Benarkah Mehmed II Membeli dan Mewakafkan Hagia Sophia?

Tak ada dokumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan soal pembelian Hagia Sophia.

EPA-EFE / TOLGA BOZOGLU
Tak ada dokumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan soal pembelian Hagia Sophia. Hagia Sophia di Istanbul, Turki.
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Jagat media sosial belakangan ramai dengan informasi simpang siur terkait dengan pembelian Mehmed II Hagia Sophia dan pewakafannya untuk Muslim.


Hal ini berangkat pula dari viralnya foto dokumen pembelian dan wakaf tersebut. Ditambah dengan munculnya foto Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu yang memperlihatkan dokumen yang dimaksud dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi, meski belum ada konfirmasi secara resmi. 

Sebuah artikel Abdussalam Haedar yang diterbitkan arabicpost, mencoba menjelaskan fakta terkait rumor tersebut. 

Menurut dia, Muhammad II bergelar Al-Fatih atau juga dikenal dengan Mehmed II, berhasil masuk jantung Konstantionopel, saat ini Istanbul, pada 29 Mei 1453, setelah kurang lebih 53 hari pengepungan dan peperangan dahsyat di kota tersebut dengan tentara Byzantium. Pada hari itulah, untuk kali pertama Mehmed II memasuki  Hagia Sophia. 

Sebagaimana diketahui, Mehmed II dikenal sebagai sosok yang religius. Meski ketika itu usianya masih 20 tahun, tetapi dia telah memahami fiqih jihad dengan baik,terutama bab pembagian harta rampasan yang didapat baik secara damai atau melalui perang fisik. Pembagian itu diserahkan kepada imam atau pemimpin. Jika dia berkenan seperlima untuk para mujahid atau mewakafkannya untuk umat Islam. Ini sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab ketika membagi rampasan Perang Khaibar.

Maka merujuk pada hukum dan fiqih jihad ini, Mehmed II tak perlu memberi Hagia Sophia atau bangunan apapun di Konstantinopel, karena masuk pada kategori wilayah yang diperoleh lewat peperangan fisik. Dari fakta inilah, klaim yang beredar bahwa Mehmed II membeli Hagia Sophia dari Patrick (santo) Ortodoks meragukan, apalagi belum ada data keberadaan patrick saat itu karena posisinya kosong, dan dari dokumentasi belum ada arsip kuat menguat rumor itu. Sederhananya: klaim pembelian Hagia Sophia tak pernah terjadi.

Begitu Mehmed II berada di Hagia Sophia, dia melarang prajuritnya merusak dan merampoknya. Dia mengatakan.”Untuk kalian tawanan dan harta rampasan, sedangkan bangunan kota milikku.”(Lihat: Philip Mansell dalam Constantinople: City of the World's Desire, 1453–1924 ). Ini tak hanya Hagia Sophia tetapi seluruh bangunan yang ada di Konstantinopel. Pada saat itu pula Mehmed II mengubah nama kota menjadi Istanbul dan menetapkannya sebagai ibu kota pemerintahan. Ibu kota pun berubah menjadi kota yang sangat Islami dengan hukum tata kelola merujuk pada hukum Islam, tentu ini wajar dalam penaklukkan apapun. Sejak itulah Hagia Sophia berubah fungsi menjadi masjid dan sholat pertama digelar. Renovasi dilakukan dengan menyebunyikan ikon-ikon Ortodoks dan menambahkan menara. 

Namun, langkah penaklukkan Konstantinopel harus didukung dengan penguatan ekonominya. Maka dari itu, Mehmed  II tetap mempertahankan sejumlah gereja Ortodoks, dan menunjuk patriark Ortodoks yang baru, yaitu Gennadius Scholarius, sosok kontroversial yang bertentangan dengan gereja-geraja Romawi. Langkah ini untuk menggaet para invenstor dan orang kaya agar tertarik tinggal di Istanbul. Mehmed memberikan jaminan terhadap minoritas Ortodoks dan memberikan mereka posisi di pemerintah, dengan tetap berkendali penuh atas minoritas. (Lihat, Robert Mantran Histoire de l'empire ottoman).  

Maka kembali pada soal status Hagia Sophia, dalam konteks negara Islam itu, Konstantinopel telah menjadi kekuasaan penuh Mehmed II, apapun berhak dia lakukan mulai dari mengubah nama hingga mewakafkan suatu bangunan. Dokumentasi yang dimunculkan belakangan ini, jika memang benar, tentu sulit diperdebatkan karena tidak ada pembanding sama sekali. 

Apalagi, masalahnya sekarang kekuasaan Mehmed II telah hilang demikian pula legalitasnya. Terlibah, setelah turki berubah menjadi negara sekuler, regulasi-regulasi bernuansa keislaman dihilangkan. Jika demikian tentu legalitas seandainya benar Hagia Sophia adalah wakaf, tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hanya saja, kesemua ini kembali ke persoalan politik internal Turki dengan segala dinamika nasionalnya. Ini pula menempatkan klaim-klaim tersebut sulit dibuktikan karena posisi politik Turki yang kuat saat ini.

 

Sumber: https://arabicpost.net/%d8%a7%d9%84%d8%a3%d8%ae%d8%a8%d8%a7%d8%b1/middle_east/2020/07/13/%d9%87%d9%84-%d8%a7%d8%b4%d8%aa%d8%b1%d9%89-%d9%85%d8%ad%d9%85%d8%af-%d8%a7%d9%84%d9%81%d8%a7%d8%aa%d8%ad-%d8%a2%d9%8a%d8%a7-%d8%b5%d9%88%d9%81%d9%8a%d8%a7-%d9%81%d8%b9%d9%84%d8%a7%d9%8b%d8%9f-%d8%aa/

 

 

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler