Nasakom adalah Kebenaran: Pidato Sukarno bagian pertama (1)

Isi padto Sukarno Nasakom adalah kebenaran

Google.com
Sukarno berpidato di Senayan.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Inilah pidato Bung Karno soal Nasakom ketika pada puncak kekuasaannya, yakni pada pertangahan dekade 1960-an. Pidato tersebut berjudul 'Nasakom adalah Benar'.

Naskah pidato ini kami dapatkan dalam bentuk versi PDF sebagai hasil coppy-an arsip yang tersimpan dalam mikro film. Pidato ini termuat dalam buku tipis dengan bagian tulisan di judul sampulnya yang panjang, yakni 'Nasakom adalah Benar Amanat Indoktrinasi PJM (Paduka Jang Mulia) Presiden Sukarno Pemimpin Besar Revolusi Bapak Marhaenisme Pada Pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom Tanggal 1 Juni 1965, di Istana "Bung Karno", Senajan, Djakarta.

Naskah ini dijadikan buku dan kemudian diperbanyak  oleh penerbit 'Dewi Naga'. Dalam kata pengantar, buku ini dipersembahkan  oleh seorang bernama  Durhaeni Lutfi, yang menyebut dirinya sebagai  'Kader Nasakom' sekaligus Ketua DMI (Dewan Marhaen Indonesia,red) DKI Jakarta. Dalam sampul buku itu juga disebutan bahwa naskah pidato ini telah disesuaikan dengan penerbitan khusus Departemen Penerangan N0 373.

Dalam kata pengantarnya Durhaeni Lutfi menulis begini juga:"Mudah-mudahan meratalah masalah Amanat yang penting ini ke segenap insani Indonesia bersama-sama menjaga Conefo, Conefo adalah puncak dari kita punya kemenangan yang pasti terwujud di Indonesia tahun 1966."

Isi pidato Presiden Sukarno yang berjudul 'Nasakom adalah Benar', selengkapnya begini dengan dengan tidak merubah ejaan bahasa Indonesia. Pidato itu sengaja dipecah dalam bentuk beberapa tulisan karena keterbatasan halaman. Ini adalah seri pertama (1),

------------------

Saudara-saudara sekalian


Kita sekarang ini sudah hampir dua-puluh tahun merdeka. t7 Agustus '45 kita mengadakan proklamasi dan insja Allah 17 Agustus tahun ini kira akan dua-puluh tahun merdeka. Dan
kemerdekaan itu adalah hasil daripada perdjoangan jang bukan dua-puluh tahun, tetapi hasil dari perdjoangan jang lebih pandjang daripada dua-puluh tahun itu, tergantung dari tjara kita menghitungnja; bisa dikatakan sekian puluh tahun, bisa dikatakan sekian ratus tahun"

Kalau kita sekedar mulai dengen tahun 1908, permulaan kita rnengadakan organisasi modern, pergerakan, jaitu dengan berdirinja Budi Budi Utomo, maka antara tahun '08 dan '45 adalah 37 tahun. Tetapi djikalau kita hitung dari sejak sultan Agung, -Sultan Agung dari Mataram, sebab ada dua Sultan Agung, ada Sultan Agung dari Mataram, Jogjakarta, ada Sultan Agung dari Banten, dua-duanja pedjoang; Sultan Agung dari Jogja itu dinamakan atau hajejuluk, menamakan diri, sultan Agung Hanjokrokusumo atau Sultan Agung Tjokrokusufiro; sultan Agung  yang dari Banten menamakan diri Sultan Agung Tirtajasa, beliau kan membuat kolarn indah, pembuat kolam indah, maka beliau menamakan diri Sultan Agung Tirtajasa, jikalau kita hitung perjuangan kita untuk mentjapai kemerdekaan sedjak daripada saat-saat Sultan Agung Hanyokrokusumo menggempur Djakarta, atau Sultan Agung Tirtjasa rnenggempur Djakarta, maka perdjoangan kemerdekaan kita itu adalah lebih abad. Sultan Agung dua itu diikuti  oleh pedjoang jang lain, oleh Suropati, Dioko Untung Suropati, diikuti oleh Sultan Hasanuddin,
oleh Tuanku Imam Bondjol, diikuti oleh Teuku Umar, atau Teuku Clik Ditiro, diikuti oleh Pattimura, diikuti oleh gerakan kita jang terkenal diabad ke-20 ini; maka total perdjoangan kita adalah lebih dari tiga abad dan baru pada tanggal 17 Agustus '45 kita dapat mengadakan proklamasi kemerdekaan.

Pernah saja kupas, apa sebab perdjoangan-perdjoangan jang terdahulu, Sultan Agung Hanjokrokusumo, Sultan Agung Tirtajasa, Suropati, Trunodjojo, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Tjik Ditiro, Diponegoro dan lain-lain gagal, apa sebab tak berhasil mengusir kckuasaan Belanda atau imperialisme  Belanda dari Indonesia.

Maka djawab saya ialah, karena Sultan Agung Hanjokrokusumo, Sultan Agung Tlrtajasa, Trunodjojo, Suropati, Hasanuddin, Teuku lJrnar, Teuku Tjik Ditiro, Tuanku Imam Bondjol, Diponegoro dan lain-lain sebagainja itu, perdjoangannja tidak didasarkan atas persatuan dan kesatuan perdjoangan daripada seluruh Rakjat Indonesia. Betapa hebatnya pun Diponegoro mendjalankan ia punja perdjoangan, ia tidak berhasil mernerdekakan Indonesia.

Oleh karena perdjoangannja hanja disandarkan atas kekuatan rakjat hanja dipulau Djawa sadja. Bagaimanapun hebatnja Sultan Hasanuddin berdjoang, - demikian hebatnja sehingga Cornelis Spoelman menamakan dia "de jonge haan van het Oosten", "ajam djantan muda di alam Timur"; notabene ajam djantan muda itu djuga salah satu titel dari salah seorang radja kita jang hebat, jaitu Hajam Wuruk, Madjapahit, Hajam Wuruk artinja ajam jantan muda; Speelman menamakan' Sultan Hasanuddin "de jonge haan", Hajam Wuruk --, tetapi toch perdjoangannja tidak berhasil, tidak berhasil rnengusir Belanda, oleh karena tidak disandarkan atas kekuatan seluruh Rakjat. Indonesia.

Demikian pula Teuku Umar, demikian pula Tuanku Imam Bonjol, demikian pula lain-lain pahlawan kita. Ini harus mendjadi peladjaran bagi kita, peladjaran jang sudah ditarik oleh kita sedjak tahun dua puluh enam yaitu peladjaran bahwa perdjoangan kita, perdjoangan kita kemerdekakan Indonesia, harus disandarkan atas persatuan dan kesatuan Rakjat Indonesia seluruhnja, dengan tidak mengenal suku, tidak mengenal agama) tidak mengenai waktu.

Kita pada hari ini memperingati hari lahirnja Pantjasila, 1 Djuni 1955. Ja rnemang, pada tanggal I Djuni 1965, dus sebelum kita mengadakan proklamasi hernerdekaan lndonesia, saja telah membuat pidato rnengusulkan Pantjasila kepada pemimpin-pernirnpin Indonesia, agar supaja Pantjasila itu didjadikan dasar negara lndonesia Merdeka. Dan, Saudara saudara, tatkala saja memikir-mikirkan apa jang akan aku usulkan kehadapan para pemimpin Rakjat Indonesia, satu hal jang mendjadi pegangan teguh bagi saja, jaitu bahwa persatuan Indonesia, kesatuan lndonesia-lah, pokok dari pada segala pokok.

Kita hendak mengadakan Indonesia Merdeka pada waktu itu, dan pada waktu itu, sebelum aku mengadakan pidato Pantjasila, telah mendjadi kejakinan didaiam kalbuku, kejakinan, ainui-jakin, hakkul-jakin. bahwa kemerdekaan kita jang akan datang itu hanja dapat dipertahankan abadi, djikalau kemerdekaan kita itu didasarkan atas kesatuan  daripada bangsa Indonesia.

Lebih Dahulu aku memberi pendjelasan, Ini saja melihat beberapa mata dari wanita-wanita itu, --menyebutkan ilmul-jakin, ainul-jakin, hakkul-jakin-- kelihatan bersinar-sinar- tetapi mengandung pertanjaan, Apa bedanja ilmul-jakin dan ainui-jakin dan hakkul-jakin ? hakkul-jakin itu kejakinan jang sudah sejakin-jakinnja, itu hakkul-jakin. Inul-iakin itu hanja kejakinan sepandjang pikiran, sepandjang 'ilm, sepandjang iimu. Tempo hari disini saja pernah melukiskan sebagai berikut : Aku berdiri disini, umpamanja aku berdiri di 'sini, tidak ada gedung ini, aku berdiri disini, kemudian dibelakang kampung sana itu aku melihat asap mengepul, dibelakang kampung sana aku melihat asap mengepul. Ilmuku, pikiranku  berkata, tidak ada asap kalau tidak ada api, dus aku jakin tatkala aku menyatakan bahwa di belakang kampun itu ada apii.a

Tapi mungkin, jah mungkin, matakulah jang salah, mataku "sedang menderita penjakit yang dinamakan penjakit hallucinatie, melihat barang tetapi sebetulnja tidak ada" -- Mengira melihat asap, tetapi sebetulnja tidak ada, sebagaimana, orang dipadang pasir, djikalau panasnja sepanas-panasnja dan
 sedang menderita dahaga, jauh matanya melihet di tepi la
ngit itu seperti ada telaga, dia mengira disana ada telaga, padahal tidak ada, wong padang pasir. Tetapi dia-punja mata melihat telaga.

Itu jang biasa dinamakan fatamorgana. Djadi si-orang itu melihat fatamorgana, bahhwa ditepi langit sana itu ada telaga, air sedjuk dan dia jang menderita dahaga itu bukan main, ja, ingin minum air telaga itu, terus dia lari  kesana, tetapi lari punja lari, tidak ada telaga berair sedjuk disana itu.

 

Nah, saja pindahkan kepada tamsilku itu tadi. Meskipun aku melihat asap dibelakang kampung, mungkin matakulah jang salah, mungkin mataku melihat asap, sebagaimana orang itu dipadang pasir melihat telaga, tetapi sebenarnja tidak ada asap, sehingga kejakinanku bahwa dibelakang karnpung itu api: sebab akalku berkata, ada asap ada api, sehingga kejakinanku, dibelakang kampung itu ada api adalah sebenarnja kejakinan jang salah, sehingga ilmul-jakin itu satu kejakinan jang bertaraf paling rendah.

Kemudian ainul-jakin. Aku melihat asap dibelakang kampung, dan aku berkata disana itu tentu ada api, ilmul-jakin. Tetapi aku berdjalan, aku pergi ke sana, pergi kebelakang kampung itu, benar-benar  aku melihat api. Bukan hanja aku melihat asap, aku melihat api, dan sekarang aku boleh berkata, dengan ainul-jakin aku boleh berkata bahwa ada api, sebap aku melihat api. Tadi aku sekedar melihat asap, sekarang. aku melihat api, aku pergi kebelakang kampung, aku melihat api; benar ilmuku tadi itu benar, jah, ini ainul-jakin. Dibelakang kampung itu ada api, karena mataku melihat api.

Tapi kejakinan ini, nomor dua ini masih bisa salah, mungkin mataku jang masih salah, mataku jang tadi melihat asap, masih kacau, sekarang mengira melihat api, padahal bukan api. Ainul-jakin lebih tinggi tarafnja daripada ilmul-jakin, tetapi belum kejakinan yang setingginja-tingginja, sebab mungkin mataku masih salah. Sekarang singsingkan kupunja lengan badju. Aku melihat api, aku masukan tanganku kepada barang jang aku sangka api itu, oo, panasnja bukan main, betul-betul ini api, djadi bukan penglihatan mataku sadja. tetapi benar-benar ini api, sebab tanganku terbakar. Hakkul-jakin, ini api. Nah, Saudara-saudara, sudah mengerti sekarang perbedaan antara ilnnul- jakin, ainul-jakin, hakkul-jakin" layout="responsive" width="480" height="270">r">

Nah, saja pindahkan kepada tamsilku itu tadi. Meskipun aku melihat asap dibelakang kampung, mungkin matakulah jang salah, mungkin mataku melihat asap, sebagaimana orang itu dipadang pasir melihat telaga, tetapi sebenarnja tidak ada asap, sehingga kejakinanku bahwa dibelakang karnpung itu api: sebab akalku berkata, ada asap ada api, sehingga kejakinanku, dibelakang kampung itu ada api adalah sebenarnja kejakinan jang salah, sehingga ilmul-jakin itu satu kejakinan jang bertaraf paling rendah.

Kemudian ainul-jakin. Aku melihat asap dibelakang kampung, dan aku berkata disana itu tentu ada api, ilmul-jakin. Tetapi aku berdjalan, aku pergi ke sana, pergi kebelakang kampung itu, benar-benar  aku melihat api. Bukan hanja aku melihat asap, aku melihat api, dan sekarang aku boleh berkata, dengan ainul-jakin aku boleh berkata bahwa ada api, sebap aku melihat api. Tadi aku sekedar melihat asap, sekarang. aku melihat api, aku pergi kebelakang kampung, aku melihat api; benar ilmuku tadi itu benar, jah, ini ainul-jakin. Dibelakang kampung itu ada api, karena mataku melihat api.

Tapi kejakinan ini, nomor dua ini masih bisa salah, mungkin mataku jang masih salah, mataku jang tadi melihat asap, masih kacau, sekarang mengira melihat api, padahal bukan api. Ainul-jakin lebih tinggi tarafnja daripada ilmul-jakin, tetapi belum kejakinan yang setingginja-tingginja, sebab mungkin mataku masih salah. Sekarang singsingkan kupunja lengan badju. Aku melihat api, aku masukan tanganku kepada barang jang aku sangka api itu, oo, panasnja bukan main, betul-betul ini api, djadi bukan penglihatan mataku sadja. tetapi benar-benar ini api, sebab tanganku terbakar. Hakkul-jakin, ini api. Nah, Saudara-saudara, sudah mengerti sekarang perbedaan antara ilnnul- jakin, ainul-jakin, hakkul-jakin?

Nah, pada waktu aku keesokan harinja hendak mengutjapkan pidato dihadapan sidang pemimpin-pemimpin seluruh lndonesia untuk mengusulkan dasar-dasar negara, pada waktu aku telah hakkul-jakin, bahwa kemerdekaan hanja dapat dipertahankan abadi dan kekal, sekali merdeka tetap merdeka, djikalau didasarkan atas persatuan dan kesatuan Rakjat Indonesia, maka aku mohon lebih daripada ke-hakkul-jakinan, mohon lebih lagi daripada ke-hakkul-jakinan. Dan aku telah pernah tjeritakan disini, malam-maiam itu aku keluar dari rumah, --rumah jang kudiami pada waktu itu, jaitu Pegangsaan Timur 56, jang sekarang mendjadi Gedung Pola --, pada waktu itu aku keluar dar rumah, pergi kebelakang rumah, dan aku menengadahkan wadjah-mukaku dan hatiku kepada Allah SWT. Beribu-ribu bintang gemerlapan pada waktu itu, bintang bulan Mei/Djuni jang sedang tiada hudjan tiada  awan, angkasa bersih, beribu-ribu bintang di langit dan aku menekukkan lutut (Presiden lalu menangis tersedu-sedu) maaf aku selalu terharu, Ya Allah, Ya Rabbi aku tekukkan lututku, aku menengadah kelangit, aku kirimkan permohananku dibalik, dibelakangnja bintang jang beribu-ribu itu kepada Allah SWT. : Ja Tuhan, ja Allah ja Rabbi, berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar negara Indonesia Merdeka. Pertama, benarkah kejakinanku, ja Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, Ja Allah ja Rabbi, berikanlah petundjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain jang harus kukemukakan. "Apakah dasar-dasar lain itu?

Sesudah aku memohon jang demikian, Saudara-saudara, aku masuk lagi kerumah, berbaring ditempat pembaringan, menenangkan aku punja pikiran dan aku tertidur. Dan, Saudara- saudara, tatkala pagi-pagi aku bangun, aku telah mendapat ilham : Pantjasila. Ilham itu, Saudara-saudara, bisa diberikan oleh Tuhan kepada siapapun, bukan hanja kepada Nabi, tidak jang diberikan kepada Nabi adalah wahju, kalau kepada manusia biasa, tiap-tiap manusia bisa mendapat ilham. Engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, - jung "silo", anak ketjil itu -, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, jo Chairul Saleh bisa mendapat ilham, engkau Djong Sukahar bisa mendapat ilham, engkau Saudariku dari Sulawesi Selatan bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa' mendapat
ilham, kita semuanja bisa mendapat ilham, jaitu pikiran jang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sebab kukatakan tadi tatkala aku pagi-pagi tanggal I Djuni bangun hendak sembahjang subuh, pada waktu itu aku telah mendapat ilham, pikiran jang nanti akan aku usulkan dihadapan rapat para pemimpin, ialah Pantjasila. Dan nomor satu, oleh karena aku mendapat ilham itu oleh karena aku mohon kepada Allah SWT, aku taruh sebagai sila jang pertama Ketuhanan Jang Maha Esa, kedua Kebangsaan Indonesia, persatuan daripada bangsa lndonesia ...

Kalau aku ingat jadinja sebelum aku, almarhum Ki Hadjar Dewantara djuga bitjara dan mengusulkan beberapa dasar lain. Sebelum aku pidato itu ada pemimpin-pemimpin lain berpidato, almarhum Ki Bagus Hadikusumo berpidato, Ki Hadjar Dewantara berpidato, Bung Hatta, Mohammad Hatta berpidato, banjak lagi berpidato, mengusulkan dasar-dasar, kemudian dipersilahkanlah Bung Karno berpidato. Pada waktu itu jang memegang palu ialah almarhum Dr Radjiman Wedyodiningrat, jang sudah mangkat, Dr Radjiman Wedyodiningrat. Sesudah lain-lain pemimpin berpidato, maka sekarang Bung Karno dipersilahkan berpidato dan pada waktu aku mulai berpidato itu, aku sekali lagi mengutjapkan Bismillah, Bismillah, oleh karena aku merasa bahwa apa jang aku katakan nanti ialah ilham jang Tuhan berikan kepadaku (Presiden terharu dan tersedu-sedu - Red.). Bismillah, aku andjurkan: Pantjasila.

Dan sesudah aku pidato, Ki Hadjar Dewantara minta bitjara dan beliau mengandjurkan kepada seluruh sidang :" Saudara-saudara sekalian, mari kita tebar diatas kepulauan Indonesia dari Sabang sampaii ke Merauke, persatuan jang kompak sekompak-kompaknja.....Saudara-saudara,  Perikemanusiaan, kedau
latan Rakjat, Keadilan Sosial. Pantjasila, Saudara-saudara, saja usulkan kepada sidang pada tanggal 1 Djuni itu dan sjukur alamdulillah diterima dengan segera, sekaligus oleh sidang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler