Puasa Asyura tapi Punya Utang Ramadhan, Bagaimana Hukumnya?
Bagaimana hukum puasa Asyura tapi masih punya utang puasa Ramadhan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Puasa asyura dilakukan setiap datang tanggal 10 Muharram.
Lalu bagaimana jika kita belum membayar hutang puasa Ramadhan dan ingin melakukan puasa sunnah Asyura. Terkait hal ini, ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang melarang.
Dikutip dari buku Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi karya Ahmad Zarkasih, menurut madzhab al-Hanafiyah dan al-Syafi’iiyah, puasa asyura boleh dilakukan meskipun orang tersebut masih memiliki utang puasa Ramadhan yang belum dibayar.
Pendapat ini didasarkan bahwa qadha’ Ramadhan hukumnya adalah wajib, akan tetapi kewajiban qadha’ Ramadhan itu sifatnya 'ala al-tarakhi yang artinya boleh menunda. Karena waktu qadha’ Ramadhan itu panjang, yaitu sejak masuk bulan syawal sampai berakhirnya bulan sya’ban di tahun selanjutnya.
Artinya kewajiban qadha’ Ramadhan itu bukan kewajiban yang sifatnya ‘ala al-Faur (bersegera), akan tetapi boleh menunda. Dalam ilmu ushul Fiqh, disebut dengan istilah wajib Muwassa’ yaitu kewajiban yang waktunya panjang. Dalam syariah, wajib muwassa’ ini adalah kewajiban yang boleh ditinggalkan dengan syarat ada azam untuk melakukannya di kemudian hari sampai batas akhir waktunya, seperti shalat lima waktu.
Shalat zuhur misalnya, waktu mulai wajib shalat zuhur itu (kebiasaan di Indonesia) sekitar pukul 12.00 WIB sampai 15.30 WIB. Karena waktu shalat zuhur yang cukup panjang, yaitu sekitar tiga jam setengah sehingga seorang muslim boleh meninggalkan sholat zuhur di jam 12.00 wib, dan dia tidak berdosa dengan syarat dia harus berazam mengerjakannya di waktu selanjutnya, misalnya pukul 13.00 wib.
Begitu juga Qadha puasa Ramadhan, yang memang waktunya panjang hingga sebelum masuk Ramadhan tahun berikutnya. Artinya ada 11 bulan yang disiapkan Allah swt untuk membayar hutang Ramadhan tersebut.
Sedangkan menurut Madzhab al-Malikiyah, puasa sunnah bagi yang belum membayar hutang Ramadhan maka hukumnya makruh. Artinya masih tetap boleh melakukan, dan sah puasanya, hanya saja akan jauh lebih baik dan lebih berpahala baginya jika ia mengerjakan membayar qadha’ Ramadhan terlebih dahulu.
Kemakruhan tersebut ada karena memang ia menunda-nunda kewajiban yang memang sudah dibebankan kepadanya serta tidak menyegerakannya. Padahal sejatinya kewajiban itu harus disegerakan.
Terakhir, menurut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal puasa sunnah hanya boleh dikerjakan oleh mereka yang sudah membayar hutang puasa Ramadhan. Sehingga mereka yang masih punya hutang kewajiban Ramadhan, tidak ada kesunahan puasa sunnah, justru itu menjadi keharaman.
Artinya orang yang berpuasa sunnah, baik itu syawal ataupun yang lainnya sedangkan ia masih punya hutang kewajiban Ramadhan, ia berdosa dan tidak sah puasa sunnahnya tersebut. Hal ini berdasarkan hadits :
"Siapa yang berpuasa sunnah sedangkan ia punya kewajiban Ramadhan yang belum ditunaikan, maka puasa terserbut tidak diterima sampai ia menunaikan kewajiban puasa ramadhannya," (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya)
Namun hadits ini sendiri berstatus Matruk, yaitu salah satu bagian dari hadits dhaif. Karena itu tidak bisa berargumen dengan hadits ini karena kedhaifannya. Dan ini (dhaifnya hadits) diakui oleh para ulama madzhab al-Hanabilah dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Ibnu Qudamah (al-Mughnu 3/154), dan juga Imam al-Buhuti (Kasyaful-Qina’ 2/334).