Imam Besar Istiqlal Tepis Fitnah Alquran Pinggirkan Wanita
Alquran dalam banyak ayatnya justru tidak memarginalkan wanita.
REPUBLIKA.CO.ID, Penafsiran Alquran masih sering dijadikan dasar untuk menolak kesetaraan jender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi dalam mempertahankan status quo dan melegalkan pola hidup patriarkat yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan.
Padahal, misi pokok Alquran untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk anarki, ketimpangan, dan ketidakadilan. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran tersebut harus ditinjau kembali.
Allah SWT Maha-adil, maka tidak mungkin di dalam kitab-kitab suci-Nya mengandung sesuatu yang tidak sejalan dengan sifat-sifat keadilan-Nya. Di dalam Islam ada beberapa isu kontroversi berkaitan dengan relasi jender, antara lain asal-usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak perempuan, serta peran publik perempuan. Jika membaca sepintas teks ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah tersebut, memang mengesankan adanya ketimpangan pada diri perempuan.
Akan tetapi, jika disimak secara mendalam dengan menggunakan metode analisis semantik, semiotik, hermeneutik, dan teori sabab nuzul, maka dapat dipahami ayat-ayat tersebut merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di dalam masyarakat. Semua ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut di atas, ternyata turun untuk menanggapi kasus-kasus yang terjadi di masa Rasul. Ini artinya ayat-ayat tersebut bersifat khusus.
Menurut Yvonne Yazbeck Haddad, Alquran adalah sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan jender dalam sejarah panjang umat manusia. Di antara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup di masa turunnya Alquran, seperti Yunani (Greek), Romawi, Yahudi, Persia, Cina, India, Kristen, dan Arab (pra-Islam), tidak ada satu pun menempatkan perempuan lebih terhormat dan bermartabat daripada nilai-nilai yang diperkenalkan Alquran.
Kita juga tidak boleh sertamerta menyalahkan setiap penafsiran yang tidak sejalan dengan pikiran kontemporer, karena setiap mufasir adalah anak zamannya. Mereka juga mempunyai hak dan kemampuan tersendiri di dalam memahami ayat-ayat Alquran menurut logika dan konteks budaya yang sesuai dengan zamannya. Mungkin yang perlu dilakukan ialah bagaimana reinterpretasi Alquran dianggap sesuatu yang on going process, yang harus dilakukan setiap saat seiring dengan perubahan sosial.
Bagaimana mengartikulasikan sejumlah ayat yang dinilai bias jender ke dalam lingkungan masyarakat kita, dengan melakukan penelaahan ulang secara kritis terhadap ayat-ayat Alquran. Prinsip-prinsp kesetaraan jender di dalam Alquran antara lain ialah laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba dan sebagai khalifah di bumi, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan.
Alquran berobsesi mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Alquran tidak mentoleransi segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin.
Jika ada penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka penafsiran tersebut perlu ditinjau kembali. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya bias jender di dalam menafsirkan Alquran, antara lain pembakuan tanda huruf dan tanda baca.
Sejumlah ayat Alquran dimungkinkan ditulis dan dibaca lebih dari satu macam, yang dikenal dengan istilah tujuh huruf dan bacaan tujuh. Standardisasi penulisan (rasm) dalam arti pembakuan tanda-tanda huruf (nuqt) dan tanda-tanda baca (syakl), dengan sendirinya mengeliminir beberapa versi bacaan (qiraah) dalam Alquran. Pada masa permulaan Islam, beberapa versi qiraah masih populer digunakan di kalangan sahabat, tetapi setelah fase berikutnya, variasi itu berangsur-angsur tidak lagi populer.
Perbedaan tulisan dan bacaan sudah barang tentu mempunyai pengaruh di dalam pemahaman dan penetapan hukum, seperti kata "ya-tha-ha-ra-nun" dalam QS 2:222 dapat dibaca yathhurna atau yaththahharna.
Bacaan versi pertama berarti, "Jangan mendekati perempuan ketika sedang haid hingga berhenti haid". Bacaan versi ini menekankan pada berhentinya haid yakni perempuan yang selesai menjalani masa haid maka dengan sendirinya sudah bersih tanpa harus mandi wajib.
Pendapat ini diperkuat Imam Abu Hanifah. Jika dibaca menurut versi kedua maka perempuan yang telah menjalani masa haid disyaratkan mandi wajib yang sempurna dengan membersihkan sekujur anggota badan dengan air, baru dinyatakan bersih.
Pendapat ini didukung Imam al-Syafi'i, dan pendapat ini berpengaruh besar di Indonesia. Bahasa Arab salah satu bahasa yang sarat dengan bias jender, baik dalam struktur maupun dalam kosa kata.
Semenjak dahulu kala, jauh sebelum Alquran diturunkan, bahasa Arab sebagai bagian dari rumpun bahasa Semit (semitic language family) menggunakan jender maskulin lebih dominan daripada jender feminin.
Rumpun bahasa ini membedakan kata ganti laki-laki dan perempuan, misalnya huwa untuk laki-laki dan hiya untuk perempuan. Jika laki-laki berkumpul dengan perempuan di dalam suatu tempat maka cukup menggunakan kata ganti laki-laki kepada kelompok tersebut.
Ketentuan sepeti ini terkait dengan kosmologi Semit yang menganggap perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki, maka jika keduanya berkumpul maka cukup hanya menyebutkan laki-laki karena perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki.
Kita sangat yakin Tuhan Maha Adil, tetapi tentu saja sifat Keadilan Tuhan tidak bisa diukur hanya melalui teks bahasa Arab yang digunakan Alquran karena bahasa Arab sesungguhnya tidak lain adalah produk budaya bangsa Arab, dan budaya bangsa Arab adalah budaya patriarkat, yang memberikan peran dominan kepada kaum laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan.
Kita tidak bisa menyimpulkan Tuhan laki-laki karena menggunakan kata ganti laki-laki huwa. Kamus-kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam mengartikan ayat-ayat Alquran, banyak sekali entrinya yang bias jender. Sebagai contoh, dalam Lisan al-'Arab, kamus Arab yang dianggap paling standar yang terdiri atas 14 jilid, perempuan disebut al-untsa dari kata anatsa berarti lemas, lembek, tidak keras.
Sifat seseorang yang lemah lembut dan halus disebut femininity/'unusah. Sementara laki-laki disebut al-dzakar dari akar kata dzakara berarti mengingat, menyebut, mengucapkan (asma Allah), seakar kata dengan al-dzikr yang berarti menghafal atau memelihara sesuatu dengan menyebut atau mengingatnya. Kata dzakara pula mengisyaratkan adanya unsur kekuatan, keberanian, dan kekerasan, seperti kata rajulun dzakarun 'laki-laki perkasa, kuat, dan pemberani' dan matharun dzakarun 'hujan yang amat keras'.
Metode tafsir paling dominan dalam sejarah intelektual dunia Islam ialah metode tahlili, suatu metode penafsiran Alquran yang menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat Alquran.
Metode ini digunakan mayoritas ulama karena itu pengaruhnya kuat sekali di dalam masyarakat. Jumhur ulama menetapkan kaidah bahwa "yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal". Jika terdapat suatu kasus maka yang menjadi perhatian utama ialah apa bunyi teks, tanpa memperhatikan lebih jauh latar belakang turunnya ayat tersebut.
Berbeda dengan metode tematik yang menetapkan suatu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Alquran. Metode ini lebih memusatkan perhatian kepada apa kata ayat-ayat Alquran secara umum tentang suatu tema.
*Artikel ini ringkasan pidato pengukuhan KH Nasaruddin Umar yang saat ini menjabat Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, sebagai guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan Harian Republika pada 2002.