Mengatur Waktu untuk Keselamatan di Dunia dan Akhirat
Keselamatan di dunia dan akhirat salah satunya ditentukan dari mengatur waktu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kebijaksanaan mempergunakan waktu selama hidup di dunia menentukan bagaimana nasib di kampung akhirat. Ustadz Sutomo Abu Nashr, Lc dalam bukunya "Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah" mengatakan dalam Islam, waktu adalah amanah.
"Dua dari empat hal yang akan dipertanyakan di hari kiamat nanti adalah tentang masa hidup (umur) dan -lebih khusus lagi- masa muda seseorang. Dan dua-duanya adalah tentang waktu," katanya.
Dalam hadistnya, Rasulullah telah menyampaikan bagaimana umatnya mesti bijak mengatur waktu. Rasulullah mengingatkan umatnya agar dapat "manfaatkan lima sebelum datangnya lima" jika ingin selamat dunia akhirat.
"Selain itu, beliau juga mengingatkan bahwa ada dua kenikmatan yang
sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yang salah satunya adalah waktu," katanya.
Ustadz Sutomo mengatakan, kita akan semakin merasakan betapa pentingnya waktu saat kita mentadabburi sebagian ayat-ayat Alquran. Tidak sedikit dari ayat-ayat yang mulia itu menunjukkan tentang keutamaan waktu.
Bahkan sebagian ayat-ayat itu ada yang tampil dalam bentuk sumpah. Sumpah demi waktu-waktu. Demi waktu, demi malam, demi siang, demi fajar, demi dhuha, demi malam-malam yang sepuluh, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh ayat-ayat yang berbentuk sumpah.
Ia menerangkan, ketika Allah SWT bersumpah dengan salah satu makhluknya, maka itu menunjukkan betapa sangat utama makhluk tersebut. Dan makhluk-makhluk tadi itu, semuanya adalah waktu.
Ia menerangkan, untuk menjelaskan secara lebih detail tentang berbagai keutamaan waktu dalam Islam, maka para ulama ada yang menuliskan secara khusus tentang persoalan ini. Misalnya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, telah menulis Qimah Az Zaman ‘inda al‘Ulama.
Sedangkan terkait keutamaan waktu-waktu tertentu, Al Hafidz Al Baihaqi (w. 458 H) misalnya menuliskan kitab Fadhail Al Auqat (keutamaan waktu-waktu), yang merangkum beragam jenis waktu dalam Islam. Ada bulan paling agung, ada rajanya bulan-bulan, empat bulan mulia, hingga malam nishfu sya’ban, malam (lailatul) qadar, malam
jum’at, sepertiga malam terakhir, waktu sahur, pagi dan petang, senin-kamis, dan lain sebagainya.
Hal yang hampir mirip juga dilakukan oleh Al Hafidz Ibnu Rajab (w. 795 H) melalui bukunya Lathaif al Ma’arif. Dalam buku ini beliau merangkum keutamaan dua belas bulan hijriah beserta dengan amalan-amalan spesial di setiap bulannya.
"Kemudian beliau tambahkan dengan pembagian waktu atau musim berdasarkan peredaran matahari dan amalan-amalannya ditutup dengan penjelasan taubat sebagai cara terbaik dalam menutup umur," katanya.
Sedangkan yang secara khusus membahas tentang keutamaan sepuluh hari pertama dari bulan dzulhijjah di antaranya;
1. Al Hafidz Ibnu Abi Dunya (w. 281 H) dalam Fadhl Asyr Dzilhijjah. Diterbitkan oleh Dar ibn Hazm dengan tahqiq Abu ‘Abdillah Masy’al Al Muthiri.
2. Al Hafidz At Thabarani (w. 360 H) dalam Fadhl Asyr Dzilhijjah yang ditahqiq oleh Abu ‘Abdillah ‘Ammar Al Jazairi melalui penerbit Maktabah Al ‘Umaraini di Uni Emirat.
Selain dua kitab di atas, ada sejumlah kitab lain dengan nama yang hampir-hampir mirip. Hanya saja, kitab-kitab tersebut agaknya belum berhasil naik cetak.
"Entah karena belum ditemukan manuskripnya atau karena faktor yang lain," katanya.
Menurut dia, sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Ammar Al Jazairi dalam Muqaddimah Tahqiqnya, selain dua kitab di atas ada kitab lain seperti Imla Fi Fadhli Asyr Dzilhijjah karya Abu Ishaq Al Ghazi, Fadhlu Asyr Dzilhijjah karya Al Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi (w. 600 H) yang menulis ‘Umdatul Ahkam itu.
Penulis kitab Al Mughni, imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi (w. 620 H), juga disebutkan memiliki karya dalam hal ini dengan judul yang mirip yaitu Fadhlu
Asyr Dzil Hijjah. Demikian juga dengan salah satu keluarganya yang sama-sama dari klan bani Qudamah, yaitu Al Hafidh Dhiyauddin Al Maqdisi.
"Beliau juga disebutkan memiliki kitab tentang epuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan judul Fadhail Al Asyr," katanya.
Ustadz Sutomo mengatakan, sebagian orang, keberhargaan waktu atau kebenaran ungkapan tersebut baru benar-benar terasa dan disadari setelah ada hal-hal yang hilang atau minimal harus tertunda dan menunggu lama lagi kesempatan berikutnya.
Kalau ungkapan tadi menggambarkan waktu layaknya harta benda, maka dalam pandangan kaum muslimin, waktu jauh lebih berharga dari sekedar harta. Setidaknya itulah yang bisa kita tangkap dari apa yang disampaikan oleh Hasan Al Bashri, salah satu ulama besar di kalangan tabi’in.
Beliau pernah menggambarkan betapa sebagian kaum muslimin di masanya sangat ketat menjaga waktu-waktu mereka. Kata Hasan Al Bashri, mereka Jauh lebih pelit dengan waktu-waktu mereka daripada dengan dinar dirhamnya.
"Karena harta yang hilang sangat mungkin untuk dicari lagi. Sedangkan
waktu yang hilang, maka sama sekali tak akan pernah bisa kembali," katanya.