Italia Cabut Aturan Karantina Nasional

Warga Italia kembali bekerja setelah dua bulan di rumah akibat pandemi Covid-19.

EPA-EFE/LUCA ZENNARO
Seorang wanita membeli buku dan alat tulis di toko yang dibuka kembali setelah terjadi penutupan akibat dari lockdown Covid-19 di Naples, Italia, Selasa (14/4). Bisnis sebagai toko pakaian anak-anak serta alat tulis akan hanya diizinkan buka dua kali dalam seminggu. Negara-negara di seluruh dunia saat ini mengambil langkah-langkah untuk membendung penyebaran Covid-19.
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Italia pada Senin (4/5) mencabut aturan karantina terpanjang di Eropa, dan mengizinkan 4,5 juta warganya kembali bekerja setelah dua bulan berada di rumah untuk mencegah penyebaran wabah virus corona baru.

Baca Juga


Dengungan mobil, bus, dan sepeda motor menunjukkan peningkatan perjalanan pagi hari, tetapi lalu lintas masih terasa lebih lengang dibandingkan masa sebelum virus menyerang pada Februari. Pemerintah telah memerintahkan pencabutan aturan secara bertahap dengan memberi lampu hijau kepada pabrik-pabrik untuk mulai kembali berproduksi.

Selain itu, pemerintah telah membolehkan taman-taman dibuka kembali, sehingga memberi anak-anak kesempatan untuk berlarian, sementara kerabat dan keluarga dapat saling bertemu kembali. Namun, warga tetap diharuskan untuk menjaga jarak dan sebagian besar toko masih tutup hingga 18 Mei. Restoran dan bar hanya dapat melayani pesan antar, sedangkan sekolah, bioskop, dan teater akan tetap tutup sampai waktu yang belum ditentukan.

Gianluca Martucci adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa kembali bekerja sejak karantina nasional diberlakukan di Italia pada 12 Maret lalu.

"Sangat senang untuk kembali (bekerja), tetapi dunia telah benar-benar berubah," kata dia.

Perusahaan tempat dia bekerja biasanya menyelenggarakan pernikahan dan acara perusahaan, tetapi acara-acara itu sudah lama dibatalkan dan perusahaan menyesuaikan diri dengan menawarkan katering untuk dibawa pulang. Meskipun senang bisa kembali berkecimpung dalam bisnis, Martucci cemas bahwa penularan virus mungkin akan terjadi lagi karena semakin banyak orang yang berbaur.

"Pemerintah sejauh ini sangat bijaksana, tetapi saya khawatir kita memulai terlalu dini. Saya tidak tahu apakah negara ini bisa selamat dari gelombang kedua (penyebaran virus corona)," ujar dia.

Dengan hampir 29.000 kematian akibat Covid-19 sejak wabahnya muncul pada 21 Februari, Italia memiliki jumlah korban tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Selain itu, perhitungan kematian dan infeksi baru setiap hari telah melambat dari yang diperkirakan pemerintah dan mendorong Perdana Menteri Giuseppe Conte untuk mengadopsi pendekatan perlahan-perlahan untuk mengakhiri masa karantina, yang akan terus disesuaikan tergantung pada tren penularan.

"Kami masih dalam pergolakan penuh melawan pandemi," kata Conte dalam sebuah wawancara dengan surat kabar La Stampa pada Ahad (3/5), menekankan apa yang disebut "fase 2" dari karantina "tidak harus dilihat sebagai sinyal bahwa kita semua bebas".

Pelonggaran karantina telah dirusak oleh kurangnya kejelasan tentang apa tepatnya kegiatan yang diizinkan, dan bahkan rumah siapa saja yang dapat dikunjungi. Kebingungan kemudian diperburuk oleh pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah selama akhir pekan, yang dengan cepat menjadi sasaran kecaman dan cemoohan yang meluas di media sosial.

Pedoman itu menjabarkan bahwa kunjungan bahkan ke kerabat jauh akan diizinkan, termasuk untuk menemui anak-anak sepupu, atau sepupu pasangan, serta kunjungan ke siapa pun yang memiliki "ikatan kasih sayang yang stabil". Namun pedoman itu tidak menjelaskan apakah persahabatan dianggap sebagai ikatan kasih sayang yang stabil, sampai pesan yang seharusnya tidak dilaporkan ke media dari kantor perdana menteri menjelaskan bahwa kunjungan ke teman masih tidak diizinkan.

Conte mengatakan bahwa "fase 2" akan mencakup lebih banyak pengujian untuk melihat siapa yang terinfeksi virus, dengan 5 juta alat tes dikirim ke daerah dalam dua bulan ke depan. Selain itu, mulai minggu ini sekitar 150.000 tes darah akan dilakukan untuk mengetahui berapa banyak orang Italia yang telah mengembangkan antibodi terhadap virus tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler