IB: Satu Anak Satu Kurikulum adalah Keniscayaan
Kurikulum harus didedikasikan demi kepentingan eksplorasi diri murid.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Bermutu (IB) kembali menggelar sawala nasional pada Ahad (19/7). Sawala kali ini diikuti para guru, dosen, dan pelaku pendidikan dari 22 provinsi.
Acara yang digelar secara online itu mengupas tema tentang satu anak satu kurikulum. Adapun nara sumbernya Deni Hadiana, pendiri IB; Zulfikri Anas, praktisi kurikulum kehidupan, dan Harry Firman, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Harry Firman menenggarai gagasan satu anak satu kurikulum sejalan dengan pemikiran humanistik Ki Hajar Dewantara, yang memposisikan pendidikan sebagai “penuntun”, bukan sebagai cetak-biru untuk masa depan anak. Harry menambahkan, landasan gagasan ini antara lain hakikat manusia yang memiliki kodrat dan fitrahnya masing- masing, serta tujuan mulia pendidikan untuk membimbing manusia menjadi pribadi merdeka dan mandiri.
“Kurikulum harus didedikasikan demi kepentingan eksplorasi diri murid untuk menemukan jatidiri dan potensinya sendiri melalui proses pembelajaran dan interaksinya dalam ekosistem sekolah. Oleh karena itu, hendaknya pembuat kebijakan, pengelola, dan praktisi pendidikan untuk senantiasa menghindari treatment seragam kepada semua murid, yang pada dasarnya mendehumanisasi. Sebab, hal ini tidak sesuai dengan kodrat dan fitrah manusia,” ungkap Harry saat membacakan refleksi akhir Sawala seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Deni Hadiana manyampaikan gagasan satu anak satu kurikulum lahir dari empat pemikiran sederhana tentang hakikat fitrah manusia. Pertama, setiap murid memiliki tiga fitrah pada dirinya yakni heart, head, hand. “Heart, hati merupakan simbol moral, sikap, karakter, dan etis yang memiliki fitrah baik; kita sering menamainya sebagai potensi sekaligus kompetensi sikap,” tuturnya.
Head, kepala adalah simbol intelektualitas, pintar, jago menghitung, hafalannya hebat. “Kemudian kita mengelompokkannya ke dalam potensi dan kompetensi pengetahuan,” tuturnya.
Ia menjelaskan, hand, tangan adalah simbol infrastruktur tangan, kaki, indra, dan tubuh; lantas sering dilabeli sebagai potensi dan kompetensi keterampilan.
Pemikiran kedua, menurut Deni, tidak ada produk Tuhan yang gagal. Termasuk, sikap murid, pengetahuan murid, dan keterampilan murid. “Oleh karena itu, tidak ada murid yang nakal, yang ada adalah murid yang belum menemukan kembali nurani dan jati dirinya; tidak ada murid yang bodoh, yang ada adalah murid yang dipaksa mengikuti keinginan pemerintah, sekolah, dan guru, dan menjadi orang asing bagi dirinya sendiri; tidak ada murid yang tidak bisa terampil melakukan sesuatu, yang ada adalah murid yang memerlukan sentuhan kreatif dari seorang guru,” paparnya.
Ketiga, jika kurikulum, pembelajaran, dan penilaian sesuai dengan fitrah potensi sikap, potensi pengetahuan, dan potensi keterampilan murid, dengan sendirinya murid dengan difasilitasi guru akan menemukan garis edar kompetensinya masing-masing.
Masih menurut Deni, pemikiran keempat, jarak, usia, ruang, regulasi, variasi, dan stratifikasi adalah potensi penggerak kompetensi murid agar sikapnya bergerak semakin baik, pengetahuannya bergerak semakin cerdas, dan keterampilannya bergerak semakin lihai.
Senada dengan Deni, Zulfikri Anas dari Perguruan Al Iman dan penulis buku Kurikulum untuk Kehidupan, menekankan bahwa pembelajaran, fungsi dan peran guru di sekolah, serta sistem penilaian pendidikan yang diterapkan guru harus memberi ruang luas bagi setiap murid dalam eksplorasi dan pengembangan potensi dan segenap kekuatan yang ada dalam diri masing-masing.
Menurutnya, setiap individu anak pembawa amanah dan potensi unik, serta kehadiran tiap individu menempati ruang yang telah disediakan jauh sebelum dia lahir. “Tugas dunia pendidikan adalah memberikan layanan dan memastikan setiap anak mendapatkan hak-hak pendidikannya, dan akhirnya tumbuh kesadaran dari dalam dirinya, bahwa dialah pembawa amanah dari Allah. Kita tidak perlu melibatkan mereka dalam penyusunan kurikulum, tapi jadikanlah mereka sebagai ‘pembuat’ kurikulum sesuai kebutuhan mereka di masa datang,” paparnya.
Sugiman, dosen Universitas Negeri Semarang mengatakan satu anak satu kurikulum sejalan dengan prinsip kurikulum nirbatas artinya setiap anak wajib diberi ruang yang luas untuk mengenali, memahami, dan melejitkan potensi dirinya. Sugiman mengharapkan Indonesia Bermutu perlu segera memformulasikan langkah-langkah praksis agar aktivitas di ruang kelas benar-benari dinamis dan inspiratif.
Mengamini keinginan Sugiman, Fakhrudin tenaga pengajar di Universitas Negeri Jakarta optimistis jika ide satu anak satu kurikulum bisa diimpelementasikan di ruang kelas akan menghadirkan suasana belajar yang berkualitas.
Asep Sunandar, dosen Universitas Negeri Malang meyakini keberhasilan implementasi dari ide satu anak satu kurikulum sangat ditentukan perubahan pola pikir guru, pengawas, dan kepala sekolah daripada pola pikir murid sebagai objek menjadi murid sebagai subjek pembelajaran dan penilaian.
Oleh karena itu menurut Rohmani, pemerhati pendidikan, para pemangku dan pelaku pendidikan perlu serius bergerak dari tabiat standardisasi ke tabiat personifikasi pembelajaran dan penilaian.
Hal yang sama disampaikan oleh Dimyati, peneliti Indonesia Bermutu. Dim mengingatkan para guru agar segera bergerak dari pelaksana kurikulum ke pengembang sekaligus pelaksana kurikulum.
Jaka Warsihna, ketua umum Indonesia Bermutu mengingatkan ide besar satu anak satu kurikulum perlu dibarengi dengan perubahan paradigma, penguatan komitmen, dan mereformulasi berbagai kebijakan terkait murid, sekolah, dan guru seperti sistem akreditas dan sertifikasi guru dari bukti fisik administrasi ke bukti kinerja nyata.