Pengamat: Permufakatan Jahat dalam PK Djoko Tjandra
Permufakatan jahat secara oligarki menggunakan kekuasaan ini, semakin kental.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Legal Culture Institute M Rizqi Azmi menilai, ada anomali besar yang nengarah kepada permufakatan jahat dalam kasus Djoko Tjandra. Kata dia, semenjak putusan MA dalam PK terhadap Djoko Tjandra di tahun 2009, jaksa seharusnya sudah bergerak cepat mengeksekusi sesuai tugas eksekusitorialnya pasal 270 KUHAP.
"Kejaksaan harusnya mengefektifkan unit-unit di bawah Jamintel apalagi kalau sekarang bisa melalui adhyaksa monitoring center nya untuk menangkap Djoko tanpa menunggu putusan PK yang dimohonkan, " kata Rizqi kepada Republika, Selasa (28/7).
Permufakatan jahat secara oligarki menggunakan kekuasaan ini, sambungnya, semakin kental semenjak dicopotnya Lurah Grogol, Jakarta Selatan Asep Subahan dan Brigjen Prasetijo Utomo sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri karena menerbitkan surat perjalanan yang mencantumkan nama Djoko Tjandra sebagai konsultan polisi. Hal ini pun harus ditelusuri dan tidak hanya di hukum secara etika kepegawaian namun juga harus diberikan sanksi berat dalam konteks tindak pidana.
"Ada sejumlah pasal yang dilanggar dalam pemalsuan KTP-el misal pasal 93 dan 95 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut Undang-Undang Administrasi Kependudukan) serta pasal 263 dan 264 KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan ancaman 6-8 tahun penjara ditambah lagi Djoko bukan WNI lagi karena telah jadi WN Papua Nugini," ucapnya.
"Dan juga mempermudah langkah Djoko Tjandra dengan memberikan predikat konsultan polisi hal ini bisa di lekat pasal 88 KUHP jo Pasal 15 UU tipikor tentang permufakatan jahat serta pasal 212 KUHP dalam mengahalang-halangi petugas dalam menangkap Djoko Tjandra, " tambahnya.
Seharusnya lagi, sidang Permohonan PK kali ini majelis hakim sudah bisa memutuskan tanpa memperpanjang sidang. Majelis hakim harus djoko Tjandra karena beberapa Hal pertama sudah mangkir 3 kali berturut termasuk hari ini.
"Kedua menyalahi prosedur acara pidana karena tidak mengurus langsung .ketiga karena itikad buruk dari djoko sebagai buronan semenjak 2009 dan melakukan permainan permufakatan jahat denga birokrat dan penegak Hukum. Kami kira tidak ada alasan kuat majelis hakim menerimanya," ujarnya.
Dalam sidang keempat yang diselenggarakan pada Senin (27/7) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, diwarnai dengan penolakan Jaksa untuk menandatangani Berita Acara Persidangan (BAP).
Penolakan jaksa untuk menandatangani Berita Acara Persidangan terjadi menyusul keberatan jaksa terhadap majelis hakim yang belum mengambil keputusan. Majelis hakim berpandangan, bahwa tidak ada perkara PK yang diputus dalam persidangan awal.
Karena itu, proses persidangan akan berjalan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Setelah sebelumnya Mejelis telah mendengarkan keterangan pemohon dan mendengarkan pendapat jaksa, nantinya majelis hakim pun akan memberikan pendapatnya.