PGRI Ingatkan tidak Coba-Coba Buat Aturan Sekolah Anak

Anak-anak tidak boleh dipaksa produktif belajar dari sekolah.

Antara/Jessica Helena Wuysang
Guru dan siswa melakukan simulasi kegiatan belajar tatap muka di SMPN 1 Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (7/8/2020). Simulasi yang dilakukan guru dan pegawai sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan tersebut merupakan salah satu persiapan untuk mengadakan kegiatan belajar tatap muka yang sehat serta bebas COVID-19.
Rep: Ali Mansur Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara menyoroti revisi surat keputusan bersama (SKB) empat menteri yakni Mendikbud, Menteri Kesehatan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri untuk memperbolehkan tatap muka di zona kuning. Menurutnya, sebuah kecerobohan yang dilakukan empat menteri bila sekolah di zona kuning dibolehkan melakukan tatap muka.

"Rasanya seperti dagelan dan sandiwara. Dalam benak saya, buat anak kok coba-coba. Saat ini Saya menerima dan membaca beberapa info anak didik yang terpapar dan staf sebuah cabang dinas pendidikan terpapar. Akankah kita spekulasi?" ujar Dudung dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Ahad (9/8).

Menurut Dudung, adaptasi kebiasan baru (AKB) identik dengan “modus” tersulit bagi pemerintah pada orang dewasa agar produktif. Produktivitas orang dewasa terkait ekonomi dan layanan publik  memang sangat dibutuhkan.

Bila masyarakat terus diam saja dan tidak produktif, pemerintah bisa kerepotan dan bahkan bisa jatuh. Secara politik bagi pemerintah kehidupan ekonomi apa pun situasinya, bagaimana pun caranya harus segera dihidupakan. "Masyarakat dipaksa berdampingan dengan Covid-19. Ini simalakama dan simalakarma. Mau tidak mau manusia dewasa dan sehat harus produktif menghasilkan sesuatu dalam situasi kondisi sulit, penuh ancaman wabah," tutur Dudung.

Dudung menilai orang dewasa harus produktif tapi anak-anak tidak diwajibkan produktif, termasuk produktif belajar. Sedangkan anak adalah anak. Ia adalah entitas yang harus dilayani, dilindungi, diprotek dari bahaya wabah. Menurutnya, menggiring anak tatap muka dan bergerak menuju sekolah di wilayah zona kuning adalah sebuah proses dengan risiko tinggi.

Dudung mencontohkan, Neneng Fitri Ekasari Kepala SLB Cahaya Gemilang Pertiwi Kabupaten Cianjur, termasuk sosok yang meragukan dan menolak pemberlakuan perluasan pembelajaran tatap muka untuk zona kuning. Ia menirukan Neneng mengatakan, mengapa seolah-olah melakukan uji coba kemanusiaan dengan mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan guru dan peserta didik di sekolah?

Dudung sepakat dengan penolakan Neneng Fitri  yang punya daya lindung pada anak didik dan guru-guru di sekolahnya, agar tidak terpapar Covid-19. Jangan sampai perluasan pembelajaran tatap muka di zona kuning malah jadi perluasan klaster yang bisa menimpa anak didik dan pendidik.

Pemberlakuan tatap muka di zona hijau masih bisa diterima walau pun tidak ada zaminan aman. Namun revisi SKB empat Menteri terkait perluasan pembelajaran tatap muka di zona kuning adalah spekulasi. "Buat anak kok coba-coba," katanya lagi.

Sebagai guru, kepala sekolah dan pengurus organisasi profesi guru, Dudung ikut meragukan pemberlakuan tatap muka di zona kuning. Dudung menegaskan, lost learning dan lost generation adalah  bagian dari risiko terpahit  yang harus diambil.

"Daripada kita harus menerima ribuan anak tergeletak di sejumlah rumah sakit demi learning dan menghindari lost generation. Hak hidup, hak selamat dan hak terhindar dari wabah lebih utama dari belajar tatap muka. Lanjutkan dahulu PJJ, lihat situasi dan kondisi," katanya.


Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler