Klepon: Dari Singkek Rentenir Sampai Hidangan Hari Lahir
Tak makan klepon di Indonesia seperti ke Paris tapi tidak menikmati keju.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Klepon pernah membuat heboh pada 1939. Koran-koran di Surabaya, Semarang, Jakarta, dan Medan memberitakannya. Bahkan koran di Belanda pun ikut memberitakannya, karena kasus ini diangkat di sidang Volksraad.
Namun, klepon yang dibahas saat itu bukan klepon nama makanan, melainkan nama desa di Blitar, Jawa Timur. Kisahnya bermula dari koran Pelita Tionghoa yang menurunkan tulisan dengan judul “Satu Hinaan Bagi Bangsa Tionghoa”. Laporan yang terbit pada 21 Januari 1939 itu membahas peringatan tertulis: Tjina en Singkek tida boleh masoek di kampoeng perceel Klepon.
Singkek sebutan untuk orang-orang Cina yang lahir di Cina dan datang di Hindia Belanda. Di Klepon beroperasi perusahaan perkebunan Handelsvereniging Amsterdam (HVA).
Anggota Volksraad Han Tiauw Tjong pun mempermasalahkan hal ini di sidang Volksraad 30 Januari 1939. Jika laporan Pelita Tionghoa itu benar, kata Han Tiauw Tjong, penolakan akses terhadap kelompok tertentu itu bisa menyinggung kelompok itu. Karena itu, ia meminta pemerintah menghapusnya.
Sebelumnya, menurut laporan De Locomotief 25 Januari 1939, orang-orang Cina melayangkan protesnya ke administrator HVA di Klepon dan ke kantor HVA Surabaya. Mereka meminta peringatan tertulis itu dicabut dan jika tak dipenuhi mereka akan melaporkannya ke kejaksaan. Peringatan tertulis itu dipasang di dekat Garum, jalan menuju perkebunan milik HVA di Klepon.
Tak kurang dari Algemeen Handelsblad, De Locomotief, De Sumatra Post, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, Indische Courant, dan Soerabaijasch Handelsblad, melaporkan kasus itu pada Januari-Februari 1939 dan September 1939. Di Amsterdam ada De Tijd yang menurunkan laporannya pada 28 September 1939.
Bagaimana bisa ada peringatan tertulis di Klepon itu? Diduga peringatan serupa juga ada di daerah-daerah lain karena banyaknya praktik pemberian kredit dengan bunga tinggi –250 persen-- yang biasa disebut mindering. Di Jawa, tak hanya orang Cina yang memberikan pinjaman, melainkan juga orang Arab.
Locomotief menduga peringatan itu dipasang beberapa tahun lalu untuk melindungi kuli perkebunan dari kerugian akibat praktik lintah darat (woeker). Yang menjalankan kegiatan ini orang-orang Cina dan singkek. Ada sebutan singkek mindering, yaitu sebutan untuk orang-orang Cina yang menjual barang dengan sistem cicil dan pemberian pinjaman dengan bunga tinggi.
Peringatan itu, menurut De Tijd, merupakan prasasti yang dipasang pada 1928. Ini berawal dari banyaknya praktik ceti yang merugikan petani. Ceti adalah sebutan untuk orang-orang Cina yang masuk ke desa-desa memberikan pinjaman kepada para petani untuk modal tanam. Istilahnya beli di muka alias ijon, tapi hasil panen tak akan menutupi jumlah pinjaman berikut bunganya.
Menurut Twang Peck Yang, para ceti ini mengenakan bunga pinjaman yang cukup tinggi. Pada 1930, seperti ditulis Twang Peck Yang di buku Elite Bisnis Cina di Indonesia tercatat ada 5.336 (sebanyak 4.342 asli Cina) di Jawa. Di luar Jawa tercatat ada 347 ceti.
Pada 1930, jumlah penduduk Jawa sebanyak 41,7 juta jiwa. Penduduk etnis Cina sudah mencapai 582 ribu. Jumlah ini di atas jumlah penduduk Eropa di Jawa yang hanya berjumlah 192 ribuan.
Nah, untuk melindungi petani dari kerugian akibat ulah para ceti itu, dipasanglah peringatan Cina dan Singkek dilarang masuk itu. Pada saat itu warga Klepon telah mendapat pembagian tanah persil dari HVA untuk mereka garap.
Jika ada gangguan orang-orang Cina dan Singkek yang berpraktik sebagai ceti, mereka tak akan dapat manfaat penuh dari tanah mereka. Larangan itu hanya untuk orang-orang ini.
“Karena gangguan hanya dari orang-orang Cina pemberi pinjaman, larangan hanya ditujukan pada orang-orang ini. Itu tidak ditujukan kepada kelompok populasi tertentu,” tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie.
Peringatan tertulis itu memunculkan kesalahpahaman. Maksud peringatan itu sebenarnya hanya untuk mencegah lintah darat masuk ke Klepon, namun warga Cina keseluruhan tersinggung dibuatnya.
“Kalimat pada peringatan itu kurang tepat pemilihan kata-katanya, sehingga terlihat seperti ditujukan ke orang-orang Cina, sementara pemberi pinjaman dari suku lain diberi akses masuk ke persil,’’ tulis Locomotief.
Di luar Klepon sebagai nama desa yang telah bikin heboh, klepon sebagai nama makanan yang dihebohkan pekan ini, juga disukai orang-orang Belanda. Seorang Belanda yang memakai nama Oom Alex menulis tentang klepon di Java Bode, 24 November 1954.
Tidak makan klepon di Indonesia, menurut Oom Alex seperti berada di Paris tapi tak menikmati keju. Atau berada di Belanda tapi tak memiliki air tawar. “Klepon adalah satu hal yang paling menyenangkan yang disediakan di Indonesia,’’ tulis Oom Alex.
Ia mendeskripsikan klepon kepada orang-orang yang belum pernah merasakannya. Bola bulat dari tepung ketan, seukuran bola bekel, berisi gula jawa cair, dan dilapisi kelapa parut.
“Pembuatan klepon memerlukan keterampilan yang hebat dan mungkin lebih dari itu juga memerlukan dedikasi khusus,’’ lanjut dia.
Oom Alex sangat terkesan dengan klepon buatan Bibi Noes dari Semarang. Ia merasakan klepon pecah saat di dalam mulut lalu merasakan lelehan gula jawa yang menyapu mulut. Jika tak ada gigi yang berlubang, klepon bisa dibolak-balik, lidah berlumuran lelehan gula jawa. Ada rasa asin dan manis.
“Asin bercampur dengan manis, saat suka dan duka menyatu dalam kehidupan. Itulah kesenangan tertinggi, karena suka dan duka berbarengan membuat keberadaan manusia begitu kaya dalam kehidupan yang layak,” tulis Alex.
Namun, kata Oom Alex, ada saatnya harus menelan klepon. Kemudian kleponnya hilang tertelan dan kesenangan pun berakhir. Semua itu membuat membuat penyuka klepon bersedih dan perlu mengambil klepon lagi untuk merawat kesenangan, layaknya jalan kehidupan yang perlu selalu dirawat.
Di Jawa, menurut Padmasusastra di buku Tatacata (1911), klepon menjadi salah satu makanan yang harus ada di acara selamatan delapan bulan kehamilan. Nama selamatannya “bulus angkrem”.
Kura-kura yang mengerami telur, menunggu kelahiran kehidupan baru. Klepon disajikan dengan cara: Serabi putih ditengkurapkan di atas klepon. Klepon disimbolkan sebagai telur, serabi disimbolkan sebagai rumah kura-kura.