Sri Mulyani: Tren Pemulihan Ekonomi Masih Rapuh

Beberapa indikator ekonomi tumbuh negatif.

ANTARA/PUSPA PERWITASARI
Menteri Keuangan, Sri Mulyani
Rep: Adinda Pryanka Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, tren pemulihan ekonomi masih sangat rapuh. Bahkan, ia menyebutkan, adanya potensi pembalikan ke zona negatif atau arah pemburukan.

Hal ini terlihat dari beberapa indikator ekonomi seperti pertumbuhan konsumsi listrik dan Pajak Penghasilan (PPh) 21 atau pajak karyawan yang tumbuh negatif.

Baca Juga



Sri menjelaskan, pembalikan ke arah pemburukan dikarenakan beberapa kegiatan masyarakat dan ekonomi yang ternyata tidak mengalami akselerasi cepat pada Juli. Situasi ini membuat pemerintah berhati-hati terhadap potensi pertumbuhan ekonomi ke arah negatif.

Sri menyebutkan, kerja keras dan sinergi antara pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mendorong ekonomi untuk tumbuh, setidaknya pada zona nol persen atau netral. "Kita masih struggle untuk bisa recover pada zona netral," tuturnya dalam paparan kinerja APBN secara virtual pada Selasa (25/8).

Dalam paparannya, Sri mencatat, pertumbuhan konsumsi listrik pada Juli tumbuh negatif dua persen dibandingkan tahun lalu (yoy). Realisasi ini memburuk dibandingkan pertumbuhan pada Juni yang mampu tumbuh positif 5,4 persen.

Sri mengatakan, penurunan tersebut harus diwaspadai mengingat pertumbuhan konsumsi listrik menggambarkan kegiatan masyarakat. Kontraksi mengindikasikan adanya pelambatan atau penurunan pada aktivitas ekonomi maupun sosial masyarakat.

Di sisi lain, kinerja ekspor mengalami pertumbuhan yang flat atau menggambarkan tidak adanya pemulihan lagi pada Juli. Situasi lebih buruk dialami kinerja impor yang mengalami pertumbuhan negatif pada bulan lalu.

Indikator lain yang menggambarkan rapuhnya tren pemulihan ekonomi adalah PPh karyawan. Pada Juni, jenis pajak ini sempat tumbuh positif 12,28 persen. Pembalikan terjadi pada Juli, ketika PPh karyawan mengalami kontraksi hingga minus 20,3 persen. “Ini adalah satu hal yang sangat harus diwaspadai,” ujar Sri.

Begitupun dengan PPh badan yang kontraksi 45,55 persen pada akhir Juli. Padahal, pada Juni, tingkat kontraksinya sudah berada pada level 38 persen. Sri menuturkan, realisasi ini menggambarkan tekanan luar biasa yang masih dialami korporasi Indonesia.

Dari sektoral, industri perdagangan menunjukkan tren pelemahan. Penerimaan pajak pada sektor ini mengalami tekanan lebih dalam dari kontraksi 19,93 persen pada Juni menjadi negatif 27,34 persen pada Juli.

Realisasi tersebut menggambarkan, kegiatan perdagangan pada Juni ternyata tidak pulih secara stabil dan robust seperti yang diharapkan. "Kita harus waspadai kegiatan perdagangan yang ada hubungannya dengan konsumsi masyarakat ini," ujar Sri.

Indikator lain yang disebutkan Sri adalah impor bahan baku. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku pada Juli tumbuh negatif 34,46 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan Juni yang kontraksi 13,27 persen (yoy).

Sri mengatakan, sejumlah indikator tersebut menggambarkan, tren pemulihan di sektor produksi masih belum berjalan dengan stabil. "Mereka masih dalam tahap dini untuk melihat, apakah tren ekonomi menuju zona positif," tuturnya.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler