Masyarakat Adat Dinilai Efektif Jaga Iklim Dunia

Masyarakat adat di Indonesia mampu melestarikan hutan seluas 574.119 hektare.

Dok. Pribadi/Herkulanus Sutomo Mana
Anggota masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik sedang berada di kawasan hutan adat mereka di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Hutan adat dengan luas sekitar 9.480 hektare itu telah mendapat pengakuan dari negara, lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 20 Mei 2020.
Rep: Rizkyan adiyudha Red: Budi Raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Project Officer KLIMA Yayasan Madani Berkelanjutan Yosi Amelia mengatakan, masyarakat adat memiliki peranan penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Menurutnya, prraktik-praktik arif masyarakat adat dalam menjaga hutan adat terbukti mampu menjaga hutan tetap lestari.

"Di tengah kebijakan sumber daya alam yang eksplotatif, masyarakat adat di Indonesia membuktikan mampu menjaga dan melestarikan hutan seluas 574.119 hektare," kata Yosi Amelia dalam diskusi online, Ahad (9/8).

Dia mengungkapkan, praktik-praktik menjaga hutan yang dilakukan masyarakat adat terbukti mampu menghentikan penurunan tutupan hutan dalam konteks perubahan iklim. Dia melanjutkan, hal tersebut pada akhirnya juga berkontribusi terhadap penurunan pemenuhan target Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dari pengurangan deforestasi hingga 34,6 persen.

Dia melanjutkan, kerja bersama berbagai pemangku kepentingan dalam penyelamatan hutan di wilayah adat sangat penting dilakukan. Dia mengatakan, hal itu guna memastikan pelaksanaan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dan 41 persen dengan bantuan internasional dapat terlaksana.

Mengacu pada data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) hingga Agustus 2020, telah terdaftar 863 peta wilayah adat dengan luas mencapai 11,09 juta hektar. Dari jumlah tersebut telah ada penetapan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat seluas 1,5 juta hektare melalui peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah.

Kepala BRWA Kasmita Widodo menerangkan bahwa konstitusi di Indonesia telah mengakui keberadaan masyarakat adat yang ada di nusantara. Kendati, dia mengakui bahwa pemerintah sampai saat ini tidak memiliki sistem administrasi masyarakat adat.

"Ketiadaan sistem administrasi masyarakat adat menimbulkan ketidakjelasan integrasi Peta Tematik Wilayah Adat dalam Kebijakan Satu Peta," katanya

Dia mengatakan, pemerintah daerah telah menetapkan keberadaan masyarakat adat. Namun, dia melanjutkan, peta-peta wilayah adat tidak dapat diintegrasikan dalam geoportal kebijakan satu peta karena tidak ada walidata peta tersebut di kementerian dan lembaga pemerintah.

Dia mengatakan, ketiadaan sistem administrasi itu mengakibatkan masyarakat adat, wilayah adat dan kearifan lokalnya tidak menjadi rujukan dalam keseluruhan sistem pengaturan tenurial dan perencanaan pembangunan. Akibatnya, sambung dia, masyarakat adat selalu dan akan menjadi korban pembangunan dan tidak terlindungi hak-haknya.

Disaat yang bersamaan, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengomentari pertumbuhan bisnis berbasis agraria yang berjaya di atas penyingkiran wilayah adat. Dia mengatakan, investasi borcorak kapitalistik yang masuk itu berpandangan bahwa masyarakat adat memiliki sistem ekonomi yang terbelakang, belum maju secara ekonomi modern.

Dia mengatakan, rencana investasi yang tak dibarengi dengan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat akan diikuti dengan konflik. Lanjutnya, hal tersebut akan berdampak pada adanya ketidakpastian usaha dan tambahan biaya-biaya yang dikeluarkan investor untuk merespon konflik yang terjadi.

"Investasi di wilayah adat adalah investasi dari masyarakat adat dan untuk masyarakat adat sendiri dalam rangka memajukan kemandirian berdasarkan perlindungan dan pengakuan wilayahnya," tegasnya.

Dia menilai, pengesahan RUU Masyarakat Adat memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan adat baik di ranah negara maupun di ranah masyarakat adat. Dia mengungkapkan, tradisi masih digunakan menjadi pembenaran atas perlakuan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan adat.

"RUU Masyarakat Adat perlu diletakkan sebagai landasan hukum yang mengikat Negara, Investasi dan Masyarakat Adat untuk memastikan interaksi dan praktik antarketiganya serta di dalam masyarakat adat itu sendiri didasarkan pada Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan," katanya.



Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler