Perludem Sebut 4 Faktor Penyebab Munculnya Politik Dinasti

Perludem sebut ada empat faktor penyebab munculnya politik dinasti

Republika TV/Havid Al Vizki
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menilai dinasti politik yang dihadapi saat ini bukan dalam konteks hak asasi warga negara atau akses terhadap politik dan kepemiluan, namun lebih kepada politik dinasti yang cenderung destruktif. Titi menyebut setidaknya ada empat faktor yang berkontribusi terjadinya politik dinasti yang destruktif. 

Baca Juga


"Pertama adalah kaidah hukum yang memungkinkan itu terjadi," kata Titi dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/7).

Menurutnya besaran ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara sah, berkontribusi terhadap kemungkinan terjadinya politik dinasti atau kekerabatan. Tingginya besaran ambang batas membuat adanya akses yang terbatas di dalam proses pencalonan Pilkada.

Kemudian Titi menjelaskan, dipersulitnya syarat calon perseorangan untuk bisa maju dalam pilkada juga menjadi penyebab munculnya dinasti politik. Padahal keberadaan calon perseorangan dinilai penting untuk menghadirkan calon alternatif.

"Jadi sudah lewat partai politik berat,  lalu calon perseorangan juga dari 3 sampai 6 setengah persen persyaratannya, sekarang dibuat menjadi 6,5 sampai 10 persen,  jadi akhirnya akses politik itu makin terbatas, hanya orang-orang dan kelompok tertentu saja," ujarnya.

Faktor kedua, yang juga berkontribusi terhadap terjadinya politik dinasti yang dekstruktif yaitu kelembagaan partai politik yang belum demokratis. Titi menganggap rekrutmen calon kepala daerah cenderung elitis, yang keputusannya diambil oleh hanya segelintir orang saja di partai politik.

"Rata-rata yang mencalonkan bagian dari politik dinasti, itu juga melanggengkan politik dinasti di internal partai, jadi  kontribusi terhadap tata kelola partai yang belum demokratis, pengambilan keputusan yang elitis, lalu pengambilan keputusan yang tidak transparan dan tidak akuntabel kepada anggota ataupun pengurus itu juga turut menyumbang,  lalu hegemoni pembiayaan partai yang dikuasai oleh segelintir orang,  itu juga berdampak pada politik dinasti," jelasnya.

Ketiga, lanjut Titi, yaitu mahalnya biaya politik juga ikut berkontribusi menghadirkan politik dinasti. Selain itu praktek mahar politik atau jual beli tiket pencalonan juga ikut menyumbang terjadinya politik dinasti.

"Ini karena yang di mana-mana dinasti politik itu kan untuk melanggengkan kekuasaan, kekuasaan artinya akses pada uang,  akses pada sumber daya,  politik yang mahal itu juga ikut berkontribusi, sayangnya  mahalnya itu lebih banyak kepada hal-hal yang sifatnya ilegal seperti mahar politik, politik uang dan seterusnya," tuturnya.

Faktor keempat yaitu rendahnya kesadaran masyarakat kita itu untuk mengevaluasi politik dinasti. Hal itu lantaran pendidikan pemilih dengan pendidikan politik belum berjalan secara optimal.

"Terakhir akses informasi masyarakat itu rata-rata juga kurang baik di dalam mengenali siapa calonnya,  jadi kesadaran masyarakat yang rendah ini juga dikontribusikan oleh faktor-faktor lain," ucapnya.

Titi menyarankan agar regulasi pilkada yang diatur di dalam UU Pilkada dibenahi. Regulasi Pilkada itu diharapkan bisa memastikan tersedianya calon yang beragam. "Karena kalau calonnya beragam,  maka pilihan-pilihan itu lebih mungkin untuk dapat diperoleh oleh masyarakat," ucap. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler