Nasionalisme Kaum Pekerja

Kaum pekerja yang disebut buruh selalu menjadi "korban".

Antara/Basri Marzuki
Sejumlah pekerja memperbaiki Base Tranceiver Station (BTS) milik Telkomsel yang terdampak gempa bumi di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (13/10).
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Karim, Sekjen DPP Serikat Karyawan Telkom 2016-2019


Covid-19 membuka banyak mata, menyingkap banyak rahasia dan menyajikan sejumlah fakta baru bahwa hidup kita semua ini betapapun juga, memiliki ketergantungan satu sama lain, baik secara lokal regional maupun secara global. Tingginya tingkat ketergantungan itu terbukti bahwa semua orang akhirnya harus menyepakati virus corona hanya dapat dilawan secara bersama-sama. Satu elemen saja tidak kompak, maka rencana-rencana penanganan corona bisa ambyar.

Misalnya ada pasien yang menolak dirawat, atau ada anggota dewan yang ogah dites. Dalam konteks ini, dapat dimaklumi apabila aparat harus bertindak “keras” kepada para pelanggar anjuran jaga jarak.

Fakta baru yang akan banyak menginspirasi adalah konsep work from home (WFH), walau gaya kerja online ini bagi sebagian kalangan bukan barang baru. Bahwa pekerjaan dapat diselesaikan tanpa harus datang ke kantor.

Ketika kondisi corona memaksa orang untuk membatasi gerakan, maka WFH ditengok sebagai satu pilihan agar proses layanan dan produktivitas tidak terganggu. Namun kerja dari rumah menuntut berbagai prasyarat, antara lain ketersediaan teknologi jarak jauh, yaitu jaringan internet dengan segala macam aplikasi pendukungnya.

Covid-19 membuka fakta baru bahwa ternyata kita belum menyiapkan mitigasi jenis ini, di mana manusia tidak boleh bergerak sementara pekerjaan harus tetap jalan. Dalam undang undang kekarantinaan memang sudah disebutkan mengenai karantina dengan berbagai tahapannya, tetapi belum ada contingency untuk WFH.

Banyak aplikasi yang tersedia di internet yang memungkinkan kita menggelar video conference misalnya. Namun penggunaan aplikasi itu selama ini menjadi pilihan platform yang kesekian, belum pernah digarap serius.

Maka ketika WFH tidak dapat dihindari dan penggunaan aplikasi digital itu menjadi wajib, maka kita jadi kelabakan. Ternyata aplikasi-aplikasi gratisan itu tidak handal saat digunakan secara massif. Lantas kita bertanya-tanya, apa yang dapat kita perbuat. Siapa yang menyediakan fasilitas ini?

Ketika anak sekolah harus mengunduh PR melalui ponsel, siapa yang sediakan jaringan, siapa yang memberikan gawainya, siapa yang membelikan paket data, dan seterusnya.

Dengan segenap kebingungan itu, kita dapat menjalankan gerakan perlawanan semesta terhadap covid-19. Semua orang bergerak dan berkreasi.

Di tingkat negara muncul kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di tingkat para akademisi, muncul berbagai kreasi ilmiah. Di masyarakat muncul inovasi hand sanitizer, mendesain masker model-model baru, mencari empon untuk membunuh virus corona.

Di dunia maya muncul hoax-hoax, parodi-parodi dan gambar-gambar lucu. Di tengah derita kita masih sempat bercanda. Itulah manusia.
Namun yang hampir sempat terlupakan, terapi akhirnya menjadi perhatian utama adalah para pejuang kesehatan.

Para dokter, para medis dan segenap unsur pendukung di rumah sakit. Mereka ini memegang peran penting dalam menangani covid19 dan satu di antara sedikit jenis pekerjaan yang tidak dapat masuk ke program WHF.

Mereka berada di depan garis perkelahian melawan virus. Mereka tidak boleh menghindari, karena mereka justru harus mendekati, bila perlu memegang leher corona itu. Karenanya mereka menjadi korban terdekat.

Mungkin pasien yang mereka rawat sudah sembuh, tetapi mereka sendiri meninggal dunia. Itulah para dokter, paramedis, perawat dan segenap warga rumah sakit yang harus begadang di rumah sakit.

Tekanan masih mereka terima dari stigma oknum masyarakat yang melihat mereka sebagai ancaman sehingga ada yang terusir dari kost-nya. Maka sangat wajar bila mereka difasilitasi dan dimakamkan di makam pahlawan apabila meniggal dunia karena covid-19.

Bila para perawat itu harus berhadapan langsung dengan covid-19 karena pekerjaan mereka tidak dapat dihandel jarak jauh, sebenarnya masih banyak orang-orang yang juga tidak dapat WFH, mereka itu adalah para petugas garis depan di sektor lain yang harus stay at field  (bukan stay at home), yaitu para operator kereta api, pilot-pilot pesawat kargo, sopir-sopir truk sembako, sopir-sopir tanki bahan bakar, petugas SPBU, petugas PDAM, pekerja gangguan listrik dan teknisi-teknisi jaringan internet.

