Migran di Italia Terbengkalai Selama Lockdown
Kondisi semakin memburuk karena mereka kehilangan pekerjaan.
REPUBLIKA.CO.ID,CASTEL VOLTURNO -- Migran asal Afrika yang berada di Italia dikenal sebagai "invisibles". Julukan itu merujuk pada mereka yang tidak berdokumen dengan pekerjaan serabutan, bahkan ketika virus korona belum menghantam negara tersebut.
Menjalani lockdown selama dua bulan di apartemen-apartemen yang hancur di di utara Napoli, keberadaan migran ini sangat buruk. Kondisi semakin memburuk karena mereka kehilangan pekerjaan, tanpa makanan, dan tanpa harapan.
"Saya butuh bantuan. Tolong aku. Untuk anak-anak saya, untuk suami saya, saya perlu bantuan," kata penata rambut asal Nigeria bernama Mary Sado Ofori.
Ibu dari tiga anak ini berlindung di blok apartemennya yang penuh sesak. Dia kehabisan susu untuk anaknya yang berumur 6 bulan dan bergantung dari bantuan dari seorang teman.
Italia sedang bersiap untuk membuka kembali beberapa bisnis dan industri dalam pelonggaran lockdown pada Senin (4/5). Hanya saja, keputusan ini bisa mengurangi kesengsaraan migran.
Pemerintah yang tidak jelas dalam memberikan dukungan untuk migran membuat beberapa orang mencoba memberikan perhatian. Mulai dari sukarelawan, petugas medis, pendeta, mediator budaya dan pejabat balai kota setempat mengantarkan barang belanjaan setiap hari ke apartemen migran dan berusaha memberikan perawatan kesehatan.
"Ada keadaan darurat di dalam darurat Covid yang merupakan keadaan darurat sosial. Kami tahu ini akan terjadi, dan kami menunggu sejak awal," kata sosok yang menjalankan klinik kesehatan, Sergio Serraiano.
Virus ini menyerang paling keras di industri utara Italia, di mana kasus pertama didaftarkan pada 21 Februari dan menginfeksi 27.000 orang. Sebagian besar perhatian dan respons pemerintah terfokus pada penguatan sistem perawatan kesehatan.
Kondisi itu yang membuat pemerintah Italia melupakan Castel Volturno, sebidang tanah sepanjang 27 kilometer yang membentang di sepanjang laut utara Napoli. Wilayah ini dikendalikan oleh sindikat kejahatan terorganisir Camorra dan hanya melaporkan sekitar selusin kasus, tidak ada satu pun kasus ditemukan pada migran.
Castel Volturno memiliki masalah lain yang diperparah dengan krisis Covid-19. Dikenal sebagai "Terra dei Fuochi" atau tanah kebakaran, wilayah ini dan daerah sekitarnya memiliki tingkat penyakit kanker yang sangat tinggi. Kondisi ini terjadi karena pembuangan ilegal dan pembakaran limbah beracun yang telah mencemari udara, laut, dan bawah tanah.
Gerombolan Camorra menjalankan obat-obatan dan pembuangan limbah. Para pejabat telah memperingatkan kelompok itu bersiap untuk mengeksploitasi kesengsaraan ekonomi yang disebabkan oleh lockdown.
Wilayah ini menjadi tempat "invisibles" menetap selama bertahun-tahun. Banyak pula migran yang menyeberangi Mediterania dari Libya secara sembunyi-sembunyi tinggal dan berharap memiliki hidup lebih baik.
Laporan jumlah secara pasti penghuni Castel Volturno tidak diketahui. Namun, perkiraan migran yang menyeberang ke Italia mencapai 600.000, sedangkan yang memutuskan tinggal di Castel Volturno, menurut data resmi, sekitar 26.000.
Para migran, yang sudah hidup genting tanpa izin tinggal resmi atau izin kerja, sekarang tidak dapat membayar sewa atau membeli makanan. "Kami tidak punya listrik. Kami tidak punya air. Kami tidak memiliki dokumen," kata migran Ghana berusia 43 tahun, Jimmy Donko.
Donko tinggal bersama 46 pria Nigeria dan Ghana di sebuah rumah gelap yang kumuh. Untuk mandi, mencuci, dan menyiram toilet, dia dan teman-teman serumahnya berjalan sejauh 300 meter dengan ember ke air mancur. Tingkat keputusan terlihat jelas di mana-mana, tanpa listrik atau pendingin, makanan akan cepat basi dan harus langsung dimasak.
Sebuah konsorsium serikat pekerja dan organisasi nirlaba telah menyerukan amnesti umum untuk melegalkan migran tidak berdokumen. Para menteri pemerintah telah berjanji untuk membantu.
Sebuah undang-undang yang diusulkan akan melegalkan pekerja pertanian migran untuk panen stroberi, persik dan melon, mengingat pertanian musiman resmi Italia telah berdiam diri di rumah karena pembatasan perjalanan. Namun, tidak ada proposal yang berubah menjadi undang-undang, terlebih lagi terdapat pertentangan sengit di seluruh negeri dan di Castel Volturno untuk langkah melegalkan tenaga kerja Afrika.