Koeksistensi Lembaga Zakat di Era Kenormalan Baru

Bagaimana gerakan zakat dapat menjaga eksistensinya di masa krisis pandemik ini?

Tahta Aidilla/Republika
Pertumbuhan Zakat Digital Meningkat di Masa Pandemi. Foto ilustrasi.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bambang Suherman (Ketua Umum Forum Zakat 2018-2021, Direktur Dompet Dhuafa) dan Arif R. Haryono (Pengurus Harian Forum Zakat 2018-2021, Pegiat Kemanusiaan Dompet Dhuafa)

“Respon kita terhadap pandemik ini harus fokus kepada kelompok masyarakat yang seringkali diabaikan” -- Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia menyikapi Pandemik Covid-19, Maret 2020



Terkoreksi! Dengan dampak pandemik yang sangat besar, banyak lembaga zakat harus mengoreksi dirinya sendiri dalam target capaian penghimpunan dan pelayanan pada mustahik. Evaluasi organisasi menjadi langkah taktis terdekat. Selanjutnya adalah mengelola ketidakpastian (disrupsi) yang muncul di fase kritis dan kenormalan baru ini.

Dalam kondisi non-pandemik lembaga zakat dapat memaksimalkan pelayanan mustahik dan muzakki, yakni program didesain ekspansif dengan pelbagai variasi model pemberdayaan mustahik, lalu penghimpunan dengan pelbagai kanal donasinya dapat dimaksimalkan untuk mempermudah muzakki menunaikan kewajibannya, SDM dan semua alat kerja tersedia dan relevan dengan tantangan yang ada di masyarakat. Namun, dalam kondisi pandemik, disrupsi yang muncul menanggalkan setiap kemewahan yang dimiliki. Tiba-tiba semua aset dan kekuatan lembaga tidak sepenuhnya relevan dengan realitas masalah yang dihadapi.

Lembaga zakat pun dituntut adaptif dengan kondisi yang ada. Tantangan besar menanti: bagaimana gerakan zakat dapat menjaga eksistensinya di masa krisis pandemik ini?

Adaptasi Kebiasaan Baru Gerakan Zakat
Pandemik menciptakan disrupsi. Dalam aspek filosofis, nilai (value) lembaga dapat menjadi acuan dalam mengelola gangguan yang muncul. Sementara dalam aspek pragmatis tak ayal manajemen organisasi akan terkoreksi, di fase kritis, kenormalan baru, hingga kelak pascapandemik.

Aktivitas penggalangan dana yang sebelumnya dapat dilakukan daring dan luring, kini dibatasi penuh dalam aspek daring untuk mencegah penularan lebih luas. Program pendampingan mustahik yang dapat dimonitor secara langsung harus dilakukan dalam jarak jauh, sementara keluaran program untuk pengentasan kemiskinan tentu tetap menjadi agenda prioritas. Adaptasi pengelolaan program harus segera diformulasikan bentuk sahihnya dalam menyambut era kenormalan baru. 

Disrupsi lain yang muncul di fase pandemik ini adalah terurainya sekat kemiskinan muzakki dan mustahik. Dalam kondisi konservatif pra pandemik, muzakki yang tergerak untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dapat berkolaborasi dengan lembaga kemanusiaan yang dipercayanya. Bentuknya beragam, termasuk dalam bentuk sumbangan atau kontribusi keahlian.

Maka dalam pola konservatif ini, lembaga zakat dan kemanusiaan hadir untuk menawarkan keterwakilan muzakki dalam melayani mustahik. Namun dengan adanya pandemik, jarak muzakki dan mustahik menjadi terbilang.

Maka sangat jamak di awal krisis Covid-19 banyak muzakki kelas menengah yang tercengang ketika tetangganya menjadi korban: entah terkena PHK, berkurang pemasukannya, hingga menjadi korban virus itu sendiri. Dalam aspek kenormalan baru, Covid-19 tak hanya melahirkan kantong-kantong kemiskinan baru, tapi juga menuntut model adaptif pengelolaan program lembaga zakat.

Menyikapi polemik meluasnya spektrum kemiskinan, lembaga zakat harus mentransformasi dirinya dari lembaga perantara muzakki dalam melayani mustahik, menjadi fasilitator muzakki dalam mengentaskan kemiskinan dan persoalan sosial lainnya, baik dalam skala rumah tangga maupun komunitas kecil lingkungannya. Muzakki yang tadinya dalam posisi pasif dalam pengentasan kemiskinan, dalam fase kenormalan baru dapat didorong menjadi komponen proaktif untuk menyelesaikan persoalan sosial di sekitarnya.

Tugas fasilitasi lembaga zakat mewujud dalam peningkatan kapasitas, penguatan akuntabilitas aktivisme dan fasilitasi partisipasi publik yang lebih luas untuk berdonasi. Salah satu program Dompet Dhuafa yang diluncurkan untuk menyiasati hambatan pengelolaan program di masa krisis pandemik adalah budidamber (budidaya lele dalam ember) yang berusaha menjawab persoalan ketahanan pangan dan ekonomi mikro di tingkat keluarga dan komunitas terkecil di masyarakat marjinal.

Dengan terbatasnya mobilitas fisik lembaga zakat di masa pandemik, tak ayal mempercepat terciptanya ekosistem digital gerakan zakat yang memungkinkan kolaborasi lembaga kemanusiaan dalam skala besar adalah suatu keniscayaan. Minimal ada 3 agenda besar yang harus diselesaikan oleh ekosistem digital gerakan zakat: Cara lembaga berkomunikasi dengan muzakki dan mustahiknya; cara lembaga menyiapkan pelayanan bertransaksi kepada muzakki dan mustahiknya; dan cara lembaga membuka akses bagi masyarakat untuk ikut terlibat membuat portofolio baru mengelola kemiskinan akibat pandemik covid tersebut. Ekosistem digital gerakan yang menghubungkan tanpa batas stakeholder zakat akan memudahkan dan menjawab persoalan pembatasan mobilitas di masa pandemik dan kenormalan baru.

Pandemik sedikit banyak turut mengoreksi paradigma kemiskinan dan model intervensinya. Penyebaran massif tak terkontrol dari covid-19 adalah persoalan sektor kesehatan publik.

Namun dengan luasnya dampak yang ditimbulkan, sektor lainnya turut terimbas: ekonomi, sosial perkotaan, pendidikan, ketahanan pangan, kesehatan ragawi dan mental, hingga lingkungan. Di luar itu, model program lembaga zakat pascapandemik tidak bisa lagi linier, namun pendekatan multidimensi dan multi-lapisan; dari tingkat individu hingga intervensi tingkat negara. Pemberdayaan (empowerment) masyarakat yang menjadi inti aktivitas program lembaga zakat perlu diperkuat dengan aspek pencegahan (preventive); agar ketika krisis serupa menimpa daya lenting masyarakat telah dipersiapkan.

Pendekatan keamanan insani (human security) patut dipertimbangkan agar lembaga zakat mengidentifikasi risiko-risiko yang dapat menimpa mustahik (dan muzakki) yang dapat memperluas disparitas kemiskinan serta memperdalam keparahannya. Dalam pendekatan ini, konteks program lembaga zakat yang kuat dalam pemenuhan hak dasar perlu perlindungan atas hak tersebut saling berkelindan.

Aspek pragmatisnya bahwa hak masyarakat untuk mengakses sentra ekonomi, fasilitas kesehatan, atau pendidikan, sama pentingnya dengan mendorong pranata negara untuk melindungi hak warga negara untuk dapat mengakses hak-hak dasar secara adil dan merata. Paradigma keamanan insani juga mengharuskan kolaborasi-kolaborasi antar pemangku kepentingan: pemerintah, swasta dan masyarakat sipil untuk melampaui ancaman-ancaman yang mendera warga negara; atau dalam konteks tulisan ini, melampaui pandemik.

Epilog
Adaptif dengan krisis adalah keniscayaan yang harus dilakukan lembaga zakat. Bukan sekedar untuk memastikan keberlangsungan organisasi dan gerakan ini, tetapi lebih jauh adalah memastikan hak mustahik dan muzakki tak berkurang setitik pun.

Dalam kondisi krisis, penting pula lembaga zakat memunculkan karakter koeksistensi, yaitu menguatkan karakter-karakter unggul lembaga untuk memperkuat di fase krisis dan kenormalan baru. Karakter unggul itu dapat di saripati pada tiga dimensi kunci: (1) value lembaga dan SDM unggul; (2) kanal penghimpunan yang fleksibel dan luwes dalam merespon disrupsi, serta; (3) program yang menumbuhkan aset mustahik, serta melindunginya dari ancaman-ancaman resiko keamanan insani.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler