AS-Israel Latihan Militer, Persiapan Serang Iran?

Presiden Trump berulang kali mengatakan Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir.

Dok IDF
Jet tempur F-15I dan F-35I Angkatan Udara Israel terbang bersama pembom B-52 AS selama latihan pada 4 Maret 2025.
Rep: Andri Saubani Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Angkatan Udara Israel (IAF) mengadakan latihan bersama dengan Angkatan Udara AS pada Selasa. Hal itu kemungkinan merupakan pesan kepada Iran di tengah spekulasi mengenai potensi serangan gabungan terhadap fasilitas nuklir Iran.

Baca Juga


Times of Israel melansir, selama latihan tersebut, pilot “melatih koordinasi operasional antara kedua militer untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi berbagai ancaman regional,” kata Pasukan Pertahanan Israel dalam sebuah pernyataan pada Kamis.

Latihan tersebut melibatkan jet tempur F-15i dan F-35i Israel yang terbang bersama pembom B-52 AS. “Latihan ini bertujuan untuk memperkuat dan mempertahankan kerja sama jangka panjang antar pasukan sekaligus memperluas konektivitas dan membangun kemampuan terintegrasi untuk berbagai skenario,” kata IDF.

Latihan ini berpotensi bertujuan untuk mempersiapkan militer Israel menghadapi kemungkinan serangan gabungan dengan AS terhadap Iran. IAF telah melakukan dua serangan terhadap Iran tanpa dukungan AS, sebagai tanggapan atas serangan rudal balistik Iran terhadap Israel. Serangan Israel dilaporkan menyebabkan pertahanan udara utama Iran lumpuh.

Namun, Israel kemungkinan akan membutuhkan kemampuan berat dari B-52 untuk secara efektif menyerang situs nuklir bawah tanah Iran yang dijaga ketat.

Sebuah laporan pada akhir bulan lalu mengatakan Iran telah menempatkan fasilitas nuklirnya dalam siaga tinggi dan mengerahkan pertahanan udara tambahan, bersiap menghadapi potensi serangan – namun termasuk pernyataan pejabat bahwa pertahanan yang ada “mungkin tidak efektif jika terjadi serangan skala besar.”


Iran bersikeras bahwa program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai. Namun, pengawas nuklir PBB mengatakan bahwa Iran saat ini sedang memperkaya uranium hingga tingkat yang melebihi yang biasanya digunakan untuk kepentingan sipil.

Presiden AS Donald Trump telah berulang kali mengatakan Iran tidak boleh diizinkan memiliki senjata nuklir, dan menerapkan kembali kampanye sanksi “tekanan maksimum” terhadap Republik Islam tersebut setelah ia kembali menjabat pada bulan Januari.

Pada saat yang sama, Trump telah menganjurkan perjanjian diplomatik untuk menghentikan Iran memperoleh senjata nuklir, dengan mengatakan pada bulan lalu: “Saya pikir Iran akan dengan senang hati membuat kesepakatan dan saya ingin membuat kesepakatan dengan mereka tanpa mengebomnya.” 

Pekan ini, Rusia menawarkan untuk menengahi pembicaraan antara AS dan Iran mengenai program nuklir Iran. Rusia dan Iran telah memperluas hubungan militer dalam beberapa tahun terakhir, dengan sebuah laporan pada hari Selasa menunjukkan bahwa para pejabat Rusia telah mengunjungi lokasi produksi rudal dan pertahanan udara Iran dua kali tahun lalu.

Kunjungan itu setelah Teheran meluncurkan serangan rudal besar-besaran ke kota-kota Israel. Pada bulan Januari, Presiden Rusia Vladimir Putin menjamu Presiden Iran Masoud Pezeshkian di Moskow di mana mereka menandatangani kemitraan strategis selama 20 tahun.

Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Mariano Grossi pada Senin (3/3/2025) mengungkapkan bahwa, Iran saat ini mengalami lonjakan produksi uranium di level 60 persen. Iran diprediksi bisa meningkatkan pengayaan uraniumnya ke level bom nuklir atau 90 persen dan mampu memproduksi enam bom nuklir dalam waktu yang cepat.

"Merujuk laporan terakhir saya, stok uranium U-235 Iran meningkat hingga 60 persen telah bertambah 275 kilogram, naik 182 kilogram dalam tiga bulan terakhir. Iran satu-satunya negara non-nuklir yang melakukan pengayaan uranium pada level ini, membuat saya sangat khawatir," kata Grossi dalam sebuah pernyataan dikutip Anadolu.

Grossi mengekspresikan "kekhawatiran serius" atas masalah keamanan yang tidak teratasi, dan menekankan pentingnya mengatasi masalah keamanan itu sehingga mereka bisa percaya diri bahwa program nuklir Iran "hanya untuk perdamaian".

Pada Maret 2023, Iran dan IAEA sepakat untuk memperkuat kerja sama, menegaskan pada masalah-masalah keselamatan penting, dan mempersilakan jalan pada tindakan verifikasi sukarela, yang detailnya akan difinalisasi pada sebuah pertemuan teknis. Lalu dalam keterangan persnya, Senin, Grossi mengatatakan, "Kami selalu menawarkan kepada Iran jalan untuk membersihkan catatannya jika mereka yakin ada keraguan di sana. Sehingga, saya berharap tahun ini membawa kami lebih dekat pada kejelasan. Saya percaya ini diperlukan di tengah ketegangan internasional saat ini; kita harus kembali ke jalan yang benar."

Berdasarkan laporan Jerusalem Post, Senin, merujuk pada laporan Israel dan Amerika Serikat, Iran bahkan berpotensi memproduksi bom nuklir dalam jumlah lebih banyak dari perkiraan IAEA, khususnya jika Iran memutuskan untuk memproduksi bom-bom dalam ukuran lebih kecil. Lonjakan produksi uranium Iran dilaporkan sebagai respons terhadap IAEA yang mengutuk pelanggaran perjanjian nuklir pada November 2024.

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei sejauh ini memberi sinyal keengganan untuk percaya dan bernegosiasi dengan pemerintahan Donald Trump terkait isu nuklir. Khamenei mengatakan, bahwa aksi penarikan AS dari perjanjian nuklir antara Iran dan Barat pada 2018 mendiskualifikasi Trump sebagai rekan negosiasi yang bisa dipercaya.

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei berbicara dalam upacara di Teheran, Iran, 23 Desember 2023. - (EPA-EFE/SUPREME LEADER OFFICE HA)

Seiring dengan penolakan negosiasi terkait nuklir dari Khamenei, Israel terus menebar ancaman akan menyerang fasilitas nuklir Iran. Namun, hingga kini, Tel Aviv belum mendapatkan 'lampu hijau' dari Washington, meski beberapa laporan media barat mengklaim Israel akan melancarkan serangan pada periode enam bulan pertama pada 2025. 

Pekan lalu, pemerintah Iran memutuskan menaikkan anggaran militer tiga kali lipat pada 2025. Menurut anggota Komite Kemanan Nasional Iran di parlemen, Ahmad Bakhshayesh Ardestani, tak selalu berarti negaranya bersiap untuk perang, melainkan menjadi tanda bahwa negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) soal program nuklirnya tak lagi menjadi opsi.

"(Kesiapan berperang) Itu tidak bisa dipastikan, tapi dalam beberapa kasus, kenaikan anggaran militer secara signifikan berarti kami tidak akan lagi bernegosiasi," kata Ardestani, dikutip Shafaq News, Rabu (19/2/2025),

Pernyataan Ardestani itu dilontarkannya dalam keterangan pers di tengah meningkatkan ketegangan menyusul ancaman dari Presiden AS Donald Trump, yang mengungkapkan, Israel kemungkinan akan melancarkan serangan jika Iran tidak meninggalkan program nuklirnya.

Namun, Komandan Senior Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) Amir Ali Hajizadeh sebelumnya menegaskan, Iran tidak akan tinggal diam jika fasilitas nuklirnya diserang Israel dengan bantuan AS. Hajizadeh menggambarkan kawasan Timur Tengah akan terbakar hebat akibat dari serangan balasan Iran.

"Jika fasilitas nuklir Iran diserang, api akan muncul di kawasan dalam dimensi melebihi apa yang bisa dibayangkan," kata Hajizadeh beberapa hari setelah koran AS melaporkan rencana serangan Israel akan dilancarkan pada tahun ini, dikutip Iran International, Rabu (19/2/2025).

Kekuatan militer Iran - (BBC/Reuters)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler