Udara Kering Jadi Tempat Berkembang Biak Virus Corona

Faktor kelembapan adalah faktor kunci dalam penyebaran virus corona jenis baru.

CDC via AP, File
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.
Rep: Puti Almas Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai penelitian terhadap virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan infeksi penyakit Covid-19 dan menjadi pandemi sejak awal tahun ini terus berlangsung. Tak terkecuali mengenai hubungan antara kondisi cuaca dengan potensi perkembangbiakan virus.

Dilansir Health 24, studi pertama diterbitkan dalam Rapid Communication, berfokus pada wilayah Greater Sydney dan menemukan hubungan antara kelembapan yang lebih rendah atau udara yang lebih kering. Kemudian, peneliti mempelajari peningkatan penularan virus di komunitas.

Kemudian studi kedua, diterbitkan dalam Transboundary and Emerging Diseases pada pekan ini dan dilakukan oleh tim peneliti yang sama, mengonfirmasi risiko tersebut. Diketahui bahwa tingkat kelembapan yang rendah menyebabkan peningkatan transmisi virus.

Penelitian tersebut dipimpin oleh Michael Ward, seorang ahli epidemiologi di Sydney School of Veterinary Science, Universitas Sydney dan dua peneliti dari lembaga mitra mereka, yaitu Fudan University School of Public Health di Shanghai, China. Studi yang dipublikasikan dan ditinjau sejawat ini adalah yang kedua untuk menyelidiki kondisi cuaca dan penularan virus di Australia, dan menemukan berkurangnya kelembapan di beberapa wilayah berbeda di Sydney yang secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan jumlah kasus.

Namun, hubungan yang sama tidak ditemukan untuk faktor cuaca lainnya, termasuk curah hujan, suhu, dan angin. Dalam pernyataan tim peneliti, studi kedua ini dikatakan menambah bukti yang berkembang bahwa kelembapan adalah faktor kunci dalam penyebaran virus corona jenis baru.

Udara kering tampaknya mendukung penyebaran virus corona jenis baru, yang berarti waktu dan tempat menjadi penting. Bukti yang terkumpul dalam studi menunjukkan bahwa iklim adalah faktor dalam meningkatkan kemungkinan wabah penyakit musiman.

Tim peneliti memperkirakan bahwa akibat penurunan kelembapan relatif sebesar satu persen, membuat penularan SARS-CoV-2 dapat meningkat sebesar hingga tujuh sampai delapan persen. Inilah yang menjelaskan mengapa tingkat kelembapan rendah membuat tranmisi menjadi lebih tinggi.

“Saat kelembapan lebih rendah, udaranya lebih kering dan membuat aerosol mengecil,” ujar Ward.

Virus corona jenis baru telah dipastikan menyebar melalui tetesan (droplet) pernapasan, sementara penularan lewat udara (aerosol) masih diperdebatkan oleh para ilmuwan. Ini menjelaskan bahwa tetesan lebih besar dari aerosol dan menempuh jarak yang relatif pendek, sedangkan aerosol dapat terakumulasi di area yang berventilasi buruk dan terbawa arus udara.

"Saat Anda bersin dan batuk, aerosol infeksius yang lebih kecil itu dapat bertahan di udara lebih lama. Itu meningkatkan keterpaparan pada orang lain. Ketika udara lembap dan aerosol lebih besar dan berat, mereka jatuh dan menghantam permukaan lebih cepat," jelas Ward.

Karena itu, memakai masker merupakan salah satu intervensi nonfarmasi (NPI) yang telah diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk menurunkan tingkat penyebaran infeksi virus corona jenis baru. Dalam bukti terbaru, ini adalah alasan lain yang mendukung NPI.

"Ini menunjukkan perlunya orang memakai masker, baik untuk mencegah aerosol yang menular keluar ke udara dalam kasus individu yang terinfeksi, dan paparan aerosol yang menular dalam kasus individu yang tidak terinfeksi," kata Ward.

Para penulis mendorong penelitian lebih lanjut tentang kelembapan udara terkait virus corona jenis baru. Ini diperlukan untuk menentukan bagaimana hubungan kelembapan bekerja dan sejauh mana hal itu mendorong tingkat kasus Covid-19.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler