Kisah Raja Batik Penyokong Dakwah Muhammadiyah
Haji Bilal Atmajoewana adalah adalah pendukung utama gerakan Muhammadiyah.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iwan Setiawan, Dosen Unisa Yogyakarta dan Sekretaris KOKAM Nasional
JAKARTA -- Kampung Kauman dalam sejarahnya tidak terpisah cerita tentang Masjid Gedhe, KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah, dan batik. Di awal tahun 1900 sebagian besar Abdi Dalem Putihan/ ulama Kraton Yogyakarta yang tinggal di Kauman punya usaha sampingan yaitu membatik.
Apalagi setelah buruh batik yang bekerja disekitar kauman tinggal di ngindungan. Disebut ngindungan karena ngindung, yang bermakna tinggal pada tanah milik orang lain. Tanah yang ditinggali adalah tanah milik penghulu Kraton Yogyakarta (dalem pengulon). Abdi Dalem Putihan dan buruh batik ini yang menopang perdagangan batik di Kampung Kuaman.
KH Ahmad Dahlan juga seorang pedagang batik. Profesinya sebagai abdi dalem dan pedagang batik tidak terpisahkan. Kisah tourne KH Ahmad Dahlan di banyak daerah, selain berdakwah adalah berdagang batik.
Keuntungan menjual batik inilah yang menopang dakwah beliau. Siti Walidah sang istri menjadi penjaga gawang urusan produksi batik dirumahnya. Profesi abdi dalem merangkap pedagang batik menjadi pemandangan yang lumrah di kampung Kauman pada tahun 1900-1960.
Salah satu abdi dalem dan pedagang batik yang paling terkemuka di Yogyakarta adalah Haji Bilal Atmajoewana. H. Bilal asli Kauman, ayahnya Surawilaga juga Abdi Dalem. Jabatan Surawilaga adalah Ketib, jabatan yang sama dengan KH Ahmad Dahlan.
Ayah Surawilaga adalah Pekih Ibrahim Diponingrat, penghulu pertama Kraton Yogyakarta. Saat Muhammadiyah didirikan pada 1912 H Bilal berada dibelakang KH Ahmad Dahlan dalam membantu membesarkan Muhammadiyah. Terutama dalam urusan pendanaan Muhammadiyah.
Pada tahun yang sama, tahun 1912 Firma Haji Bilal berdiri. Firma Haji Bilal adalah perusahaan batik milik Bumiputera di Yogyakarta.
Saat Firma Haji Bilal berdiri, usia H Bilal sekitar 19 tahun. Sebelum mendirikan Firma, beliau memulai usaha batiknya dari awal. Dari produksi hingga penjualan batik dikerjakan sendiri.
Persahabatan H Bilal dengan para abdi Dalem yang juga sebagian besar pedagang batik menjadikannya banyak belajar. Abdi Dalem yang paling berjasa untuk mendorong H Bilal dalam urusan dagang batik adalah Haji Ibrahim, yang kemudian memperkenalkan H Bilal dengan Persyarikatan Muhammadiyah.
Kemajuan Firma Haji Bilal dapat dilihat dari perkembangan pabriknya. Pendirian pabrik di Alun-Alun Utara dan Wirobaran dengan 700 buruh batik dan berdirinya kantor Firma Haji Bilal yang bersebelahan dengan Gedung Asuransi NILLMIJ (Sekarang Gedung BNI 46 di titik Nol KM) menjadi bukti perusahaan batik ini bukan kelas receh. Selain ini, pendirian kantor cabang di beberapa kota besar di Indonesia juga dilakukan.
Muhammad Husnil dan Yudi Anugrah dalam Haji Bilal Atmajoeana: Raja Batik dari Yogyakarta menulis saat depresi besar dunia tahun 1930-an (Zaman Malaise) juga berakibat pada penurunan usaha dagang di Hindia Belanda. Tetapi Firma Haji Bilal terus berkembang saat depresi ekonomi melanda.
Otak bisnis H Bilal mulai bekerja. Saat itu H Bilal mulai menjual batik cap dan mengurangi produksi batik tulis yang mahal harga dan produksinya. Selain itu H Bilal menjual turunan pakaian masa itu, berupa selendang dan sarung. Trik bisnis ini mampu mengantarkan Firma Haji Bilal keluar dari krisis ekonomi dunia dan menjadikan perusahaan beliau semakin berkibar.
Perusahaan batik dengan merk H Bilal ini menjadi unicorn bisnis pada masanya. Salah satu inovasi bisnis untuk mengembangkan brand batik H Bilal adalah promosi.
Perusahaan sangat memperhatikan masalah promosi. Perusahaan sudah menyiapkan promosi yang cukup besar. Sampai hari ini jejak promosi batik H Bilal masih ada di majalah dan buku yang dicetak di Yogyakarta pada tahun 1930-1950.
Hampir semua terbitan Almanak Muhammadiyah terbitan Persatuan, Buku Almanak Djawa terbitan Bunning dan majalah-majalah lain memuat iklan Batik H Bilal. Pemasangan iklan Batik H Bilal juga dengan harga termahal, yaitu satu halaman penuh dan di cover belakang majalah atau buku.
Muhammad Husnil dan Yudi Anugrah mencatat pada Agustus 1916 misalnya. H Bilal sudah ikut pameran industri di Kota Padang. Dalam pameran itu H Bilal membuat dan membagikan katalog berisi produk-produk beserta harga batik bikinannya yang dijual dengan diskon hingga 30 persen, belum termasuk ongkos kirim dari Yogyakarta.
H Bilal punya prinsip dalam batik merknya perlu diperkenalkan kepada publik secara luas. Kwalitas yang baik dengan harga yang bersaing. Tidak heran jika H Bilal memilih tagline dalam bisnisnya “untung sedikit, jual banyak”.
Mengutip dari Buku Haji Bilal Atmajoewana, pada puncak kejayaannya, firma Haji Bilal memiliki beberapa workshop dan mempekerjakan 700 karyawan. Firma bukan hanya menjual produksinya di Jawa, tetapi juga Sumatra dan Singapura. Beberapa orang menjulukinya “raja batik” dari Yogyakarta.
H. Bilal usianya tidak panjang, sama seperti KH Ahmad Dahlan yang meninggal pada usia 55 tahunan. H Bilal meninggal pada 11 Oktober 1948. Ahli warisnya membekukan Firma H Bilal pada tahun 1960 berkaitan dengan urusan keluarga. Tapi sampai hari ini ahli waris masih mengelola aset yang diwariskan H Bilal.
Beberapa bangunan di Jalan KH Ahmad Dahlan seperti Hotel, toko batik dan bangunan yang disewakan kepada pihak kedua masih dikelola oleh ahli waris H Bilal. Kompeks Taman Joewana yang terletak di Jalan Dagen belakang Malioboro dengan 24 rumah tinggal juga dikelola oleh ahli waris H Bilal Atmojoewana.
Sehingga kompleks itu dinamakan Taman Joewana. AR Baswedan salah seorang pahlawan nasional yang menghabiskan masa tuanya di Kompeks Taman Joewana. Rumah ini dipinjamkan oleh H Bilal kepada AR Baswedan dan ditinggali AR Baswedan hingga tutup usia.
Pada masa hidupnya, H Bilal adalah pendukung utama gerakan Muhammadiyah. Terutama mendukung dalam urusan pendanaan. Wakaf tanah dan harta dari H Bilal untuk Muhammadiyah sampai hari ini masih dirawat dengan baik oleh Muhammadiyah: Tanah Kompleks Muhammadiyah Purwo di Ngampilan saat ini digukanakan untuk Masjid, Kantor PCM Ngampilan, SD Muhammadiyah Ngampilan, SMP Muhammadiyan 1 dan SMA Muhammadiyah 5.
H Bilal dan menantunya juga memiliki peran yang besar dalam pembangunan Masjid Margoyuwono di Alun-Alun Selatan dan Masjid Syuhada di Kotabaru Yogyakarta. Selain itu, anak turunan H Bilal juga banyak mewakafkan tanahnya untuk Muhammadiyah.
Kisah H Bilal merupakan cermin masa lalu yang dapat menjadi petunjuk dan ibrah, bahwa dakwah dan perjuangan membutuhkan amunisi. H Bilal adalah contoh pengusaha yang berdedikasi pada urusan amunisi dakwah. Hari ini diperlukan banyak Haji Bilal di Muhammadiyah dalam menyokong dakwah Muhammadiyah, terutama di ranting dan Cabang Muhammadiyah.