Madura, Pulau Terasing di Timur Jawa Pusat Penyebaran Islam
Pulau Madura menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa.
REPUBLIKA.CO.ID, Jalur pendidikan merupakan media yang efektif dalam Islamisasi di Indonesia. Bentuk Islamisasi dilakukan melalui pendidikan pesantren oleh para guru agama, kiai, dan ulama.
Menurut Syahrul Budiman dalam tulisannya yang berjudul Peran Pendidikan Islam Dalam Proses Islamisasi di Indonesia,setelah santri selesai belajar, mereka kembali ke masyarakat untuk ikut membantu menyebarkan Islam.
Bahkan, banyak di antara santri itu kemudian mendirikan dan memiliki pondok pesantren sendiri. Tujuan pendidikan di pondok pesantren adalah untuk mempermudah penyebaran dan pemahaman Islam.
Mengutip data digital dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Pangeran Joko Toke menjadi raja Sumenep yang ke-13 selama 45 tahun (1415-1460).
Pada pemerintahan Joko Tole, ada seseorang penyiar agama Islam bernama Sunan Padusan, yang menyebarkan agama Islam dan mendirikan pesantren di Parsanga.
Banyak penduduk sekitar pesantren yang tertarik dengan cara berdakwah dan pendekatan Sunan Padusan. Mereka akhirnya memeluk agama Islam.
Keberadaan Sunan Padusan dan pondok pesantrennya yang terkenal sampai pusat keraton membuat Joko Tole pengusa Sumenep, pada masa itu tertarik dengan agama Islam.
Kemudian, Sunan Padusan berhasil mengislamkan Joko Tole dan menjadi menantunya. Hal ini menyebabkan semakin banyak rakyat Sumenep yang menganut agama Islam, agama yang dianut oleh raja mereka.
Pada masa pemerintahan Joko Tole inilah Islam mulai masuk ke Sumenep. Pada masa ini juga, diberitakan adanya kontak pertama Sumenep dengan bangsa Cina. Tetapi, tidak ada bukti-bukti tertulis atau arkeologis yang mendukung keterangan kontak dengan bangsa Cina.
Pada abad ke-17, di Sumenep, terdapat seorang tokoh lain penyebaran Islam bernama Pangeran Katandur. Keturunannya banyak yang berhasil mengislamkan penduduk Madura.
Salah satu keturunannya adalah Bendoro Saud yang menjadi penguasa Sumenep dari 1750-1760, dan menikahi RA Tirtonegoro, penguasa Sumenep pada masa itu.
Pada abad ke-18, Islamisasi di Sumenep semakin meluas ketika diperintah oleh putra Bendaro Saud yang bernama Sumolo. Ia membangun keraton Sumenep dan Masjid Jami'.
Zainal Anshari Marl dalam Pemikiran Pendidikan Islam KH Mohammad Kholil Bangkalan, pada abad ke-19 hingga 20, bangsa Indonesia dalam kondisi dijajah Belanda.
Pada masa itu, dunia pendidikan pondok pesantren memiliki figur intelektual yang ikut berpartisipasi dalam melakukan gerakan sosial (social force).
Bahkan, figur itu menjadi bagian terpenting munculnya gerakan sosial keagamaan dan kemasyarakatan, yang hingga kini masih tetap eksis. Di Madura, sosok itu dikenal dengan nama KH Mohammad Kholil Bangkalan, yang kemudian lebih populer dengan nama Syaikhuna Kholil Bangkalan.
Menurut Abdurrahman Mas'ud dalam Tradisi Intelektual Pesantren, figur Syaikhuna sebagai sosok ahli strategi pengembangan pendidikan pondok pesantren.
Kenyataan itu dibuktikan dengan banyaknya santri Syaikhuna, yang menjadi panutan atau tokoh inti di dalam masyarakat. Bahkan, lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia (NU), dipelopori oleh beberapa santri Syaikhuna.
Tokoh kelahiran Bangkalan, 14 Maret 1820 M ini adalah seorang kiai keturunan Sunan Gunung Jati bernama Abdul Latif. Syaikhuna dikenal sebagai mubalig, pimpinan pesantren, pencetak ulama terkemuka di Jawa-Madura, juga menjalani kehidupan sufi dan mursyid tarekat.
Menurut Siti Fatimah dalam Peran KH Muhammad Cholil Dalam Mengembangkan Islam di Bangkalan-Madura, sebenarnya keilmuan Syaikhuna selama nyantri di Madura dapat dikatakan sudah cukup.
Belajar di Jawa lebih tepat sebagai penyempurnaan, selain mencari berkah guru selama di Pulau Jawa. Selanjutnya, Kiai Kholil melanjutkan belajarnya hingga Makkah.
Syaikhuna kemudian mendirikan pesantren di Desa Jengkibuan, Kabupaten Bangkalan. Kealimannya segera menyebar ke seluruh Madura.
Santri-santri mulai berdatangan untuk mengaji di pesantren itu. Setiap hari pesantren Syaikhuna semakin ramai.
Para santri tidak hanya dari lingkungan wilayah Bangkalan, tetapi juga mencakup seluruh Madura.
Santri pertama dari luar Madura, tercatat bernama Hasyim Asyari dari Jombang. Hasyim Asyari muncul sebagai ulama besar, bahkan berhasil mendirikan suatu organisasi Islam terbesar di pulau Jawa, yaitu Nahdhatul Ulama (NU).
Sejak mendirikan pesantren di Kademangan, Kiai Kholil bersama para santrinya menetap di Bangkalan. Demikian juga, dengan keluarga Kiai Kholil.
Zainal Anshari Marl dalam Pemikiran Pendidikan Islam Kh Mohammad Kholil Bangkalan menambahkan, mayoritas kiai-kiai di tanah Jawa dan Madura berguru kepada Syaikhuna.
Sebab, pada abad ke-18 pertengahan menjelang akhir itu, pendidikan pesantren merupakan corak pendidikan unggul (excellent school) dibandingkan pendidikan ala Belanda. Karena ternyata, masyarakat pribumi memilih pesantren sebagai pilihan pendidikan utama.