Forum Sipil Desak DPR Hentikan Bahasan Omnibus Law
DPR seharusnya melakukan fungsi pengawasan terhadap penanganan berkenaan Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) mendesak DPR untuk menghentikan proses legislasi terkait pembahasan RUU termasuk omnibus law. FRI meminta parlemen melakukan fungsi pengawasan terlebih dahulu terhadap penanganan pemerintah berkenaan dengan virus corona penyebab Covid-19.
"Perilaku DPR dan pemerintah saat ini justru menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap keselamatan rakyat. Konflik masih terjadi. RUU masih dibahas, di tengah rakyat lebih sering saling bersolidaritas, saling membantu," kata anggota FRI, Wahyu A Perdana, dalam keterangan di Jakarta, Selasa (14/4).
Menurut dia, sikap DPR untuk tetap membahas agenda legislasi telah membuat fokus pemerintah termasuk menteri-menterinya teralihkan. Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi itu mengatakan, pembahasan legislasi di tengah berlakunya PSBB memiliki beberapa masalah sehingga berpotensi mengakibatkan tidak sahnya diskusi yang dilakukan.
Dia mengatakan, undang-undang (UU) mewajibkan adanya keterbukaan esensi masukan publik yang tidak bersifat formalitas. Dia melanjutkan, publik tentu tidak akan bisa mengikuti sidang karena kebijakan PSBB yagn diberlakukan.
Dia menegaskan, absenya publik dalam sidang itu membuat kualitas demokrasi berkurang. Menurut dia, DPR seharusnya menjadi panutan rakyat sehingga mengurangi aktivitas demi menjaga resiko penularan di tengah pandemi.
"Apabila dibandingkan dengan parlemen negara lain, tampak sekali abainya DPR terkait pandemi Covid-19 yang telah menimbulkan perhatian serius negara-negara di dunia, termasuk badan-badan dunia seperti WHO," katanya.
Dia mencontohkan, parlemen New Zealand dan Inggris yang lebih mengutamakan membahas produk hukum berkenaan dengan penanganan Covid-19 dibanding bahasan lainnya. Dia mengatakan, padahal pemerintah juga telah mengeluarkan Keppres 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nasional Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional.
Dia mengatakan, penetapan status hampir enam pekan setelah pasien pertama diumumkan pada tanggal 3 Maret lalu tidak hanya menandai lambatnya penanganan pemerintah atas pandemi Covid-19, tetapi juga tidak berjalannya pengawasan DPR. "Selama hampir 5 bulan ini tidak terdengar langkah-langkah serius DPR dalam pengawasan penanganan Covd-19 oleh pemerintah," katanya.