Panduan Ibadah Ramadhan Kemenag dan Moderasi Beragama
Panduan Ibadah Ramadhan Kemenag untuk melindungi keselamatan jiwa.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Thobib Al-Asyhar*
Belum lama ini tersebar Surat Edaran Menag tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah Covid-19 yang menjadi perbincangan publik.
Ada dua pendapat masyarakat menyikapi SE Menag tersebut. Pihak yang kontra berpendapat, Menag terlalu jauh ikut campur dalam urusan ibadah umat Islam. Pelaksanaan ibadah di ruang publik selama mengikuti protokol kesehatan, mengapa dilarang?
Sementara bagi pihak yang pro menganggap bahwa SE Menag sebagai implementasi fiqih Iftiradhy, yaitu konsep fikih hipotesis yang dipelopori para cendekiawan (ahlira'yi). Fiqih iftiradhy merupakan konsep hukum yang digunakan berdasarkan prediksi-prediksi atas fenomena kehidupan yang didasarkan pada disiplin keilmuan.
Dalam konteks wabah Covid-19, Kementerian Agama menggunakan patokan Satgas Nasional Covid-19 dari BNPB bahwa darurat wabah Covid-19 ditetapkan pada 29 Februari sampai dengan 29 Mei 2020.
Artinya, penetapan SE Menag tersebut menjangkau rentang waktu masa darurat yang beririsan dengan masuknya bulan suci Ramadhan. Sebagai catatan, SE Menag menyebutkan bahwa jika suatu saat terdapat perkembangan terbaru terkait Covid-19,baik pusat maupun daerah, maka SE ini tidak berlaku.
Satu alasan penting mengapa SE Menag tersebut diterbitkan, karena praktik-praktik keagamaan merupakan unsur krusial dalam kaitannya dengan program physical distancing (jaga jarak) di masyarakat. Mengapa?
Pelaksanaan event keagamaan tidak semata-mata didorong spirit sosial religius, tetapi juga ada unsur spiritual, yang menembus batas keyakinan dan sulit dijelaskan dengan pendekatan logika. Dalam konteks wabah Covid-19 dikaitkan dengan keyakinan atas takdir mati dan hidup.
Dalam konteks ini, Kementerian Agama hadir memberikan pedoman umat bagaimana menempatkan acara beragama secara moderat. SE Menag tersebut jauh dari keinginan pemerintah untuk menzalimi umat Islam menalankan aktivitas keagamaan di ruang publik, tetapi justru memberikan guidance bagaimana umat menempatkan “cara beragama”secara kontekstual.
Panduan detail tentang cara menjalankan ibadah pada Ramadhan dan Idul Fitri 1441 H merupakan wujud dari implementasi moderasi beragama yang paling nyata. Hal ini bisa dijelaskan dengan analisa sebagai berikut:
Pertama, dalam beragama kita diajarkan bersikap "tawazun" (keberimbangan) yang menjadi salah satu pilar wasathiyatul Islam atau moderasi beragama. Isi SE Menag yang memberi pedoman agar umat Islam tetap berpuasa wajib Ramadhan dengan sholat trawatib berjamaah, bertilawah, bertarawih, sholat Idul Fitri di rumah masing-masing sementara waktu, dan tata cara mengumpulkan dan mendistribusi zakat dengan mematuhi protokol kesehatan adalah tuntunan agar umat bisa menempatkan ibadah wajib dan sunah secara proporsional.
Pedoman tersebut berkesesuaian dengan konteks tugas Kementerian Agama, yaitu li-himayatil ummah atau untuk menjaga umat dari ancaman bahaya penyebaran virus Corona melalui kerumunan.
Tentu virus tidak akan pandang bulu menular meski berada di rumah ibadah sekalipun. SE ini mengandung konsep berpikir dan bertindak seimbang antara menjalankan ibadah wajib dengan sunnah.
Pada saat yang sama juga proporsional dalam menempatkan konsep takdir, iktisab (berusaha), dan tawakal untukmenjaga anugerah Allah berupa kehidupan.
Kedua, SE Menag tersebut dengan jelas menggunakan pendekatan wasathiyah dengan menempatkan konsepal-aulawiyah, yaitu mendahulukan yang prioritas. Kementerian Agama mencoba memberikan pedoman kepada umat akan pentingnya memiliki mendahulukan hal-hal yang lebih penting.
Spirit SE Menag tersebut juga didasarkan pada kaidah al-dlarurat al-khams (lima prinsip kedaruratan) yang menjadi spirit maqashid al-syariah, yaitu: hifdz al-din (menjaga agama), hifdz al-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-‘aql (menjaga akal), hifdz al-nasab, dan hifdz al-mal (menjaga harta). Panduan ini sangat jelas adanya keinginan yang kuat agar umat Islam bisa menjaga agama, jiwa, akal, dan harta.
Dengan menghindari kerumunan sementara waktu, maka eksistensi agama sebagai pijakan hidup manusia akan tetap terjaga. Dengan berpikir“menghindar sementara” untuk tujuan yang lebih besar, maka nilai-nilai agama akan tetap“suitable”dengan alur pemikiran dasar Islam shalihun likulli zaman wal-makan, cocok di setiap waktu dan tempat.
Demikian juga eksistensi akal dan harta akan tetap terjaga. Dengan ikut mendukung program physical distancing melalui pendekatan agama, maka penanggulangan Covid-19 lebih cepat dan dapat menjadikan akal kita lebih realistis dalam menerima kondisi. Sedangkan harta (ekonomi) juga akan segera bisa di-recovery dengan tidak terlalu lama terpuruk untuk kemudian bangkit kembali.
Ketiga, SE Menag ini mencoba menawarkan pola beragama lebih progresif dan kontekstual karena tidak menyalahi prinsip-prinsip dasar. Meski sebatas pedoman praktis dalam menjalankan ibadah sunnah yang bersifat komunal, tetapi sesungguhnya ini ada nilai reformatif dalam pelaksanaan hukum dengan mendahulukan prioritas.
Penerapan pola hukum seperti ini bisa dimasukkan dalam komponen wasathiyatul Islam, yaitu penerapan hukum yang mengutamakan prinsi preformatif untuk mencapai keadaan lebih baik. Hukum ini mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada konsep maqashid al-syariah.
Dari ulasan di atas, implementasi moderasi beragama sangat tampak dari SE Menag tersebut. Bahwa ada sebagian masyarakat ada yang kontra atas terbitnya regulasi ini wajar dalam iklim demokrasi.
* Dosen Program Magister pada Kajian Timteng dan Islam SKSG UI Jakarta