IMF Pertimbangkan Penundaan Pembayaran Utang Negara Miskin

IMF kembali menyerukan kemungkinan alokasi Special Drawing Rights yang ditentang AS.

Salvatore Di Nolfi/Keystone via AP
Dewan eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan pada Senin (9/9) bahwa mereka akan mempertimbangkan pencalonan Kristalina Georgieva, Bulgaria, yang saat ini menjadi kepala eksekutif Bank Dunia, untuk posisi direktur pelaksana IMF.
Rep: Adinda Pryanka Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dana Moneter Internasional (IMF) berencana melangkah keluar dari zona nyaman dan mempertimbangkan beberapa langkah luar biasa untuk membantu negara menangani pandemi Covid-19 serta mengurangi dampak ekonominya. Rencana ini disampaikan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, Senin (20/4).

Baca Juga


Dalam blog yang diterbitkan di situs IMF, Georgieva mengatakan, pihaknya telah mengambil langkah luar biasa untuk membebaskan sumber daya milik mereka. Khususnya ditujukan untuk pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang yang telah mengalami aliran modal keluar sampai 100 miliar dolar AS dalam beberapa bulan terakhir, tertinggi berdasarkan catatan tiap negara.

Namun, Georgieva menilai, lebih banyak sumber daya yang dibutuhkan apabila tekanan ke pasar keuangan terus meningkat. Meminjam, sekalipun dengan persyaratan mudah, tidak selalu menjadi solusi terbaik mengingat tingginya beban utang yang dihadapi banyak negara.

"IMF, seperti negara-negara anggotanya, mungkin perlu eksplorasi lebih jauh di luar zona nyaman untuk mempertimbangkah apakah dibutuhkan langkah luar biasa untuk menghadapi krisis luar biasa sekarang," ujar Georgieva seperti dilansir Reuters, Selasa.

Georgieva belum memberikan rincian langkah yang akan diambil. Tapi, pernyataannya itu muncul setelah sebuah makalah bersama antara IMF dengan Bank Dunia mengatakan, banyak negara mungkin memerlukan bantuan keringanan atau pembebasan utang (debt relief). Negara tersebut selain 77 negara termiskin yang telah diberikan penundaan pembayaran utang dengan pinjaman bilateral resmi oleh IMF.

Georgieva juga kembali menyerukan kemungkinan alokasi Special Drawing Rights (SDRs), unit pertukaran resmi IMF, yang akan mirip dengan kebijakan 'mencetak' uang baru Bank Sentral. Tapi, Amerika serikat menentang langkah itu.

"Kami siap mengerahkan kapasitas pinjaman kami secara penuh dan untuk memobilisasi semua lapisan jaring pengaman sosial, termasuk memikirkan apakah SDR bisa lebih membantu," katanya dalam Blog.

Pada pekan lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menolak alokasi SDR dengan alasan, 70 persen dari dana tersebut akan masuk ke negara-negara G20. Padahal, sebagian besar di antara mereka tidak benar-benar membutuhkannya. Sedangkan, hanya tiga persen yang akan dialirkan ke negara berpenghasilan rendah.

Sebagai gantinya, Mnuchin mendesak ekonomi maju untuk berkontribusi dalam penyediaan dana bagi negara termiskin. Pemerintah AS kini sedang mengeksplorasi kemungkinan kontribusi tersebut. Seorang pejabat di Departemen Keuangan AS mengatakan, kontribusi AS ini akan membutuhkan persetujuan kongres.

Sementara itu, dalam blognya, Georgieva mengapresiasi kemurahan hati Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, Singapura dan China dalam meningkatkan sumber daya yang tersedia di Catastrophe Containment and Relief Trust. Jalur ini akan membantu anggota termiskin IMF dengan memberikan hibah untuk menutupi pembayaran utang mereka kepada IMF.

Georgieva juga menyebutkan, Jepang, Prancis, Kanada, Inggris dan Australia telah berjanji akan memperluas Poverty Reduction and Growth Trust milik IMF ke angka 11,7 miliar dolar AS. Besaran itu mencapai 70 persen dari target, 17 miliar dolar AS.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler