Final Liga Champions, Sejarah PSG atau RB Leipzig?
PSG dan RB Leipzig belum pernah berlaga di final Liga Champions.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Israr Itah*
Sejarah sudah pasti tercipta pada final Liga Champions musim ini. Salah satu dari dua finalis akan merasakan sensasi pertama kali tampil di final Liga Champions yang tahun ini berlangsung Senin, 24 Agustus dini hari WIB, di Lisbon, Portugal.
Kepastian sejarah ini tercipta pada Jumat (14/8) dini hari WIB. RP Leipzig yang baru dua musim berpartisipasi di Liga Champions menembus semifinal setelah menyingkirkan Atletico Madrid. Di semifinal, Leipzig akan berhadapan dengan Paris Saint-Germain (PSG), tim yang prestasi tertingginya di kompetisi antarklub terelite Eropa ini hanya sekali mencapai empat besar pada musim 1994/1995.
Sejarah bisa tercipta lebih besar lagi jika Olympique Lyon atau Manchester City ikut melaju ke final. Prestasi tertinggi kedua tim ini juga hanya mencapai semifinal. Lyon dan City harus saling jegal untuk kemudian menyingkirkan pemenang laga Bayern Muenchen vs Barcelona di semifinal.
Nanti saja bicara Lyon dan City, mari fokus ke PSG dan RB Leipzig. PSG berubah menjadi tim raksasa di Prancis dan salah satu klub elite dunia setelah investor asal Qatar yang dikepalai Nasser Al-Khelaifi masuk pada 2012. Dengan uang berlimpah, PSG mendatangkan pelatih-pelatih serta pemain-pemain kelas dunia. Mulai dari Zlatan Ibrahimovic, Ezequiel Lavezzi, Javier Pastore, Edinson Cavani, hingga sekarang Neymar dibayar mahal untuk bisa berseragam Merah-Biru. David Beckham juga pernah mencicipi membela PSG sebelum gantung sepatu.
Di kursi pelatih, Carlo Ancelotti, Laurent Blanc, dan Unai Emery pernah merasakan kursi panas. Tapi belum ada yang bisa memenuhi keinginan sang pemilik untuk menjuarai Liga Champions.
Ada saja yang menghambat langkah PSG. Mulai dari undian berat di fase gugur sampai pemain kunci yang cedera pada laga-laga krusial. Sejak 2013 sampai 2016, PSG hanya mampu mencapai perempat final. Tiga musim terakhir lebih buruk, les Parisiens hanya tembus 16 besar. Barcelona, Chelsea, Real Madrid, dan Manchester United (MU) bergantian menghentikan langkah PSG.
Faktor minim pengalaman dan ekspektasi besar ditengarai menjadi faktor lain yang jadi pengganjal. Pada 2017 misalnya, PSG tersisih setelah menang besar 4-0 atas Barcelona pada leg pertama 16 besar. Di luar dugaan, Barcelona membantai PSG 6-1 pada leg kedua di Camp Nou. Ketika itu, para pemain PSG terlihat bermain tak lepas dan dalam tekanan, padahal memiliki keunggulan gol yang besar. Ketika Barcelona memasukkan gol demi gol, PSG panik dan akhirnya tersingkir secara tragis.
Atau saat PSG menang 2-0 melawan MU di Old Trafford, tahun lalu. PSG harusnya bisa lolos ke perempat final karena MU tak dalam performa terbaiknya. Siapa sangka, PSG kemudian tersungkur setelah takluk 1-3 di Parc des Princes. Kali ini, keputusan pengadil yang memberikan MU penalti pada menit akhir disoal. Tapi tetap saja, les Parisiens mengulang kesalahan dalam pemilihan taktik dan bermain dalam tekanan tinggi.
Nasib baik bagi pelatih Thomas Tuchel, ia tak dipecat. Mungkin manajemen melihat salah satu kegagalan tersebut akibat keputusan wasit yang merugikan timnya. Kepercayaan manajemen ini dibalas Tuchel tahun ini. Pelatih asal Jerman ini membawa timnya ke empat besar, menyamai catatan 15 tahun lalu. Tuchel juga dinaungi Dewi Fortuna, 'hanya' berhadapan dengan Borussia Dortmund di 16 besar dan meladeni Atalanta di perempat final. PSG sempat kesulitan menghadapi Atalanta, wakil Italia yang upah seluruh pemainnya setara dengan gaji Neymar di PSG. Untungnya comeback menit akhir membuat PSG bisa melaju ke empat besar dengan skor akhir 2-1.
Lawan PSG berbeda bumi dan langit. Tak ada sokongan dana berlebih di kubu RB Leipzig meskipun didukung sepenuhnya oleh perusahaan penghasil minuman berenergi Red Bull. Tim yang baru terbentuk pada Mei 2009 silam menapak dari bawah, membeli hak klub SSV Markranstadt. Mereka segera mengubah nama, warna, dan lambang klub. Musim 2016/2017 Leipzig akhirnya mentas di Bundesliga dan dimusuhi sejumlah fan klub lain. Sebab, RB Leipzig dianggap bisa mengakali sejumlah aturan untuk bisa tampil di kompetisi papan atas.
RB Leipzig dituduh kepanjangan tangan perusahaan minuman energi asal Austria, Red Bull, untuk menjual produknya. RB Leipzig dianggap merusak nilai-nilai sepak bola Jerman yang berpegang kuat pada tradisi dan keberpihakan pada para suporternya.
Di Jerman, klub diwajibkan mematuhi kebijakan 50+1, di mana mayoritas saham harus dimiliki oleh anggota klub. RB Leipzig mengakalinya dengan 'memasang' 17 orang untuk menjadi anggota klub. Para anggota ini membayar 1.000 euro per tahun ke klub. Diduga, 17 orang ini terafiliasi ke Red Bull. Bandingkan dengan Bayern Muenchen yang memiliki 224 ribu anggota klub dan hanya perlu membayar 60 euro per orang setiap tahun.
Makanya, sempat terjadi penolakan kepada tim ini. Mulai dari spanduk bertuliskan 'Anti RB' sampai potongan kepala banteng yang berlumuran darah menyambut para pemain RB Leipzig. Banteng merupakan logo klub sekaligus minuman energi Red Bull.
Terlepas dari kontroversi itu, manajemen RB Leipzig pantas diacungi jempol. Mereka menerapkan kebijakan merekrut pemain muda berkualitas atau berharga murah. RB Leipzig menghasilkan dana besar dari penjualan pemain. Salah satu contoh ketika Leipzig mendatangkan Timo Werner dari Stuttgart dengan mahar 14 juta euro. Kini Werner sudah dilepas ke Chelsea seharga 53 juta euro.
Sebelumnya ada Naby Keita. Pada 2016 lalu, Leipzig mengeuarkan dana 29 juta euro guna membeli Keita. Saat dilepas ke Liverpool, sang gelandang membuat the Red Bulls mengantongi uang sebesar 60 juta euro.
Manajemen juga jeli menempatkan sosok yang cocok menangani tim. Ralf Rangnick dan Ralph Hassenhuettl menjadikan RB Leipzig disegani di Bundesliga dan menghasilkan bintang-bintang baru. Puncaknya, saat manajemen menunjuk pelatih muda berusia 32 tahun bernama Julian Nagelssman pada Juli 2019. Pada musim debutnya, RB Leipzig dibawa finis ketiga di Bundesliga dan semifinal Liga Champions.
Pada semifinal awal pekan depan, Nagelsmann akan menghadapi mentornya. Nagelsmann pernah menjadi tim pemandu bakat oleh Thomas Tuchel ketika melatih tim kedua Augsburg pada 2008. Keduanya sangat mengenal dan mengetahui filosofi masing-masing.
Menarik dinanti pertemuan guru-murid yang sama-sama gemar permainan menyerang serta serunya menyaksikan pertarungan tim bertabur bintang di PSG melawan permainan kolektif mengandalkan energi tak kenal lelah barisan pemain 'kelas dua' di RB Leipzig. Menurut Anda, tim kaya ataukah tim hemat penuh akal yang jadi pemenang?
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id