Sri Mulyani: Ekonomi Kuartal Ketiga Bisa Minus 1,6 Persen
Pemerintah berupaya keras untuk menahan laju pertumbuhan di atas nol persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga berada pada rentang minus 1,6 persen hingga 1,4 persen. Prediksi ini berkaca pada biaya penanganan Covid-19 dari APBN yang sudah tersalurkan dan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Tapi, Sri menekankan, pemerintah berupaya keras untuk menahan laju pertumbuhan di atas nol persen. Di antaranya dengan memastikan bantuan sosial sebagai pengungkit konsumsi rumah tangga disalurkan secara tepat sasaran.
Apabila ekonomi masuk ke ranah negatif pada kuartal ketiga, Sri menyebutkan, Indonesia masuk ke zona resesi secara teknis. Sebab, hampir dapat dipastikan, ekonomi pada kuartal kedua akan mengalami kontraksi dalam.
"Itu saya sebutkan, technically bisa resesi kalau kuartal kedua negatif dan ketiga negatif," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6).
Sri sendiri memproyeksikan, ekonomi kuartal kedua tumbuh negatif 3,8 persen. Pertumbuhan negatif yang dalam ini merupakan dampak langkah restriksi aktivitas sosial dan ekonomi, sehingga berdampak pada agregat demand maupun supply.
Sri menjelaskan, prediksi yang disebutkannya ini menggunakan basis modeling di Kemenkeu. Khususnya dengan melihat sisi belanja pemerintah dan program untuk penanganan Covid-19 yang ditujukan pada sisi kesehatan, perlindungan sosial dan insentif dunia usaha.
Situasi yang lebih baik diharapkan dapat terjadi pada kuartal keempat. Sri mengatakan, harapan ini sejalan dengan akselerasi belanja pemerintah dan insentif dunia usaha serta berbagai program UMKM yang sudah mulai berjalan.
Sri berharap, pertumbuhan ekonomi pada kuartal keempat dapat berada di atas 3,4 persen. Tapi, apabila menggunakan skenario sangat buruk, pertumbuhannya hanya di tingkat satu persen.
"Sehingga, outlook kami untuk sepanjang 2020 adalah minus 0,4 persen sampai satu persen," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menilai, indikator-indikator ekonomi yang sudah terjadi hingga Mei menunjukkan kontraksi pada kuartal kedua adalah hal pasti. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama yang hanya 2,97 persen, di bawah perkiraan pemerintah.
Suhariyanto mengatakan, pertanyaannya saat ini adalah seberapa dalam kontraksi tersebut. Merujuk pada Trading Economics, kontraksi dapat menyentuh hingga minus 4,8 persen. “Bahkan ada yang prediksi minus tujuh persen,” tuturnya.