Melirik Penggunaan Dexamethasone Obati Covid-19 di Tanah Air
Masyarakat diminta tidak membeli dexamethasone tanpa resep dokter.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Desy Susilawati, Rr Laeny Sulistywati, Dessy Suciati Saputri
Dexamethasone menjadi buah bibir setelah obat ini disebut sebagai obat penyelamat untuk pasien infeksi Covid-19 yang berat. Informasi seputar riset dexamethasone berasal dari laporan ketua tim peneliti dari The Ramdomised Evaluation of Covid-19 Therapy (Recovery) Trial on Dexamethasone dari Universitas Oxford Inggris.
Penelitian dilakukan pada 2.104 pasien yang mendapat dexamethasone 6 mg/hari secara oral atau intra vena selam 10 hari dan dibandingkan dengan 4.321 pasien yang tidak mendapat tambahan obat dexamethasone.
Pada pasien-pasien yang tidak mendapatkan dexamethasone angka kematian tertinggi terjadi pada pasien yang membutuhkan ventilator sebanyak 41 persen. Sedang pasien yang hanya menggunakan oksigen angka kematiannya hanya 25 persen sedang pasien yang tidak membutuhkan intervensi respirasi angka kematian 13 persen.
Pada kelompok pasien yang mendapatkan dexamethasone ternyata terjadi penurunan kematian sepertiga kasus yang membutuhkan ventilator, hanya satu per lima pada kelompok pasien yang mendapatkan oksigen.
Sedang pada kelompok pasien yang tidak membutuhkan bantuan respirasi pemberian dexamethasone tidak mempengaruhi angka kematian. "Jadi jelas dari hasil penelitian ini bahwa dexamethasone mempunyai efek terapi pada pasien infeksi Covid-19 dengan infeksi yang berat dan sedang dan tidak mempunyai efek pada pasien covid-19 yang ringan," ungkap praktisi klinis dan akademisi, Prof Ari Fahrial Syam dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.
Informasi ini penting diketahui oleh masyarakat kedokteran dan masyarakat umumnya. "Untuk kasus yang ringan saja tidak efektif apalagi jika obat ini digunakan untuk pencegahan infeksi Covid-19," ujarnya.
Ari Fahrial Syam mengatakan dexamethasone merupakan obat murah dan juga tersedia di Puskemas. Dexamethasone termasuk golongan steroid.
Obat ini memang sering dijuluki sebagai obat dewa, karena efek terapinya yang cepat. Misal ketika seseorang sedang gatal karena alergi baik merah atau bentol pada kulit dan gatal akan hilang dengan cepat.
Obat ini digunakan juga sebagai obat radang, antara lain untuk pasien-pasien radang sendi dan berbagai bengkak karena peradangan. Bahkan untuk beberapa kanker kelompok steroid ini juga digunakan untuk kombinasi dengan obat anti kanker sebagai kemoterapi. Obat golongan steroid ini juga digunakan untuk beberapa kelainan darah, asma, alergi pada mata dan THT, penyakit autoimun, karena memang steroid bisa menekan sistim imunitas tubuh kita.
"Sepertinya khasiat anti inflamasi ini yang dimanfaatkan dari obat dexamethasone untuk pasien dengan infeksi covid-19 yang berat yang memang terjadi peningkatan reaksi inflamasi," ujarnya.
Sebagai obat yang sering disebut sebagai obat dewa karena khasiatnya tadi, obat ini juga mempunyai efek samping yang harus menjadi perhatian baik oleh dokter maupun pasien. Efek samping terutama pada penggunaan jangka panjang.
Pada penggunaan jangka pendek pasien bisa merasakan sakit pada lambung, sampai mual dan muntah, sakit kepala, nafsu makan meningkat, sulit tidur dan gelisah. Termasuk menimbulkan jerawat pada kulit.
Pasien yang menggunakan dexamethasone jangka panjang akan menyebabkan terjadi moon face (wajahnya bengkak seperti bulan), terjadi peningkatan kadar gula darah, tekanan darah meningkat, tulang keropos (osteoporosis), daya tahan tubuh menjadi turun sehingga rentan terhadap infeksi. Interaksi obat juga bisa terjadi yang bisa meningkatkan efek samping pada pasien-pasien yang sudah mempunyai riwayat sakit maag sebelumnya, kombinasi steroid dengan obat anti radang non steroid missal fenilbutazone, asam mefenamat, natrium diklofenak termasuk dengan golongan coxib yang biasa digunakan untuk radang sendi dapat menyebabkan komplikasi lambung yang serius seperti pendarahan lambung sampai bisa menyebabkan kebocoran lambung dan usus dua belas jari yang bisa fatal buat pasiennya.
"Masyarakat harus bijak dalam mendengar dan membaca informasi seputar hasil penelitian seputar obat dexamethasone ini, obat ini terbukti efektif untuk mengurangi risiko kematian pada pasien Covid-19, tetapi obat ini mempunyai catatan efek samping yang panjang sehingga harus digunakan sesuai petunjuk dokter."
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) angkat bicara mengenai penggunaan dexamethasone untuk mengobati infeksi virus corona SARS-CoV2. BPOM berpandangan Hingga saat ini belum ada obat yang spesifik umtuk Covid-19.
"Saat ini belum terdapat obat yang spesifik untuk Covid-19, walaupun beberapa obat telah dipergunakan untuk penanganan Covid-19 sebagai obat uji," ujar Kepala BPOM Penny K Lukito seperti dalam keterangan tertulis, Jumat (19/6).
Dexamethasone adalah golongan steroid merupakan obat keras yang terdaftar di BPOM, pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter. "Dexamethasone tidak dapat digunakan untuk pencegahan Covid-19," katanya.
Ia menambahkan, dexamethasone yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan tekanan darah, diabetes, moon face dan masking effect serta efek samping lainnya yang berbahaya. Karena itu, pihaknya mengaku terus memantau dan menindaklanjuti hasil lebih lanjut terkait penelitian ini serta informasi terkait penggunan obat untuk penanganan Covid-19 dengan melakukan komunikasi dengan profesi kesehatan terkait seperti organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) dan Badan Otoritas Obat negara lain.
"Badan POM meminta kepada masyarakat agar tidak membeli obat dexamethasone dan steroid lainnya secara bebas tanpa resep dokter, termasuk membeli melalui platform daring," ujarnya.
Untuk penjualan obat deksametason dan steroid lainnya, termasuk lewaylt dalam jaringan tanpa ada resep dokter dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro turut menanggapi penelitian tentang dexamethason. Obat ini kata Reisa, tak memiliki khasiat yang berfungsi untuk mencegah virus corona.
“Ini penting, obat ini tidak memiliki khasiat pencegahan. Ini bukan penangkal Covid-19, ini bukan vaksin, ini merupakan kombinasi obat-obatan,” ujar Reisa saat konferensi pers, Jumat (19/6).
Lanjutnya, WHO pun hingga kini juga belum menentukan obat atau regimen data kombinasi pengobatan yang tetap untuk perawatan pasien Covid. Ia menjelaskan, dexamethason ini merupakan obat golongan kortikosteroid. Obat ini bekerja dengan cara mengurangi peradangan dan menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Karena itu, Reisa mengingatkan agar masyarakat yang terinfeksi Covid-19 tak mengobati diri sendiri dengan mengonsumsi dexamethason. Ia meminta agar masyarakat mengikuti petunjuk dari dokter terkait penggunaannya.
“Ikuti selalu petunjuk dari dokter. Tidak boleh mengobati diri sendiri, hindari penggunaan antibiotik dengan tidak tepat juga karena dapat menyebabkan resistensi terhadap jenis antibiotik yang dikonsumsi tesebut,” kata Reisa.
Ia menambahkan, pencegahan covid yang terbaik saat ini yakni dengan terus disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Reisa menjelaskan terdapat empat saran dari WHO Indonesia terkait penggunaan dexamethasone. Pertama, obat dexamethasone ini hanya direkomendasikan untuk kasus konfirmasi berat dan kritis, yaitu kasus yang membutuhkan ventilator dan bantuan pernapasan.
Kedua, obat ini dianjurkan karena akan mengurangi jumlah kematian sebesar 20-30 persen dari kasus-kasus tersebut. “Obat ini tidak memiliki dampak atau bukan terapi untuk kasus-kasus konfirmasi yang sakit ringan atau yang tanpa gejala,” lanjut Reisa.
Hingga saat ini belum ada obat paten yang sanggup mengobati Covid-19. Sejumlah obat yang sebelumnya pernah disebut juga tidak secara spesifik mengobati Covid-19.
BPOM membantah obat malaria klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai obat spesifik. "Saat ini belum terdapat obat yang spesifik untuk Covid-19 alaupun pada saat ini telah dipergunakan beberapa obat dalam status obat uji, antara lain klorokuin dan hidroksiklorokuin," ujar Kepala BPOM Penny K Lukito.
Ia menambahkan, berita terkait dihentikannya penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada keadaan darurat Covid-19 di Amerika Serikat dan di Inggris masih didasarkan pada penelitian yang sedang berlangsung. Namun, di negara lain termasuk Indonesia obat ini masih merupakan salah satu pilihan pengobatan yang digunakan secara terbatas pada pasien Covid-19.
Penggunaannya sejalan dengan persetujuan penggunaan terbatas saat darurat dari Badan POM yang dikeluarkan pada bulan April 2020. Yaitu diutamakan pada pasien dewasa dan remaja yang memiliki berat 50 kilogram atau lebih yang dirawat di rumah sakit.
Lebih lanjut ia mengungkap penelitian observasional penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pasien Covid-19 yang sedang berlangsung di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan hasil sementara yaitu tidak meningkatkan risiko kematian dibandingkan pengobatan standar pada Covid-19. "Kemudian walaupun menimbulkan efek samping pada jantung berupa peningkatan interval QT pada rekaman jantung, tetapi tidak menimbulkan kematian mendadak. Efek samping ini sangat sedikit karena sudah diketahui sehingga bisa diantisipasi sebelumnya," ujarnya.
Selain itu, ia menyebutkan penggunaan obat ini dapat mempersingkat lama rawat inap di rumah sakit pada pasien Covid-19. Kendati demikian, ia menegaskan, penggunaan kedua obat ini harus tetap merujuk pada informasi kehati-hatian tentang adanya risiko gangguan jantung pada penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagaimana tercantum pada Informatorium Obat Covid-19 di Indonesia yang diterbitkan Badan POM dan Protokol Tatalaksana Covid-19 yang diterbitkan bulan April 2020 yang diterbitkan lima asosiasi profesi seperti Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki), hingga Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).