infeksi tercatat 152.271 kasus.

Saat Pemerintah Cina melonggarkan kebijakan karantina wilayah, sejumlah negara yang terpukul dengan jumlah kasus dan kematian memperpanjang masa lockdownItalia, Spanyol, dan Prancis memperpanjang masa pembatasan gerak bagi warganya guna mengekang kurva penularan virus yang masih belum menurun. Begitu pula dengan negara di Asia, seperti India, Filipina, dan Malaysia.

Italia memperpanjang masa karantina wilayah hingga 3 Mei. Pemerintah Italia juga memasang penghalang jalan di sekitar Milan untuk mencegah orang melakukan perjalanan pada akhir pekan Paskah. 

Warga Wuhan China mengantre saat berbelanja di sebuah toko kebutuhan pokok, akhir pekan lalu. Pemerintah China sudah mencabut lockdown di Wuhan. - (EPA-EFE/ROMAN PILIPEY)

Namun, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte mengulurkan harapan bahwa beberapa industri dapat dibuka lebih awal jika kondisi memungkinkan.

India juga memperpanjang masa karantina nasional bagi 1,3 miliar penduduknya selama dua pekan. Namun, Iran yang juga terpukul karena virus memberanikan diri membuka kembali kantor-kantor pemerintahan dan bisnis di luar Teheran.

 

Asal-Usul Virus Corona

Seiring berakhirnya karantina wilayah, pedagang ikan dan sayur-sayuran di pasar basah pusat Kota Wuhan mulai membuka kembali kios-kiosnya. Rantai penularan virus korona diyakini bermula di sana.

Pasar hewan itu ditutup sejak Januari lalu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan agar pasar basah yang menjual hewan atau satwa liar seperti di Wuhan dan daerah lain di Cina ditutup secara permanen. Negara-negara lain yang memiliki pasar sejenis pun diserukan melakukan hal serupa.

PBB menyebut hal itu perlu dilakukan guna mencegah munculnya kembali pandemi pada masa mendatang. Namun, Jin Qinzhi, salah seorang pedagang sayur dan daging di pasar basah Wuhan, kurang menyetujui seruan tersebut.

"Ini adalah virus dari orang ke orang, di mana pun Anda berada. Bahkan, supermarket penuh dengan orang. Di sini, orang lebih tersebar. Selama kita mengambil tindakan pencegahan dan kita memperhatikan disinfektan, itu akan baik-baik saja," kata Jin saat ditanyai pendapat mengenai seruan penutupan pasar basah, Ahad (12/4).

Seorang pria mengenakan masker bekerja di toko kopi di Wuhan China setelah lockdown dicabut. - ( EPA-EFE/ROMAN PILIPEY)

Para pedagang di pasar basah Wuhan mengakui, bisnis mereka sangat terpukul karena penutupan yang ketat. Apalagi, Pemerintah Cina telah memerintahkan pelarangan sementara perdagangan serta konsumsi satwa liar. 

"Kami tidak memiliki penghasilan dan bisnis. Jika terus seperti ini, akan sangat sulit bagi kita untuk bertahan hidup," kata dia menambahkan.

Pada Senin (6/4), Acting Executive Secretary of the United Nations Convention on Biological Diversity Elizabeth Maruma Mrema mengatakan, negara-negara harus mencegah kemunculan pandemi dengan melarang pasar basah yang menjual hewan hidup dan mati untuk dikonsumsi manusia. Namun, hal tersebut tentu memiliki konsekuensi.

“Namun, kita juga harus ingat bahwa Anda memiliki komunitas, terutama dari daerah perdesaan berpenghasilan rendah, khususnya di Afrika yang bergantung pada hewan liar untuk mempertahankan mata pencaharian jutaan orang,” kata Mrema saat diwawancara the Guardian.

Dengan demikian, pelarangan pasar hewan liar dapat membuka kemungkinan perdagangan satwa secara ilegal. Beberapa spesies telah berada di ambang kepunahan akibat praktik tersebut.

Mrema menilai perlu ada solusi alternatif untuk mengatasi situasi tersebut. “Kita perlu melihat bagaimana kita menyeimbangkan itu dan benar-benar menutup lubang perdagangan ilegal pada masa depan,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal China Biodeversity Conservation and Green Development Foundation Jinfeng Zhou meminta otoritas Cina membuat larangan pasar satwa liar permanen. Jika hal itu tidak dilakukan, wabah Covid-19 berpotensi muncul lagi.

“Saya setuju bahwa harus ada larangan global terhadap pasar basah yang akan banyak membantu konservasi satwa liar dan melindungi diri kita dari kontak yang salah dengan satwa liar. Lebih dari 70 persen penyakit manusia berasal dari satwa liar dan banyak spesies terancam punah dengan memakannya,” kata Jienfeng.

Maruma Mrema mengatakan, pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati yang utuh akan membantu mengurangi prevalensi beberapa penyakit. Dia mengingatkan, pada akhir 1990-an virus nipah merebak di Malaysia.

“Diyakini bahwa virus itu adalah hasil dari kebakaran hutan, penggundulan hutan, dan kekeringan yang menyebabkan kelelawar buah, pembawa alami virus, pindah dari hutan ke dalam lahan gambut. Ia menginfeksi para petani, yang menginfeksi manusia lain dan yang menyebabkan penyebaran penyakit,” kata Mrema.

Pada Februari lalu, delegasi dari lebih 140 negara bertemu di Roma, Italia, merespons konsep rancangan 20 poin kesepakatan untuk menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati.

Proposal tentang melindungi sepertiga lautan dan daratan dunia serta mengurangi polusi dari limbah plastik turut dibahas. KTT untuk menandatangani perjanjian tersebut dijadwalkan digelar di Kunming, Cina, pada Oktober mendatang. Namun, penyelenggaraannya ditunda karena pandemi Covid-19. (ed: satria kartika yudha)

sumber : Reuters/AP/Guardian
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler