Cerita Muslim Canterbury Inggris Jalani Ramadhan
Komunitas Muslim di Canterbury harus menyesuaikan diri dengan keadaan pandemi.
REPUBLIKA.CO.ID, CANTERBURY -- Ramadhan tahun ini harus dijalani umat Muslim di tengah merebaknya wabah virus corona. Jika biasanya, bulan puasa menjadi momen untuk beribadah dan berkumpul bersama anggota keluarga dan teman, kali ini berbeda.
Menjalani Ramadhan di tengah wabah membuat komunitas Muslim di Canterbury, Inggris, juga harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Pemerintah Inggris telah memberlakukan pedoman pembatasan sosial guna mencegah penyebaran virus corona. Karena itu, perayaan Ramadhan tahun ini pun sedikit berbeda.
Perbedaan ini salah satunya dirasakan oleh ketua Masjid Canterbury, Mohahmed Mahmoud Ali (47 tahun). Pria yang juga bekerja sebagai konsultan di rumah sakit Kent dan Canterbury ini mengatakan, saat waktu berbuka, biasanya komunitas Muslim di sana akan berkumpul melakukan iftar (buka puasa) bersama. Selanjutnya, mereka akan menunaikan sholat berjamaah.
"Jelas, tahun ini sedikit berbeda. Kita tidak bisa datang bersama untuk berbuka puasa dan kita tidak bisa beribadah di masjid," kata Ali, dilansir di Kent Live, Senin (4/5).
Pada iftar yang normal, Ali mengatakan biasanya ada sekitar 200 orang berkumpul. Akan tetapi, di tengah masa lockdown ini, mereka harus beradaptasi dan menggunakan teknologi serta media sosial untuk menjaga semangat Ramadhan ini. Pandemi Covid-19 memang telah menghadirkan sejumlah tantangan bagi komunitas Muslim, tetapi menurutnya, tidak ada yang tidak bisa mereka tangani.
"Kami telah memindahkan layanan kami secara daing ke halaman Youtube kami, di mana kami membuka pertemuan daring dan ibadah," ujarnya.
Aspek amal di bulan Ramadhan sama pentingnya dengan puasa. Karena itu, Ali dan komunitas Muslim Canterbury bekerja tanpa lelah untuk kegiatan amal. Ia mengatakan, mereka sibuk berupaya membantu dengan cara apa pun yang mereka bisa.
Menurutnya, komunitas Muslim telah menyumbang senilai 8.000 pound untuk pekerja Layanan Kesehatan Nasional (NHS) yang berada di garda depan dalam menghadapi wabah virus corona dan kegiatan amal lainnya di area termasuk Catching Lives. Mereka juga telah mengumpulkan paket makanan Ramadhan senilai 50 pound untuk dibagikan kepada Muslim dan non-Muslim di daerah yang membutuhkan di masa sulit ini.
"Dua pekan lalu, kami juga menyumbangkan ribuan makanan untuk pekerja NHS di kota ini, serta menawarkan dukungan kepada mahasiswa yang terdampar di universitas yang tidak dapat kembali ke rumah atau membayar sewa mereka," katanya.
Meskipun ada prospek pelonggaran pembatasan lockdown dalam beberapa pekan mendatang, Ali mengatakan mereka hanya akan membuka masjid jika keadaan sudah benar-benar aman. Ia mengatakan, akan terus mengikuti saran pemerintah.
Mereka ingin memastikan komunitas mereka tidak mengambil risiko. Namun demikian, Ali mengatakan masjidnya sebenarnya ditutup pada 19 Maret 202, sebelum adanya imbauan dari pemerintah. Masjid lebih dulu tutup karena mereka merasa keadaan tidak aman.
"Datang ke masjid untuk sholat adalah bagian yang penting dari kehidupan Muslim, tetapi itu juga hal ideal untuk memelihara dan melindungi kehidupan," ujarnya.
Selama pandemi ini, Ali memiliki waktu yang lebih sibuk, karena perannya sebagai konsultan di rumah sakit Kent dan Canterbury. Saat bekerja di A&E, dia terkena virus corona, sehingga kini ia mengisolasi diri dari keluarganya dan terpaksa membatalkan puasa. Ia memandang berdosa jika berpuasa di tengah kondisi kesehatan yang buruk atau ketika ia bertanggung jawab atas kesehatan orang lain.
"Saya mengidap Covid-19 ketika bekerja di departemen A&E, jadi saya harus mengisolasi diri sendiri di rumah selama paling tidak enam hari dan membangun kekuatan saya. Mudah-mudahan saya akan segera bebas dari gejala ini, sehingga saya dapat kembali bekerja dan melanjutkan puasa," ujarnya.