Film Perang Tentara Belanda di Indonesia Tayang September

Film kebrutalan militer Belanda selama perang kemerdekaan akan ditayangkan.

film de oost
Tokoh pemeram utama dalam film De Oost.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh -- Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Dalam beberapa hari terakhir, di tengah suasana 'lock down' akibat pandemi virus asal  Wuhan, China, ada kabar yang melegakan sekaligus membuat bulu kuduk meremang. Hal itu adalah kabar bahwa peristiwa perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa perjuangan kemerdekaan, akan ditayangkan dalam waktu dekat, yakni di September 2020.

Setelah dicek di Youtube 'thriller' film yang bertajuk 'De Oost' itu sudah ada di sana. Sampai 7 Mei 2020 tayangan ini sudah 3.295 kali ditonton. Dan dalam keterangan thriller itu ada pengantar berbahasa Belanda:

  • "Dit zijn de eerste beelden van de Nederlandse speelfilm De Oost, die vanaf donderdag 10 september in de bioscoop te zien is. De film van Gouden Kalf-winnaar Jim Taihuttu speelt zich af tijdens de Indonesische onafhankelijkheidsoorlog in 1946 en vertelt het verhaal van Johan (gespeeld door Martijn Lakemeier), een jonge Nederlandse soldaat die samen met 100.000 anderen wordt uitgezonden om orde op zaken te stellen in Nederlands-Indië.''

Artinya: “Ini adalah gambar pertama dari film feature Belanda De Oost, yang dapat dilihat di bioskop mulai Kamis 10 September. Film pemenang penghargaan 'Gouden Kalf' (Anak Sapi Emas) karya Jim Taihuttu dibuat selama perang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1946 dan menceritakan kisah Johan (diperankan oleh Martijn Lakemeier), seorang prajurit muda Belanda yang dikerahkan bersama dengan 100.000 orang lainnya untuk menertibkan di Hindia Belanda.''

                            ****

Semua tahu, para bapak bangsa Indonesia dahulu paham betul bagaimana sepak tentara kolonial ketika berperang di Indonesia. Misalnya sepak terjang Westerling yang merupakan komandan pasukan khusus Belanda membuat kekacauan dan pembunuhan brutal. Hal ini misalnya membuat pembantaian massal di Jawa Barat dari Rawa Gede hingga pembantaian Bandung dengan memakai sebutan yang terindikasi sebagai sebuah sandi operasi militer yang dilakukan oleh kelompok tentara kolonial yang menamakan dirinya sebagai 'Angkatan Perang Ratu Adil' (APRA).

Sayangnya aksi kebrutalan tentara kolonial yang dikomandan Westerling ini yang telah membantai rakyat di Jawa Barat hingga Sulawesi Selatan tidak dibuat. Padahal aksinya sungguh kejam. Akibat kebrutalan ini di Bandung misalnya mayat dengan luka tembak berserak di mana-mana. Dan ini tampaknya di sengaja oleh pasulan di bawah komando Westerling. Tujuannya, dengan melakukan kekerasan dan pembunuhan maka nanti akan dibalas oleh pasukan Siliwangi yang kala itu dipimpin oleh seorang tentara yang masih sangat belia, yakni AH Nasution.

Tahu dirinya tengah dipancing agar muncul, alih-alih Nasution makin rapat bersembunyi di pedalaman tatar Sunda. Nasution baru muncul ketika terjadi kesepakatan Renville di mana pasukan Siliwiangi harus mengungsi atau hijarah ke Yogyakarta. Dan di sana, ketika terjadi serah terima pasukan secara resmi dengan mengosongkan wilayah Jawa Barat dari TNI, Nasution baru menampakkan batang hidungnya di depan para perwira Belanda.

Dan ketika tahu bahwa komandang Siliwangi yang menjadi seterusnya masih bocah imut-imut mereka terkejut. Di kisahkan mereka menyebut bila dirinya sial karena berperang dengan anak yang masih sangat remaja atau sekolahan. Tak hanya perwira KNIl saja yang geleng-geleng kepala, kaum wanita yang pro Belanda kala itu juga terkejut karena meilhat komandang seterunya adalah masih sangat muda. Kata mereka:"ikh ternyata Nasution masih kayak anak sekolah'.

Namun, meski sudah melakukan kekejaman di Jawa Barat dan TNI telah mengungsi ke Yogyakarta, Raymond Westerling terus menebarkan teror. Bahkan, pusat pemerintahan RI yang kala itu di Yogyakarta memperhatikan khusus kemungkinan infiltasi pasukan Westerling. Dari laporan intelejen TNI kala itu Westerling memang tengah menyasar para pejabat RI sebagai target pembunuhan. Kekhawatiran ini tampak jelas ketika mencermati arsip berita yang kala itu dibuat oleh kantor berita Antara.

Dan, Jogja ketakutan terhadap teror Westerling. Maka sikap waspada di pasang disegenap penjuru kota. Mereka tak ingin tragedi pembantaian orang seperti yang terjadi di Bandung dan Jawa Barat tidak terjadi. Ibu kota kala itu dijaga ketat.

Tampaknya, gagal menyusup ke Jogja Westerling kemudian menyasar wilayah lain yang dianggap berkekuatan lemah tapi status penting secara politik. Maka kemudian dipilihlah wilayah Sulawesi Selatan. Tujuannya, selain membuat teror juga bermaksud memuluskan keinginan Belanda yang ingin membentuk negara Indonesia Timur. Maka operasi militer Westerling melakukan pembantaian brutal dilakukan di sana.

Keterangan foto: Hijrah pasukan Siliwangi dari Jawa Barat ke Yogyakarta (wilayah RI).

Pada sisi lain,  fllm ini terasa pas dengan 'kaca mata' Belanda yang memang sampai sekarang tetap menganggap bahwa perang yang dilakukannya para periode antara 1945-1950 adalah tindakan 'polisionil' atau penertiban. Dari kaca mata Belanda peperangan kala itu dinilai sebagai aksi kerusuhan belaka yang terjadi di dalam negara yang menjadi koloninya. Atau, dalam kata lain berbeda dengan keyakinan Indonesia bahwa perang itu merupakan perjuangan kemerdekaan.

Dan sayangnya, sekali lagi soal kebrutalan tentara kolonial di Rawagede, Bandung, dan Sulawesi Selatan tanda-tanda tak terlihat dalam thriller film 'De Oost ini.' Malahan, kalau melihat pada thriller film ini sekilas 'De Oost'  mirip sebuah film legendaris tentang keterbelahan mental prajurit Amerika Serikat dalam perang Vietnan: Platoon. Dan meiihat cara ekspresi dan sosok pemain utamanya sepertinya tak jauh beda sosok utama dalam film itu. Dan pesan film ini tampaknya sama saja atau klasik: Selain membuat sengsara, perang banyak pula membuat orang sakit jiwa!

 

Pada sisi lainnya, film De Oost ini mengingatkan pada tragedi pembantaian di Rawa Gede (Karawang) hingga kasus Westerling di Sulawesi Selatan. Dan entah mengapa menyaksikan thriller film ini ingatan langsung  terkenang suasana mencekam di ibu Yogyakarya pada akhir perang kemerdekaan.

Seperti diketahui semua elite RI, seperti Sukarno, Hatta, dan Panglima Besar Sudirman saat itu memang memasang sikap waspada serta paham bahwa ancaman terror pembunuhan dari tentara kolonial, di bawah komando Raymond Westerling yang bisa muncul sewaktu-waktu. Dan kabar soal pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan misalnya tiba di telinga Presiden Soekarno kala terjadi suasana tak menentu dan posisi RI dalam pertaruhan.

Mendengar ada pembantaian rakyat du Sulawesi Selatan, Soekarno kala itu langsung bertanya kepada pengawalnya  yang berasal dari Makassar, Kahar Mudzakar. Apalagi dia tahu bahwa kabar kebrutalan itu berasal darinya.



"Kahar, berapa yang mati" layout="responsive" width="480" height="270">r">

 

Pada sisi lainnya, film De Oost ini mengingatkan pada tragedi pembantaian di Rawa Gede (Karawang) hingga kasus Westerling di Sulawesi Selatan. Dan entah mengapa menyaksikan thriller film ini ingatan langsung  terkenang suasana mencekam di ibu Yogyakarya pada akhir perang kemerdekaan.

Seperti diketahui semua elite RI, seperti Sukarno, Hatta, dan Panglima Besar Sudirman saat itu memang memasang sikap waspada serta paham bahwa ancaman terror pembunuhan dari tentara kolonial, di bawah komando Raymond Westerling yang bisa muncul sewaktu-waktu. Dan kabar soal pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan misalnya tiba di telinga Presiden Soekarno kala terjadi suasana tak menentu dan posisi RI dalam pertaruhan.

Mendengar ada pembantaian rakyat du Sulawesi Selatan, Soekarno kala itu langsung bertanya kepada pengawalnya  yang berasal dari Makassar, Kahar Mudzakar. Apalagi dia tahu bahwa kabar kebrutalan itu berasal darinya.

"Kahar, berapa yang mati?’’ begitu tanya Presiden Sukarno kepada Kahar Mudzakar. Saat itu, di Yogyakarta berita pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan oleh pasukan Westerling sudah tersebar luas. Tapi, pemerintah belum tahu dengan pasti berapa banyak jumlah korbannya.

Mendengar pertanyaan Bung Karno, Kahar berpikir sejenak. Karena juga belum bisa menjawab, dia kemudian  meminta izin kepada presiden untuk mencari tahu berapa banyak korban pembantaian Westerling yang terjadi di kampungnya.

Ketika melapor kembali ke Presiden Sukarno, Kahar menyebut angka 40 ribu orang. Sukarno pun terkejut karena jumlah korbannya banyak sekali. Sesaat setelah mendengar kabar mengenai jumlah rakyat yang meninggal dunia, Presiden Sukarno pun segera memrintahkan agar segera digelar upacara khusus untuk memperingati tragedi pembantaian massal rakyat Sulawesi Selatan oleh Westerling yang terjadi pada pengujung 1946 hingga beberapa bulan pada awal 1947.

Dalam sebuah perbincangan di antara perjalanan dari Fakfak menuju kepulauan Raja Emat di Papua Barat, Anhar kepada Republika mengatakan, mengingat betul peristiwa pembantaian Westerling itu.

’’Banyak di antara kerabat saya yang menjadi korban dari tindakan biadab itu!” kata Anhar Gonggong.



                         ****

Jejak Kebrutalan Westerling dan Kepedihan yang Abadi di Galung Lombok

‘’Monumen ini membuat kami sedih,’’ begitu pernyataan tokoh masyarakat Polewali Mandar, Naharudin, ketika menunjukkan ratusan nama yang dipahat dalam monumen pembantaian pasukan Westerling di kampungnya, yakni di Desa Galung Lombok, sekitar delapan kilometer dari Kota Majene, Sulawesi Barat (Sulbar).

 

‘’Di sini terpahat 731 nama. Mereka penduduk desa biasa yang dihabisi pasukan Westerling hanya dalam waktu setengah hari. Ini gara-gara mereka tak mau menunjukkan di mana para pejuang RI bersembunyi. Ribuan penduduk dari berbagai kampung dikumpulkan, diinterogasi, lalu ditembak begitu saja tanpa pengadilan,’’ kata Naharudin yang mantan anggota DPRD Provinsi Sulbar itu.


Dari sekian banyak saksi mata yang tersisa, mereka semua mengatakan, aksi brutal penembakan masal terjadi semenjak posisi matahari naik sepenggalah atau sekitar pukul 08.00 hingga posisi matahari mulai bergeser dari atas kepala, sekitar 12.00 siang.

Sedangkan, proses pengumpulan masa dimulai sebelum Subuh.

Saat itu, satu per satu pintu rumah warga kampung digedor anggota pasukan Westerling. Para penghuninya disuruh ke luar dan dipaksa pergi berjalan kaki menuju sebuah lahan terbuka bekas persawahan yang ada di Kampung Galung Lombok. Tak peduli laki atau perempuan, tua atau muda, anak kecil atau orang dewasa, semua harus segera berkumpul di lapangan itu tanpa kecuali.

Tak hanya penduduk desa yang berada di rumah saja yang diciduk, mereka yang tengah berbelanja di pasar desa atau tengah bepergian juga dipaksa berkumpul di tempat itu.

’’Saksi mata mengatakan, kebetulan hari itu hari pasaran. Maka, pasar desa yang di dekat kampung pun ramai dikunjungi orang. Nah, para pengunjung pasar tersebut kemudian digiring ke Galung Lombok. Mereka disuruh berjalan kaki tiga sampai empat kilometer jauhnya,’’ kata Naharudin lagi.



Seorang saksi mata pembantai itu yang kala tulisan ini ditulis telah berumur lebih dari 100 tahun, Fatani, mengatakan, "Saya lolos dari penembakan karena tiba terlambat. Ini karena saya pergi  bersama istri yang tengah hamil, sehingga tak bisa berjalan cepat. Nah, ketika sampai ke pinggir lapangan Galung Lombok itu orang-orang sudah ditembaki,’’ ujarnya.



Fatani kemudian menceritakan, ketika penembakan usai dari arah tengah lapangan terdengar teriakan dari seorang yang tampaknya menjadi komnadan tentara Belanda.

"Isi teriakan itu adalah ancaman kepada warga bahwa mereja akan datang lagi nanti sore bila tak ada orang yang mengaku di mana para tentara republik berada. Selain itu, dia meminta agar warga yang meninggal segera dimakamkan,’’ kata Fatani.

Maka itulah, ketika nanti film 'De Oost' tentang keburtalan militer Belanda di tanah jajahannya, maka yang ada hanya kesedihan. Apalagi pada triller-nya yang kini tayang diawali dengan keluhan doa prajurit Belanda ketika melakukan operasi di Hindia Belanda.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler