Kekuasaan, Keadilan, Akal dan Ilmu Dalam Islam
Hikmah dan tanggung jawab ilmu dan kekuasaan mewujudkan keadilam
REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara
Kebesaran sesorang yang sebenarnya terletak di dalam
kesadarannya akan tujuan yang jujur dalam Kehidupan
yang dibangun atas perkiraan yang adil tentang dirinya
dan yang lain, atas perkiraan diri sendiri berkali-kali
dan ketaatan yang mantap kepada kehendak Allah.
(Al-Ghazali)
---------------
Tidak dulu, tidak sekarang hukum tetap saja menjadi satu perkara terpenting di aantara dua yang lainnya. Selalu begitu disepanjang panorama kehidupan. Hukum disepanjang jalan itu selalu diminta dan diandalkan untuk menyudahi berbagai soal, berat maupun ringan.
Mengawali eksistensi dengan tampilan tak yang sedikitpun memperlihatkan manisnya, indah dan bening, perlahan hukum membuat dunia bercahaya kemilau. Tetapi periode indah itu hanya sebentar. Tabiat buruk, menjengkelkan dan menakutkan dari hukum muncul lagi seiring dengan patahan, perginya orang hebat-hebat untuk selamanya.
Hikmahnya pun terlihat. Hukum yang nilai instrinsiknya memukau, ternyata pada level lain mengidap dualitas yang tak mudah disingkirkan. Apakah itu disebabkan hukum diciptakan, dibuat oleh orang? Tidak juga. Mengapa? Karena penggalan-penggalan sejarah menyuguhkan panorama indah seindah rembulan dalam urusan hukum. Kalau begitu apa penyebabnya?
Orang, sekali lagi orang yang harus ditunjuk sebagai penyebab terbesar, bahkan satu-satunya. Sejarah menyediakan lembar demi lembar catatan itu. Penguasa tersaji di atas meja sejarah sebagai faktor utama, yang mendekorasi dunia hukum. Hitam, putih, manis dan pahitnya hukum mengalir dari penguasa, dalam berbagai arti.
Akal Belaka
Memiliki sifat empiris sebagai hal dualistis, hukum menampilkan eksistensi sesuai hasrat pembentuk dan penegaknya. Dualitas ini mewakili dua entitas intrinsik yang satu dan lainnya saling menyangkal, walau kadang bisa seiring sejalan dalam nada dan tujuan yang sama indahnya.
Itu terlihat begitu jtelanjang pada sejarah Mesir kuno. Ini wilayah Firaun. Dan Firaun yang menjadi pangkal cerita utamanya menempatkan akal semata sebagai prima facie pembentukan dan penegakan hukum. Disisi lain yang berdekatan, Persia kuno dan Romawi kuno juga sama dalam hampir semua aspeknya.
Sejarah memang tak selamanya adil mengungkap detail-detailnya. Catatan-catatan sejarah modern tentang hukum dan pemerintah hanya menempatkan warisan Romawi kuno mewarnai pemikiran hukum, politik dan negara. Apa bentuknya? Tinggalkan dulu itu sejenak. Mari susuri Mesir kuno yang melambung menembus lapisan-lapisan langit bermil-mil jauhnya.
Firaun, untuk satu dan lain alasan yang dapat diverifikasi, cukup tepat disematkan sebagai sosok pengguna akal di atas segala-galanya. Akalnya melambungkan dirinya menggapai kesombongan tak perperikan. Akalnya yan membawanya pada pilihan anak-anak laki yang baru lahir pun harus dibunuh.
Dia korup sekorup-korupnya. Hukum yang dibuat dan dilaksanakannya menjadi cermin siapa dia. Semuanya dipandu dengan akal belaka. Dia adalah kerajaan itu sendiri, bahkan Dia adalah Tuhan buat dirinya dan sebagian rakyatnya. Tapi tidak untuk Musa Alaihissalam, Nabin Allah Subhanahu Wata’ala ini.
Firaun menjadi hukum itu sendiri. Dia juga jadi hakim untuk hukum yang dibuatnya sendiri. Dia adalah algojo paling brilyan, yang pada level tertentu terlihat diadopsi oleh Gaius veres di Romawi kuno berabad-abad kemudian. Mereka sama dalam beberapa aspek; tak punya belas kasih.
Dia jadi langit untuk alamnya sendiri. Tetapi akal andalannya itu ternyata justru menjadi kebut tebal buat dirinya. Kabut itu memendekan jarak pandangnya, sehingga tak mampu mengetahui kalau masih ada langit lain di atasnya.
Itu mungkin menjadi cerita utama kegagalannya menolak Musa Alaihissalam, bati kecil yang kelak menjadi Nabi Allah, yang menantang dirinya. Bocah kecil itu, sampai di Istananya dengan cara yang tak dapat diterima akal abadi. Hanya akal Firaun, tertutup telah kabut kesombongan harus menerima dan membiarkannya hidup di dalam Istananya.
Akal bekerja dengan caranya sendiri, dan hati juga bekerja dengan caranya sendiri. Cintanya pada Asyiah, istrinya, begitu alasannya, membawa dia mencari wanita yang tepat untuk mengurusi, menyusui Musa, sang nabi yang masih bayi itu. Akal memenjarakan dirinya. Firaun tak mampu mengetahui bahwa yang menyusui Musa kecil itu, tidak lain adalah ibu kandungnya.
Firaun yang tersohor dengan keganasan dan keangkuhan dalam seluruh spektrumnya, entah merupakan sebuah skenario atau bukan, dapat dibilang menandai satu gerak linear sejarah. Akalnya tak dapat menembus masa lalu, suram, yang ditinggalkan Namrud.
Namrud mendahuluinya untuk kesombongan yang hampir serupa. Sayang dia tak mampu mengambil hikmahnya. Firaun mengabaikan, melalaikan dan membiarkannya tanpa makna, tanpa hikmah. Itu soalnya.
Namrud dengan keangkuhan khas penguasa tolol, bertuhan akal sempit, dengan balutan otoritarian, menantang Nabi Ibrahim Alaihissalam. Ketika Nabi Ibrahim Alahissalam menyeru kepadanya menyembah Allah Ta’ala, ia menyepelekannya dengan keangkuhan tololnya.
Menyambut seruan Nabi Ibrahim itu, begitu tulis Hamid Ahmad At-Tahrir mengutip “Firman-Nya “Dia berkata Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Maksudnya ia (Namrud) juga bisa melakukan hal itu. Ia bisa menjaga kehidupan orang dengan cara, orang yang ingin dibunuh, dibiarkan tak dibunuh. Dan itu menurutnya adalah menghidupkan. Ia juga bisa membunuh siapa saja. Dan itu menurutnya adalah mematikan.
Ibnu Jurais berkata, begitu tulis At-Tahrir dalam lanjutan kajiannya tentang Namrud, ketika dua orang dihadapkan pada Namrud, lalu ia membunuh salah satunya dan membiarkan yang lainnya, ia mengatakan “Aku menghidupkan dan mematikan.” Itu menjadi sebab yang meyakinkan Zaid bin Assalam berkata “sesungguhnya diktator pertama yang ada dimuka bumi ialah Namrud.
Menyatakan dirinya Tuhan “ketika menjawab ajakan seorang tamu yang mengajaknya menyembah Allah” Namrud malah menjawab “memangnya ada Tuhan selain aku? Tapi apa yang terjadi kelak disuatu sesudahnya? Tuhan ini (Namrud), nyatanya tak menantang nyamuk.
Namurd tak dapat memanggil kekuasaan dan kehebatannya yang tak tertandingi itu mengeluarkan nyamuk dari dalam batang hidunya. Nyamuk itu tinggal di dalam batang hidupnya selama 400 tahun. Namrud, sang tuhan jadi-jadian itu pun, harus harus terus-terusan memukul kepalanya sendiri selama itu.
Kebaikan, kebeningan dan keindahan hukum macam apa, andai ada, yang dapat disajikan dalam tampilan aslinya dari dua jagoan kerdil ini? Hampir tak ada kata dan kalimat tepat, yang pantas digunakan selain menyatakan hukum tak lebih dari sekadar senjata penyangga kekuasaan keduanya.
Kedua orang ini adalah hukum itu sendiri. Hukum jadinya sangat personal, subyektif, tergantung dan bersandar penuh pada suasana akal. Keduanya pun menjadi hukuman itu sendiri. Titah keduanya, itulah hukum dan itu pulalah hukuman.
Alam keadilan bekerja dengan nada indah, terus-menerus memanggil manusia menghentikan kebobrokan itu. Allah Yang Mendengar, Maha Tahu, Maha Penolong dan Maha Adil bekerja dengan cara sendiri. Utusan-utusannya, yang tidak lain adalah nabi-nabinya, terus datang dan datang menyerukan keadilan dan kemanusiaan.
Roda hasrat dan teror takdir bertemu dengan efek musikalitas yang mengasyikan sekaligus menyeramkan, menyudahi nafas Namrud dan Firaun. Berakhirkah? Tidak. Keangkuhan akal memunculkan Nabopolassar, pendiri sebuah kerajaan di Babilonia (sekarang Irak).
Memiliki anak bernama Nebukadnessar, Babilon memperluas wilayah taklukannya. Jauh sebelum naik tahta, Nebukandnessar telah memerangi Yerusalem, dan mengalahkan mereka. Situs spritualitas Yahudi runtuh, berantakan untuk selamanya. Dalam perjalanan pulangnya, dia membawa pergi orang pintar Yerusalem ke Babilon. TerLuka dalam semua sudut, tertanam dalam ingatan yahudi Yerusalem.
Kelak setelah ketentuan takdir bekerja mengakiri nafasnya, dan Nebukadnessar menginggal mati diserang wabah nyamuk, kerajaan kecil ini memunculkan Hammurabi. Pria keras yang pernah memerangi Suriah, Damaskus bahkan pernah ke Mesir, akhirnya menjadi raja.
Tercipta atas prakarsa pemerintahannya hukum kodifikasi pertama dalam sejarah ummat manusia sejauh itu. Dikenal dengan nama Codex of Hammurabi, yang menurut Owen Jarus, sekitar tahun 1792-1750 Sebelum Masehi. Tetapi tampilan tak selalu mewakili isinya, hukum ini, untuk alasan apapun, tidak lebih bagus dari hukum-hukum sebelumnya.
Inti gagasan dalam hukum ini, ya untuk menertibkan masyarakat, sekaligus menjadi penopang utama kerajaannya. Ini sangat tipikal, bahkan untuk masa-masa yang datang, yang jauh sesudahnya. Malah praktik itu, kelak dalam bentuk yang lain dengan esensi yang sama mendekorasi hukum-hukum abad pencerahan. Bahkan hingga kini.
Mata dibalas mata, gigi di balas gigi, perusak saluran air harus memperbaikinya sehingga terhindar dari hukuman, termasuk hukuman mati. Ini tipikal hukum Hammurabi. Tipikal ini menjadi penjelas mengapa hukum itu disebut Lex Talionis, hukum balas dendam.
Hakim, dalam hukum ini bukanlah hakim yang dikenal dimasa Khulafa Arrashidin, dan sesudahnya dalam peradaban hukum Islam. Dalam hukum Hammurabi, hakim tidak beritndak sebagai pemutus semata. Mereka dapat juga bertindak sebagai saksi dalam satu perkara yang mereka sendiri terlibat di dalamnya.
Dalam kasus Susanah, seorang perempuan telah bersuami yang dijebak dua hakim. Keduanya mengirim dua pemuda mengintip Susana mandi, sesuatu yang terlarang menurut hukum, berakhir di pengadilan. Kedua hakim licik ini, menjadi saksi untuk tuduhan yang mereka sendiri rancang dan alamatkan padanya.
Susana diadili di pengadilan rakyat. Dua hakim hadir dan menerangkan bahwa Susana telah melanggar hukum. Susana menyangkal, tetapi tak berdaya. Ia, begitu kedua hakim menuduhnya, telah menerima dua laki-laki di kala suaminya sedang tak berada di rumah.
Hukum Hammurabi melarang itu. Susana tak berdaya. Tak punya saksi. Menyangkal tak berguna, dan ya dihukum. Begitulah hukum Hammurabi bekerja. Tak beda dalam esensinya dengan hukum-hukum sebelumnya. Itulah hukum yang bercokol hanya pada akal.
Waktu berjalan dan alam kedatangan orang hebat, berilmu dan bijaksana. Dialah Daud Alahissalam, nabi yang nasabnya tersambung sampai ke Nabi Ibrahim Alaihissalam. Seperti nabi-nabi utusan Allah sebelum dan sesudahnya, Daud menyerukan lagi iman monoteistik. Percaya hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala, satu-satunyaTuhan, Tuhan yang Esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam seluruh dimensi.
Sebagai pencerah yang berilmu dan bijak, Daud Alaihissalam, nabi dn raja di Yerusalem ini memutus gerak linear keangkuhan penguasa sebelumnya. Nabi yang memiliki suara paling merdu sejagat, yang juga raja bani Israil ini, melepaskan orang-orang Israil, yang sepanjang sejarahnya terlihat paling cerdas berkelit, bersiasat dalam berbagai urusan, dari ketertindasan.
Hukum balas dendam ala Hammurabi dikubur. Hukum ini dibuang oleh Nabi Daud selama kepemimpinannya. Nabi ini bekerja dengan hukumnya sendiri. Ilmu menjadi sandaran dengan balutan pesan kitab abadi yang menyertainya. Dengan itu Nabi ini masuk dan memutus perkara-perkara bani Israil. Perselisihan antar warga ia putus sendiri. Ia putus dengan ilmunya yang penuh hikmah.
Keadilannya memukau. Pada kasus dua bersaudara pemilik kambing, yang satu memiliki sebanyak 99 ekor dan saudaranya yang satu hanya punya seekor. Yang seeokor ini pun masih mau diambil oleh saudaranya yang telah memiliki 99 ekor. Setelah mendengar keterangan hanya dari pemilik kambing yang seekor itu, Nabi memberi putusannya.
Kata Nabi, memang banyak diantara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang beriman dan mengerjakan kebaikan; dan hanya sedikit orang seperti itu. Tiba-tiba dua orang itu menghilang dari hadapannya. Ilmunya menyentak kesadarannya. Nabi pun segera tahu bahwa dia diuji.
Apa yang dilakukan Nabi? Dia menyesal, mengakui kekeliruan kecil, yang kelak diketahui lebih merupakan ujian Allah untuknya. Dia segera bertobat, bersujud meminta ampunan Allah Subhanahu Wata’ala. Dan Allah Subhanahu Wata’ala mengabulkannya (Lihat Al-Qur’an, Surat As-Sad, ayat 22-25).
Pada lain waktu, dan ini mengagumkan, Nabi memutus perkara dua orang yang berselisih tentang kebun yang dirusak kambing. Kambing seseorang merusak tanaman orang lain, itu duduk perkaranya. Kasus ini dihadapkan ke Nabi Daud. Nabi menerima dan memeriksanya. Kala memutus kasus ini Nabi ditemani anaknya, Suleimen, kelak menjadi nabi juga. Nabi Daud memutus kambing diserahkan ke pemilik kebun.
Tiba-tiba Suleiman, anaknya yang ada didekatnya mengusulkan pendapatnya. Pendapatnya adalah pemilik kebun memperbaiki kebunnya, dan selama itu dia dapat menggunakan bulu kambing-kambing itu, termasuk mengambil susunya. Setelah tanamannya kembali menghasilkan, kambing-kambing itu diserahkan kembali ke pemiliknya. Peristiwa ini juga diabadikan dalam Al-Quran. (Lihat Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya ayat 78).
Yerusalem tersinari, terdekorasi manis dan indah dengan keadilan Daud yang tak ada preseden yang mendahuluinya. Daud, untuk semua alasan yang mungkin dalam urusan ini, dengan pengetahuan penuh hikmahnya, jelas pada semua aspeknya; teladan hukum dan keadilan. Ilmu yang disandarkan sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, Tuhan Yang Maha Tahu, Maha Bijak dan Maha Adil, hemat saya menjadi penjelas untuk semuanya.
Daud Alaihissalam, terbimbing Allah Subhanahu Wata’ala itu dalam semua aspeknya. Betapa tidak? Daud tershor dan tertuntun hikmah puasanya. Daud berpuasa sehari dan melepaskannya pada hari berikut, lalu berpuasa lagi pada hari berikutnya. Begitulah nabi Daud. Dikenal dengan “puasa Daud.”
Allah Ta’ala yang Maha Tahu, dengan Rahmat dan Rahim-Nya bekerja dengan skenario transendennya. Daud meninggal dunia. Lalu Suleiman Alaihissalam, anaknya yang ketika masih belia usia telah ikut memberi sumbangan pikiran kepadanya, memasuki kekuasaan sipenginggal ayahnya. Dia menggantikan Daud Alaihissalam, ayahnya.
Kelak terlihat sama dengan ayahnya. Gemilang dalam seluruh aspek pemerintahannya. Keadilan dan kebijaksanaan bersendikan ilmu mewarnai seluruh tindakannya. Itulah Suleiman, sang nabi Allah Ta’ala, putra Daud ini. Memilih memperoleh banyak ilmu daripada harta, itulah Nabi ini, Suleiman Alaihissalam.
Keadialan dan kearifan Suleiman kecil itu, terus bersinar disepanjang rute pemerintahan yang dilaluinya. Kearifannya bekerja menerima Ratu Balqis, dari kerajaan Saba’ di Yaman, yang berjarak sekitar 300 KM dari Palestina, pusat pemerintahannya.
Ratu cantik jelita, yang memerintah kerajaannya dengan kebijaksanaan tipikalnya, semula terkesan meremehkan Nabi Suleiman. Dia pernah menawarkan hadiah harta kepada Nabi Suleiman. Tapi misi kenabiannya meremehkan tawaran menggiurkan yang menembus waktu dan ruang untuk ukuran apapun, hadiah Ratu Balkis itu ditolak.
Nabis Suleiman malah mengundang Ratu Balkis ke istananya. Ratu Balkis menyambutnya. Ia mendatangi istana Suleiman Alahissalam, nabi Allah Ta’ala ini. Apa yang terjadi ketika Ratu Balkis berjalan di dalam istana Suleiman? Ratu Balkis tersentak kemegahan istana ini. Ketika melangkahkan kakinya, Ratu cantik ini harus mengangkat ujung kain bajunya.
Kilauan lantainya menyentak Balqis, ratu cantik jelita ini. Setiap derap langkah pendek khas ratu dan wanita cantik, serasa terpercik air. Harta dan kedudukannya tertunduk, menyerah pada kebijaksanaannya. Akhir yang mengagumkan, Balqis, si ratu cantik ini mengikuti ajakan Nabi; beriman hanya pada Allah Subhanahu Wata’ala saja.
Takdirkah yang membawa Balqis ke situ? Kecuali Allah, burung hud-hud, pembawa surat Suleiman kepada ratu ini pun, pasti tak bisa memberi jawaban final. Tak mungkin juga meminta semut, bahkan raja semut sekalipun menerangkannya.
Semua yang memiliki awal, begitu teoremanya, pasti memiliki akhir. Daud, sang nabi adil dengan kebijaksanaan dan puasanya, akhirnya sampai juga pada titik kesepakatan abadi, mati. Begitu pula Nabi Suleiman Alaihissalam, anaknya yang adil dan bijak khas ayahnya, juga berakhir dititik kesepakatan abadi yang sama, mati.
Datang dan pergi sejumlah nabi sesudah mereka, sampai akhirnya Allah Maha Pencipta mengirim Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, kekasihnya. Tak mengenal ayahnya sedari kecil, itulah Mhammad Sallahu Alaihi Wasallam. Tetapi kedatangannya seolah menjadi suratan alam bahwa kezaliman sampai dengan waktu itu, dan sesudahnya segera berada dalam tantangan paling eksplosif.
Ada begitu banyak hal indah yang menghidupkan dan mengocok rasa, menghadirkan simpati. Juga optimisme bahkan keberkahan dari Muhammad kecil. Memukau bila dijahit satu demi satu. Tapi satu hal, kejujuran yang merupakan hulu keadilan, kekuatan dan keagungan hukum, politik dan ekonomi, telah menyertainya sedari kecil, seperti purnama disepanjang malam.
Keberuntungan, sebenarnya keberkahan telah dilihat Halimah sejauh itu pada Muammad, si kecil yang jujur. Itu membelenggunya untuk terus mengasuhnya. Ada semacam keberuntungan, kata Halimah dengan mengasuhnya. Tetapi Abdul Muthalib, kakeknya, pelindung otoritatif baninya, harus mengambil dari Halimah dan membesarkannya.
Kejujuran dan keberuntungan berspektrum Rabbani telah mengalir disekujur nafasnya. Nampak di sepanjang waktu, Muhammad remaja menemani kakeknya berdagang. Kejujurannya melambung membelah kegelapan Makkah. Dan Khadijah, penghulu seluruh muslimah, wanita paling kaya, dan berkumpul padanya kehormatan ini terperangkap pesona kejujurannya.
Pesona itu mendekatkan dirinya pada Muhammad, Sang kekasih Allah yang agung ini, dalam jalinan usahanya. Jalinan ini membesar dalam rasa lain yang terhormat. Kebaikan tak boleh dibiarkan berlalu. Akhirnya dengan disegerakan dengan cara terhormat. Keduanya tersatukan dalam ikatan suami-istri.
Malam-malam sesudah itu, Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, suami Khadijah, sering menyendiri.
Suatu malam yang dingin di Gua Hira, Muhammad, yang saya tak mampu tak menulis Sallallahu Alaihi wasallam untuknya, kedatangan peristiwa, mungkin apokalipstik. Baca? Bagaimana bisa? Saya tak bisa baca. Baca, kata suara itu! Ini digambarkan dengan sangat memukau oleh Lesley Hazleton, Jurnalis Timur Tengah yang memfokuskan tulisannya mengenai temat-tema politik dan agama serta sejarah peristiwa aktual.
Hazleton menulis, apa yang terjadi di Gua Hirah di atas sana, reaksi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam benar-benar manusiawi itu, barangkai merupakan argumen paling kuat bagi kebenaran historis peristiwa tersebut. Rasa ngeri adalah satu-satunya tanggapan yang waras. Kengerian dan penyangkalan.
Sebaliknya, tulis Hazleton lebih jauh, Khadijah bereaksi seolah hal ini merupakan apa yang selama dia sudah duga, seolah-olah dia sudah melihat dalam diri Muhammad apa yang tak terlintas dalam pikiran suaminya. Ketika Muhammad bilang dia khawatir akan menjadi gila, Khadijah hanya menggelengkan kepala.
Semoga Tuhan menyelamatkanmu dari kegilaan, sayangku, katanya. Tuhan tidak akan melakukan hal seperti itu kepadamu, karena Dia tahu ketulusanmu. Hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Dan begitu Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam menceritakan kepadanya semua yang terjadi, keyakinan Khadijah yang tenang itu semakin menguat. Demi Dia yang ditangannyalah jiwaku berada, katanya “berharap semoga engkaulah nabi bagi masyarakat ini.”
Awal yang menentukan saat itu dan sesudahnya, bersinar terang untuk semua spektrum. Itu mungkin menjadi kalimat paling representative yang menandai kedatangannya, yang berabad-abad lalu telah diterangkan Isa Alaihissalam. Dan ya, dunia arab dan sekitarnya, termasuk Persia dan Romawi Timur (Byzantium) yang semula berpusat di Siria, akhirnya berubah untuk selama-lamanya. Babilonia dan Persia juga sama, berubah, hilang untuk selamanya.
Nabi mengambil langkah luar bisa, tulis Karen Amstrong dalam File Bloddnya, dengan bermigrasi, hijrah dari Makkah ke Madinah. Gemilang dengan ilmu dan kebijaksanaannya, dan semua atribut teologis, Madinah ditata. Ia awali dengan konsep “ummah.” Orang Madinah menerimanya dengan tulus. Dikenal dengan kaum Ansyar (penolong).
Ketajaman ilmu dan kecerdasannya segera menghiasi Madinah. Hukum baru untuk kehidupan bersama yang bermartabat segera diperkenalkan. Itulah Piagam Madinah (Madinah Charter), begitu sebutan umum untuk piagam ini. Keangkuhan kesukuan dan teritorialitas di Madinah sebelumnya dilembutkan, diubah menjadi hidup bersama secara bermartabat.
Orang-orang yang begitu lama terperangkap pada sentimen dan keangkuhan kesukuan, disatukan dalam citarasa hidup bersama sebagai manusia berakal, beradab dan bermartabat. Status hukum mereka yang berbeda-beda disetarakan. Hak dan kewajiban untuk semua kelompok, suku, disetarakan.
Keadilan jelas, bekerja disepanjang kepemimpinannya. Rasulullah menjadi hakim untuk semua perselisihan. Sedemikian banyaknya sehingga tak mungkin dirangkai satu demi satu pada kesempatan ini. Bagi saya cukuplah piagam Madinah diketengahkan untuk menjelaskan keadilan yang bersandar pada ilmu dan kebijaksanaannya bekerja menandai keagungannya dalam bidang ini.
Hukum dan keadilannya terus bersinar menyusuri waktu-waktu yang akan datang sesudah kepergiaannya yang abadi. Satu demi satu sahabat-sahabat yang memerintah memperlihatkannya. Dari Sayidina Abubakar Ass Siddiq, pria yang tak pernah menyangkal kebenaran ucapan Rasulullah ini, memulainya. Ruang ini tak bakal cukup mencatatnya. Cukuplah mengutip uraian Khalid Muhammad Khalid, penulis bestseller Rijal Haula Ar-Rasul tentang dia.
Khalid menulis “Apabila melihat keadaan yang menyedihkan, kedua matanya akan lembab, basa, lalu meneteskan air mata sebagai ekspresi rasa kasih sayang dengan kepeduliannya. Sedangkan jika melihat kezaliman, kedua matanya akan merah, membara dengan gelora yang tulus dan suci.”
Menjadi penguasa bukan berarti menguasai, melainkan tugas yang wajb ditunaikan sebaik mungkin. Kepemimpinan bukanlah sikap congkak karena merasa terhormat dibandingkan dengan orang lain, tulis Khalid pada bagian lain. Itulah Sayidina Abubbakar, sahabat yang pertama memerintah setelah kepergian Rasulullah Sallalahi Alaihi
Lain Sayidina Abubakar, lain pula Sayidina Umar Bin Khattab. Tetapi keduanya sama dalam satu hal; adil dalam berhukum dengan ketegasan dan kelembutan yang hebat selama memimpin. Dikenal jauh sebelum menjadi khalifah sebagai orang adil dan tegas, itu juga terlihat pada pertamanya setelah diangkat menjadi Khalifah.
Sepenggal kalimat dalam pidatonya disajikan Muhammad Husen haikal berikut ini. “Kemudian sayalah, saya yang akan mengurus kalian. Ketahuilah Saudara-saudara, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair. Sikap itu hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum Muslimin. Tetapi buat orang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil, saya lebih lembut dari mereka semua.
Sayidina melanjutkan, saya tidak akan membiarkan orang berbuat zalim kepada orang lain atau melanggar hak orang lain. Pipi orang itu akan saya letakan di tanah, dan pipinya yang sebelah lagi akan saya injak dengan kaki sampai ia mau kembali kepada kebenaran. Sebaliknya sikap saya yang keras, bagi orang yang bersih dan mau hidup sederhana, pipi saya ini akan saya letakan di tanah.
Cara adalah satu hal dan esensi serta tujuan adalah hal lainnya. Dengan cara berbeda, tetapi esensi dan dan tujuan yang menghidupkan hukum seadil-adilnya untuk kemaslahatan, martabat, harta setiap orang, bersinar lagi dalam kepemimpinan sesudah mereka. Akal dituntun ilmu, kembali menemukan panggung di sepanjang kepemimpinan Sayidina Usman dan Sayidina Ali, dalam periode yang singkat.
Cahaya keadilan tak pernah terutupi debu waktu. Karena bersemayam dan memancar dari jiwa-jiwa yang berilmu, keadilan pada dasarnya tak terdefenisikan. Itu sebabnya ia akan terus ada, mekar, sejauh akal berisi ilmu. Siappun orangnya, sepanjang dia memilikinya, keadilan akan mekar semekar-mekarnya.
Umar Bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rashid, Shlahuddin Al Ayubi, dan Muhammad Al-Fatif, yang datang jauh sesudah Khulafa Ar Rasyidin itu, memiliki itu; akal dan ilmu. Ilmu ini tidak khas Aristotelian, Bentham, John Marshal, Dworkin dan Antonio Scalia. Tidak!
Jiwa yang bening, berkilau dengan akal yang berilmu, itulah induk keadilan, ibunya hukum. Keadilan itu berakar pada jiwa, pada akal yang berilmu, yang membuat pemiliknya tahu, bahwa kelak mereka juga diadili. Ketika masa itu tiba, anda sendiri yang berdiri di hadapan Sang Pengadilan akhir. Tak ada kata-kata. Tak ada yang membantu. Kau sendiri bicara, dan raga menjadi saksi. Akal tak bekerja. Ilmu berkilauan.