Niat Puasa Ramadhan dan Pandangan para Ulama
Niat merupakan hal yang tidak boleh terlupa ketika melaksanakan puasa Ramadhan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari. Bulan kesembilan dalam kalender hijriyah ini adalah bulan yang dinanti-nantikan umat Islam.
Di bulan yang penuh berkah ini, Allah mewajibkan untuk berpuasa selama satu bulan lamanya. Kewajiban berpuasa itu dimulai setelah melihat hilal awal bulan Ramadhan.
Dalam menyambut bulan Ramadhan, seorang Muslim perlu memahami rukun dalam puasa Ramadhan, sehingga puasanya itu sah di hadapan Allah. Hanya ada dua rukun puasa Ramadhan, yakni niat dan menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, dan menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa sejak munculnya fajar shidiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu magrib).
Niat merupakan hal yang tidak boleh terlupa ketika melaksanakan puasa. Sebab, jika tidak melakukan niat, maka tidak sah puasa Ramadhannya. Namun, ada beberapa perbedaan pendapat terkait pelaksanaan niat puasa Ramadhan ini.
Kapan rukun niat puasa Ramadhan itu harus dilakukan? Apakah niat puasa Ramadhan boleh dilakukan langsung untuk selama satu bulan Ramadhan dalam satu malam atau tidak?
Abu Maryam Kautsar Amru dalam bukunya berjudul Memantaskan Diri Menyambut Bulan Ramadhan: Panduan Lengkap Menyambut Bulan Ramadhan menyebutkan, para ulama memperinci niat puasa wajib di bulan Ramadhan harus dilakukan pada hari sebelum dia melakukan puasa. Dengan demikian, niat dilakukan pada malam sebelumnya atau sebelum fajar tiba. Rukun ini hanya berlaku pada puasa wajib Ramadhan dan tidak berlaku untuk puasa sunnah lainnya.
Hal ini merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi.
Hadits lain turut menguatkan soal niat puasa Ramadhan ini. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya." Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa'i, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hazm dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, dan sanadnya shahih.
Lantas, apakah boleh niat puasa langsung untuk satu bulan Ramadhan dalam satu malam? Sebagian ulama membolehkan melakukan niat puasa langsung untuk satu bulan Ramadhan. Di antara ulama yang membolehkan adalah Syaikh Al-Utsaimin.
Syaikh Al-Utsaimin mengatakan, cukup dalam seluruh Ramadhan berniat sekali di awal bulan. Sebab, dikatakannya, walaupun seseorang tidak berniat puasa setiap hari pada malam harinya, semua itu sudah masuk dalam niatnya di awal bulan. Namun, beliau berpendapat, jika puasanya terputus di tengah bulan, baik itu karena bepergian, sakit dan lainnya, maka seorang Muslim harus berniat lagi.
Sementara itu, pendapat dari jumhur ulama mengatakan, tidak boleh untuk niat puasa langsung untuk selama satu bulan Ramadhan. Para ulama berpandangan, niat puasa itu harus dilakukan setiap hari dengan cara menghadirkannya di dalam hati dan diniatkan dalam jarak waktu antara malam hingga sebelum subuh.
Imam mazhab seperti Imam Syafi'i, Imam Malik dan Abu Hanifah, bersepakat niat puasa pada suatu hari itu tidak terkait dengan hari lainnya. Pandangan jumhur ulama ini didasarkan pada hadits Nabi SAW, bahwa niat puasa harus dilakukan pada malam harinya.
Terkait dengan pelafalan niat, Abu Maryam menyebut sebenarnya Rasulullah SAW dan para sahabat tidak pernah mencontohkan bagaimana pelafalan niat dalam puasa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya soal bagaimana penjelasan Rasulullah SAW tentang puasa Ramadhan, apakah harus menetapkan niat setiap hari atau tidak.
Ibnu Taimiyah menjawab, "Setiap orang yang mengetahui esok hari adalah Ramadhan dan dia ingin berpuasa. Maka itu (secara otomatis) berarti dia telah berniat untuk berpuasa. Sama saja, baik itu dia dengan melafalkan cara membaca niat atau tidak melafalkan niat, niat itu sudah maujud di dalam hatinya. Ini adalah perbuatan kaum Muslimin secara umum. Sehingga setiap kaum Muslim itu sudah memiliki niat untuk berpuasa." (Majmu' Fatawa 25:215).
Menurut Ibnu Taimiyah, niat adalah amalan hati, bukan amalan lisan. Oleh karena itu, menurutnya, niat melakukan ibadah mahdhah, termasuk puasa, cukup dilakukan dalam hati dan tidak perlu diucapkan dengan lisan. Dengan demikian, ketika seseorang akan berpuasa dan dilakukan dengan sadar dan sengaja di dalam hatinya bahwa dirinya akan melakukan puasa, maka itu sudah masuk dalam kategori niat.
Menurut imam empat mazhab, kedudukan niat dalam puasa Ramadhan adalah muthlaq. Sementara mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memandang melafadzkan niat adalah wajib. Atas dasar itulah, imam shalat Tarawih disebutkan harus memimpin membaca niat puasa Ramadhan setelah doa shalat witir dengan lafadz sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى
"Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i fardi syahri ramadhani hadzihi as-sanati lillahi ta'ala." Artinya: "Aku berniat puasa esok hari (pagi) untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta'ala."