Kandidat Vaksin dari Oxford Gagal Tangkal Covid-19
Uji coba vaksin pada manusia yang dilakukan Oxford pun dipertanyakan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin Covid-19 yang tengah dikembangkan oleh Oxford University gagal menangkal penyakit akibat infeksi virus corona tipe baru. Hasil ini diketahui berdasarkan uji coba vaksin ChAdOx1 nCoV-19 itu pada monyet.
Padahal, vaksin Oxford tersebut merupakan salah satu kandidat teratas yang saat ini sedang diuji pada manusia. Tetapi, hasil terperinci dari uji coba hewan menunjukkan bahwa vaksin ini tidak melindungi monyet makaka dari tertular virus corona dan juga tidak membuat primata itu berhenti menyebarkan infeksi.
Kendati demikain, hasil uji juga menunjukkan bahwa vaksin dapat membantu mengurangi imbas dari Covid-19 terhadap kesehatan penderitanya. Temuan yang didapat oleh Rocky Mountain Laboratory National Institute of Health di AS, ini diungkap Dr William Haseltine, mantan profesor Harvard Medical School.
Haseltine, dalam sebuah artikel di majalah Forbes yang diterbitkan pada hari Senin, mengatakan bahwa data vaksin Oxford menimbulkan pertanyaan mengapa percobaan masih berlanjut pada manusia ketika vaksin itu sudah gagal dalam uji coba pada hewan. Menurut Hasltine, semua monyet yang telah disuntikkan vaksin Oxford menjadi terinfeksi ketika ditantang sebagaimana terpantau dari pemulihan RNA genomik virus dari sekresi hidung.
“Tidak ada perbedaan dalam jumlah RNA virus yang terdeteksi di situs ini pada monyet yang divaksinasi dibandingkan dengan hewan yang tidak divaksinasi," tulis Haseltine.
Untuk percobaan, enam monyet rhesus makaka diberi dosis vaksin ChAdOx1 nCoV-19 dan mereka terkena virus SARS-CoV-2 28 hari kemudian. Para peneliti juga menginfeksi tiga kera yang tidak divaksinasi untuk perbandingan.
Para peneliti mengamati bahwa semua hewan yang divaksinasi memiliki SARS-CoV-19 di saluran pernapasan mereka, meskipun mereka mengembangkan antibodi penawar khusus virus. Jumlah virus yang dilepaskan semua monyet terpantau serupa. Hanya saja, makalahnya belum ditinjau oleh sejawat.
Sementara itu, menurut Jonathan Ball, profesor virologi molekuler di University of Nottingham, jumlah virus dalam hidung hewan yang divaksinasi dan tidak divaksinasi menjadi indikator yang penting. Ia mengatakan bahwa jika hal yang sama terjadi pada manusia, vaksin pun tidak akan menghentikan virus untuk menyebarkannya ke yang lainnya.
Ball meyakini temuan ini harus melalui penjnjauan ulang yang mendesak atas uji coba manusia yang sedang berlangsung terhadap vaksin ChAdOx1 seperti dikutip Express.co.uk.
Sedangkan, dalam menanggapi artikel yang diterbitkan di laman Forbes oleh Haseltine, para peneliti mengatakan: "Seperti yang kami tulis, uji klinis vaksin ini terus berlanjut dan kami akan segera memiliki hasil yang memberi indikasi yang lebih baik tentang keamanan dan potensi kemanjuran vaksin Oxford. "
“Dunia membutuhkan banyak vaksin dan kami berharap bahwa dari sekian banyak vaksin dalam pengembangan, setidaknya beberapa akan menunjukkan keampuhan yang menjanjikan dan dengan cepat beralih ke uji coba tahap akhir dan persetujuan berikutnya sesegera mungkin,” kata para peneliti.
Beberapa ahli telah berspekulasi bahwa vaksin virus corona tidak akan tersedia hingga tahun 2036 di tengah perlombaan global untuk menemukan terapi untuk memerangi Covid-19. Hingga saat ini, setidaknya 318.517 orang di dunia telah kehilangan nyawa karena pandemi virus corona.