Tegas! Munas Alim Ulama NU Haramkan Kepemilikan Laut

NU berpendapat negara tak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan laut.

Republika/Fuji E Permana
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis di Kantor MUI Pusat, Kamis (15/8/2024).
Rep: Muhyiddin Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2025 membahas tentang hukum kepemilikan laut. Berdasarkan kajian dalam forum tertinggi setelah muktamar ini, ulama dan kiai NU mengharamkan kepemilikan laut atas nama individu atau pun korporasi. 

Baca Juga


"Laut tidak bisa dimiliki baik oleh individu maupun korporasi," ujar Ketua Sidang Komisi Waqi'iyah, KH Muhammad Cholil Nafis dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (6/2/2025).

Hal tersebut sebagai jawaban dari pertanyaan tentang apakah laut dapat dimiliki individu atau korporasi. Pertanyaan lanjutannya adalah bolehkah negara menerbitkan sertifikat kepemilikan laut kepada individu atau korporasi?

Karena jawaban atas pertanyaan sebelumnya tidak dibolehkan, maka secara otomatis hal tersebut juga sama."Negara tidak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan laut, baik individu maupun korporasi," ucap Rais Syuriyah PBNU ini.

Suasana pembongkaran pagar laut oleh TNI AL bersama warga di perairan Tanjung Pasir, Teluk Naga, Tangerang, Sabtu (18/1/2025). - (Edwin Dwi Putranto/Republika)

Selain soal kepemilikan laut, soal yang dibahas dalam Komisi Waqi'iyah adalah melibatkan diri dalam konflik. Masalah ini dibolehkan oleh ulama NU, bahkan dihukumi fardlu kifayah, jika dilakukan dalam bentuk bantuan kemanusiaan, baik medis atau pangan. 

Namun, jika keterlibatannya dalam bentuk fisik, hukumnya haram, termasuk sebagai tentara bayaran. Sebab, hal itu memperbesar fitnah. NU juga mengulas aksi teror dengan pemerkosaan, penembakan membabi buta ke arah pemukiman penduduk, dan menjadikan anak sebagai perisai juga tidak diperbolehkan, hukumnya haram.

Sementara itu, hukum jual beli karbon baik dengan model sistem cap and trade maupun model offset emisi adalah boleh dan sah dengan memakai pola transaksi ba'i al-huquq al-ma'nawiyah atau jual beli hak-hak imateriil.

 

Kiai Cholil juga menjelaskan, ada tiga runtutan hukum dalam dam haji tamattu. Pertama, ikhtiar normal dam disembelih dan dibagikan di Tanah Haram. Kedua, dam wajib disembelih di Tanah Haram selama masih bisa. Namun karena ada kebutuhan, boleh didistribusikan di luar Haram. 

Ketiga, ketika terjadi ketidakmampuan pengelolannya karena Rumah Pemotongan Hewan (RPH), berkenaan dengan penyembliahnnya, mendatangkan kambing, itu boleh disembelih dan didistribusikan di luar Tanah Haram dan distribusikan di luar Tanah Haram.

Menurut dia, penyembelihan dan distribusi dam di luar Tanah Haram ini merupakan jalan keluar. Syaratnya, memang dam diputuskan tidak boleh diganti dengan uang, di Tanah Haram tidak ada kambingnya, RPH tidak ada, dan uzur lainnya semisal, penyembelihan di Indonesia.

"Yang menentukan tidak mampu atau tidak ideal ini adalah imam. Di sini adalah keputusan negara. Negara bisa dua pihak, Arab Saudi dan Indonesia," katanya.

Mengutip sebuah teori, ia menegaskan bahwa hukum yang ditetapkan imam atau negara adalah menghapus segala perselisihan.

Selain membahas daging dam, Komisi Waqiiyah juga membahas persoalan lain, seperti sertifikasi dan kepemilikan tanah di laut, perdagangan karbon, properti tidak bergerak yang dibisniskan di atas tanah wakaf, dan dinamika zakat uang.

"Sertifikasi dan kepemilikan tanah di laut serta perdagangan karbon menunggu di pleno saja. Namun, properti tidak bergerak yang dibisniskan di atas tanah wakaf dan dinamika zakat uang akan dibahas," kata dia.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler