Harga Gabah Kemungkinan Terus Turun Akibat Distribusi Macet
Alur distribusi beras terganggu karena pedagang menutup toko selama PSBB.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan kemungkinan harga gabah akan terus mengalami penurunan hingga bulan Mei 2020. Hal itu lantaran situasi distribusi beras yang mengalami gangguan akibat wabah Covid-19 sehingga terjadi penumpukan beras di daerah sentra.
Said mengatakan, dilihat dari laporan daerah, harga gabah saat ini masih normal. Di sebagian daerah, gabah masih dihargai cukup tinggi, sedangkan di sebagian daerah justru terus mengalami penurunan hingga di bawah acuan pemerintah sebesar Rp 4.200 per kilogram.
"Ini masih awal panen, puncaknya akhir April sampai Mei. Kita harus melihat detail pergerakannya," kata Said saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (17/4).
Ia menjelaskan, komoditas hortikultura pada saat awal pandemi Covid-19 mengalami lonjakan harga. Namun, saat ini justru turun drastis akibat lesunya permintaan dari berbagai daerah imbas penerapan pembatasan sosial.
Hal itu bisa terjadi pada komoditas tanaman pangan, terkhusus beras. Saat ini, kata Said, para penggilingan maupun tengkulak masih memiliki kemampuan untuk membeli gabah petani dengan harga yang tinggi. Namun, situasi itu bisa jadi akan berubah dalam satu bulan ke depan.
Pasalnya, alur distribusi ke berbagai daerah yang selama ini dilakukan terganggu. Di satu sisi, banyak pedagang yang menutup tokonya untuk sementara waktu. Said mengatakan, situasi itu lantas dapat berimbas pada macetnya penjualan beras dari penggilingan padi.
Pihak yang paling merugi yakni petani karena terancam kesulitan menjual gabah hasil panen. "Ini risiko, jadi mungkin harga gabah akan melandai. Skenario ini juga sudah diantisipasi oleh Kementerian Pertanian," kata Said.
Dalam situasi itu, Said mengatakan, harapan satu-satunya ditujukan kepada Perum Bulog yang memiliki tugas penyerapan gabah untuk keperluan pengadaan cadangan beras pemerintah. Bulog wajib mempersiapkan diri untuk melakukan penyerapan gabah dalam jumlah besar ketika harga gabah mulai menunjukkan tren penurunan.
Apalagi Bulog memiliki kecukupan infrastruktur dan tidak bergantung penuh pada pasar atau ritel karena sudah memiliki outlet Rumah Pangan Kita (RPK) dan toko online yang baru dirintis.
"Pemerintah harus all out karena kalau hanya mengandalkan mekanisme pasar itu akan berat. Terlebih ada hambatan distribusi," kata Said.
Bila perlu, ia menyarankan agar pemerintah dan Bulog bisa menggunakan instrumen fleksibilitas pembelian harga gabah seperti yang diterapkan sebelumnya. Di mana, dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 4.200 bisa dinaikkan sehingga bisa menjangkau harga gabah petani yang saat ini masih tinggi.
Hal itu, kata Said, demi mengantisipasi situasi dan dinamika yang kemungkinan terjadi pada bulan Mei ke depan. "Kalau wabah sampai masuk ke desa-desa, selesai sudah. Pemerintah harus konsentrasi untuk menyelamatkan petani," ujarnya.