Covid-19 akhirnya membuka tabir gelap ini, tanpa mereka itu semua, pasti dan pasti program-program penanganan covid-19 seberapa pun canggihnya tidak akan dapat berjalan dengan baik di lapangan. Ambil contoh sektor telekomunikasi dan energi listrik. Perusahaan-perusaahaan tempat mereka bekerja pasti mengambil kebijakan-kebijakan khusus di tengah covid-19, terutama dalam mendukung layanan jaringan internet maupun listrik agar WFH tak terkendala.

Secara natural, WFH pasti memicu intensitas percakapan daring. Kami pantau di satu Plasa Telkom, demand layanan indihome tidak surut, bahkan permintaan upgrade speed data meningkat. Kebanyakan dengan alasan WFH.

Karena itu, sensitifitas terhadap dua sektor public utility ini menjadi tinggi. Sedikit saja gangguan listrik atau internet pasti cercaan muncul lebih banyak dari sebelumnya.

Menurut berita, PLN Jakarta menyiapkan 2.371 petugas untuk menjaga pasokan listrik selama musim PSBB. Kementerian BUMN menyatakan siap dukung WFH. Untuk itu mereka mengandalkan BUMN PT Telkom yang jaringannya relatif paling luas, karena di dalamnya juga ada Telkomsel.

Kebijakan khusus diambil untuk mendukung learning at home Menteri Pendidikan. Mahasiswa dan pelajar yang ingin berlangganan Indihome dapat paket harga khusus. Tentu saja kebijakan layanan ini tidak mungkin berjalan baik tanpa availability network yang andal. Dan sudah pasti akan ada pengarahan teknisi lapangan.

Sektor-sektor lain juga pasti melakukan hal yang sama. Pertamina menjamin pasokan BBM, Bulog menggaransi pasokan bahan pokok, institusi layanan publik berlomba-lomba menyatakan dukungan pada kebijakan PSBB. Namun yang tidak boleh dilupakan akan aspek yang selama ini sering dilupakan. Yaitu kesejahteraan tenaga kerja garis depan.

Kita tahu kebanyakan di perusahaan-perusahaan baik milik negara atau milik swasta, para teknisi lapangan kebanyakan adalah tenaga yang disebut outsourcing, bukan karyawan tetap dengan penghasilan pasti. Kalau dokter, paramedis dan perawat khusus yang menangani covid-19 dapat insentif dari APBN, bagaimana dengan teknisi-teknisi lapangan itu, yang notabene mereka juga berjibaku, mengendap endap bekerja supaya tak ketahuan corona. Adakan insentif khusus dari perusahaannya, misalnya dengan percepatan bayar THR dengan jumlah yang berlipat ganda.

Ini problem klasik. Kaum pekerja yang disebut buruh itu, di mana-mana selalu menjadi yang terdepan dalam proses produksi. Tanpa mereka, ekosistem suatu industri tidak akan jalan.

Sayangnya mereka juga akan menjadi yang pertama sebagai “korban” setiap negara membuat kebijakan. PSBB ini, siapa yang paling menderita? Pasti bukan mereka yang berpunya, pasti bukan para pejabat negeri. Tentu saja kaum buruh dan masyarakat bawah lainnya.

Kalangan ini, tidak cukup punya power atau bargaining position dalam mempengaruhi policy negara. Mereka tidak punya wakil di lingkaran elite yang benar-benar memperjuangkan nasibnya. Jauh kalah dibanding dengan “lawan’ mereka yaitu para aktor industri yang disebut “para pengusaha” yang punya koneksi di lingkar kekuasaan dan punya power untuk mendiktekan pasal-pasal.

Contohnya draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang dinilai berat sebelah itu. Bukan menuduh, tetapi sangat mungkin ada orderan pasal dari pemegang kepentingan tertentu.

Terlepas dari ironi itu, dalam kondisi special saat ini kaum pekerja Indonesia mempunyai sense of hero yang tinggi. Mereka rela menjadikan dirinya pasukan garis depan untuk melawan musuh tak kasat mata yang mematikan.

Demi NKRI, mereka merelakan hari buruh 2020 ini untuk demonstration from home saja, tidak turun ke jalan. Padahal banyak juga buruh yang menghadapi dilema, terkena atau tidak terkena virus bagi mereka tetap sama. Karena sudah kena PHK.

Meminjam kata-kata pedagang Tanah Abang, ke luar rumah kami mati, tinggal di rumah pun kami tetap mati. 

Bagi mereka yang harus terjun ke lapangan karena tugas, para pekerja itu tak kenal takut, atau setidaknya tidak boleh terlihat takut karena tuntutan profesi dan demi kelancaran program PSBB. Itulah manifestasi nasionalisme kaum buruh Indonesia. Dan mereka pun, seperti para perawat di rumah sakit, juga ikut memajang foto-foto di media social dengan pesan menyayat kalbu.

Kata pekerja listrik, “kalian hindari virus, biar listrik kami yang urus”. Kata teknisi Telkom, kalian lawan corona, biar internat kami merawatnya. Kata sopir tangki BBM, kalian di rumah supaya tak terpapar, biar BBM kami yang antar. Lantas siapakah yang memperjuangkan mereka ini?

Selamat Hari Buruh 2020.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler