Duh, Sri Lanka Kremasi Muslimah Meski tidak Idap Covid-19

Keluarga Muslimah itu diperlakukan semena-mena oleh peemrintah Sri Lanka.

AP Photo/Eranga Jayawardena
Duh, Sri Lanka Kremasi Muslimah Meski tidak Idap Covid-19. Polisi Sri Lanka berpatroli di luar sebuah masjid di Kolombo, Sri Lanka.
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, SRI LANKA -- Pemerintah Sri Langka mewajibkan mengkremasi seluruh jenazah pasien yang meninggal karena Covid-19 tanpa kecuali. Kali ini, seorang wanita Muslim harus dikremasi.

Baca Juga


Dilansir di 5 Pillars, Selasa (12/5), Zubair Fathima Rinosa (44 tahun) dikremasi pada 5 Mei 2020 di Kolombo. Sayangnya belakangan diketahui Zubair meninggal bukan karena Covid-19.

Menurut mantan anggota parlemen Ali Zahir Moulana, keluarga korban menerima telepon pada Selasa yang mengatakan ibu mereka telah terinfeksi Covid-19. Militer, polisi dan otoritas kesehatan kemudian mengunci daerah rumah mereka.

Berdasarkan penuturan putra korban, keluarganya diinterogasi dengan keras bahkan mengancam akan melukai tubuh, melecehkan mereka, menghina, dan semua itu dikatakan dihadapan beberapa anak kecil di rumahnya. Keluarga itu merasa diperlakukan seperti kelompok pembunuh atau teroris.

"Setelah itu, mereka dibawa keluar untuk menjalani tes PCR dan didisinfeksi, bersama dengan anak-anak mereka termasuk bayi berusia dua bulan, juga disorot oleh media. Mereka kemudian dimasukkan ke dalam bus dibawah pengawalan militer, dan tidak diberitahu ke mana mereka dibawa. Saat itu mereka belum diberi tahu ibu mereka sudah meninggal pagi itu," ujar Moulana.

Keluarga tersebut, kemudian dipaksa menandatangani dokumen menyetujui kremasi dan pengujian organ. Kemudian mereka diizinkan melihat jasad ibunya secara dekat dan mengucapkan doa tanpa tindakan pencegahan.

Dua hari kemudian putranya mendengar melalui media ibunya tidak meninggal karena Covid-19 dan dapat kembali ke rumah. Ibunya awalnya masuk rumah sakit tidak lebih dari pilek biasa.

Mendengar kabar tersebut keluarga itu kembali dirundung kesedihan dan bingung. Mereka meratapi kepergian ibu mereka, tidak memberikan penguburan yang layak sesuai agama, dan mendapatkan penghinaan dari pihak berwenang. 

"Seperti yang diingatkan oleh suaminya kepada saya, dia dapat menerima istrinya telah meninggal dunia, tetapi bukan fakta istrinya telah dikremasi. Mereka putus asa, dan memiliki beberapa pertanyaan yang belum terjawab tentang kematian ibunya dan kremasi itu sendiri," kata Moulana.

Organisasi Kesehatan Dunia sebelumnya telah menyatakan kremasi tidak diperlukan dan bahwa Islam pun melarang kremasi tersebut. Namun hal ini tidak diindahkan pemerintah Sri Lanka.

Kekhawatiran terhadap keselamatan dan keamanan komunitas Muslim Sri Lanka memang telah meningkat sejak munculnya Covid-19 di negara itu. Pada 12 April, organisasi-organisasi Muslim Sri Lanka  menulis kepada inspektur jenderal polisi yang melaporkan peningkatan kebencian, termasuk seruan memboikot bisnis-bisnis Muslim dan tuduhan kaum Muslim menyebarkan virus corona. Bahkan, tokoh senior pemerintah telah membuat pernyataan yang mengaitkan komunitas Muslim dengan Covid-19.

Pemerintah Sri Lanka belum mengomentari kasus Zubair Fathima Rinosa yang dikremasi bukan karena Covid-19. Mereka hanya mengatakan pemakaman membutuhkan waktu lebih lama dari kremasi, dan tingkat air tanah negara itu terlalu tinggi sehingga meningkatkan risiko penyebaran virus.

Ketegangan antara Muslim dan mayoritas penduduk Sinhala Buddha memuncak pada Paskah 2019 setelah bom bunuh diri di tiga hotel dan tiga gereja yang menewaskan 279 orang. Beberapa minggu kemudian, gerombolan Sinhala menyerang Muslim, membunuh satu dan melukai puluhan lainnya. Ratusan rumah dan kendaraan hancur dan pihak berwenang dituduh gagal menghentikan kekerasan itu.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler