DPR: Besaran Parliamentary Threshold Jadi Perdebatan Alot

Masing-masing fraksi di DPR erbeda pendapat terkait besaran parliamentary threshold.

Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dalam pembahasan RUU Pemilu masih jadi perdebatan alot karena masing-masing fraksi berbeda pendapat terkait besarannya. [Foto: Gedung DPR]
Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu Komisi II DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, dalam pembahasan RUU Pemilu, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold masih jadi perdebatan alot. Sebab, masing-masing fraksi berbeda pendapat terkait besarannya.

Baca Juga


"Seperti halnya perbedaan pendapat antara satu fraksi dengan fraksi lainnya tentang 'parliamentary threshold' dan ambang batas pencalonan presiden atau 'presidential threshold'," kata Guspardi dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Selasa (21/7).

Dia mencontohkan untuk ambang batas parlemen, PDI Perjuangan mengusulkan 5 persen, Gerindra 7 persen, Nasdem 7 persen, PAN 4 persen, Demokrat 4 persen, PKB 5 persen dan PPP 4 persen. Menurut dia, terkait ambang batas pencalonan calon presiden ada yang mengusulkan 20 persen, ada yang 15 persen, ada yang 10 persen.

"Fraksi PAN meminta sama dengan partai Demokrat, yaitu kalau sudah ada wakil partai itu di DPR RI, maka partai politik tersebut juga boleh mengusulkan presiden, itu contohnya," ujarnya.

Guspardi mengatakan anggota Panja RUU Pemilu sependapat bahwa semua usul dan saran pendapat serta masukan terhadap berbagai hal yang krusial dari semua fraksi dirangkum dan dikompilasi terlebih dahulu sebagai draf. Kemudian, draf diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi.

Setelah itu, menurut dia, baru ketika pembahasan dilakukan dengan pemerintah dikerucutkan dan disepakati terhadap hal yang krusial tersebut. "Upaya pengharmonisasian dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dilakukan, untuk memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," katanya.

Langkah itu, menurut Guspardi, harus dilakukan karena pengharmonisasian dan sinkronisasi merupakan salah satu dari rangkaian proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dia menjelaskan proses pengharmonisasian dan sinkronisasi itu dimaksudkan agar tidak terjadi atau mengurangi tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan.

Dia mengingatkan setelah Baleg selesai melakukan tugasnya, lalu menyerahkan kembali hasil harmonisasi dan sinkronisasi tersebut kepada Komisi II DPR RI untuk melakukan penyesuaian dan penyempurnaan. "Setelah itu baru Komisi II DPR mengusulkan kepada pimpinan DPR RI untuk menggelar sidang paripurna dalam rangka pengesahan bahwa RUU Pemilu yang merupakan hak inisiatif DPR RI yang masuk ke dalam Prolegnas 2020 telah dapat diproses sebagaimana mestinya," ujarnya.

Politisi PAN itu menjelaskan bahwa mekanisme berikutnya adalah Badan Musyawah (Bamus) DPR RI akan menentukan dan menetapkan alat kelengkapan yang akan menjadi Pansus atau yang akan membahas nantinya. Menurut dia, karena RUU Pemilu merupakan usul dan hak inisiatif Komisi ll DPR, biasanya Bamus akan merekomendasikan pembahasannya dilakukan oleh Komisi ll DPR.

Namun dia berharap agar setelah memasuki masa persidangan ke V DPR RI Tahun Anggaran 2020 sudah bisa ditetapkan dan selanjutnya Komisi II DPR dapat melakukan pembahasan RUU Pemilu ini dengan Pemerintah.

Sebelumnya, DPR RI merevisi Prolegnas Prioritas 2020 yang sebelumnya berjumlah 50 RUU menjadi 37 RUU, dengan target penyelesaiannya pada Oktober 2020. Dalam revisi tersebut, RUU tentang Pemilu tetap masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler