Riwayat Sa’ad Bin Khaulah: Sahabat yang Dikasihani Nabi SAW
Sa’ad Bin Khaulah wafat di Makkah setelah ia hijrah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sa’ad bin Khaulah adalah seorang sahabat nabi Muhammad SAW yang berasal dari suku Quraisy, tepatnya bani Amir. Ia merupakan keturunan dari Bani Malik bin Hasl bin Amir bin Lu’ai.
Dikatakan pula ia adalah sekutu mereka, dan yang lainnya berpendapat bahwa ia adalah seorang budak dari Ibnu Abi Ruhmin bin Abdul Uzza Al-Amiri. Ibnu Hisyam mengatakan: “Ia adalah orang Persia yang berasal dari negeri Yaman sekutu Bani Amir,” dan ia digelari dengan sebutan Abi Said.
Adapun mayoritas para pakar sejarah dan Ibnu Tiin serta para ahli hadits mengatakan bahwa ia bernama Ibnu Khaulah, berbeda dengan Abu Mi’syar yang berpendapat bahwa namanya ialah Ibnu Khauli. Ibnu Mundah membedakan antara Sa’ad bin Khaulah dan Sa’ad bin Khauli.
Oleh karena itu ia telah menulis biografi kedua orang tersebut secara berbeda. Adapun opini yang paling tepat adalah perkataannya Abu Nu’aim, beliau meyakini bahwa dua nama tersebut di miliki oleh satu orang yang sama. Sebagaimana perkataannya Imam Ibnu Asir Al-jazariy:
“Saya mengatakan bahwa opini yang paling benar adalah perkataannya Abu Nu’aim, mereka adalah orang yang sama walau dengan nama yang berbeda. Dan saya tidak tahu, mengapa para pakar sejarah menjadikannya dua orang yang berbeda. Mereka memiliki adat dalam menentukan nasab seseorang dengan mengedepankan perkiraan dan prasangka mereka sendiri.”
Dengan ini dapat dipahami bahwa apa yang menjadi opini dari Ibnu Mundah dan Abu Umar yang menyatakan kedua nama tersebut adalah orang yang berbeda, ini masih belum jelas. Sedang perkataannya Abu Musa bahwa ia adalah dua nama yang berbeda namun dengan orang yang sama, yaitu Sa’ad bin Khaulah. Sedangkan yang dinukil dari Urwah namanya ialah Sa’ad bin Khauli.
Oleh karena itu, sudah banyak riwayat yang telah disebutkan untuk menentang perkataannya Urwah. Dan yang paling utama dalam perkara ini ialah bersandar dan meyakini perkataan selainnya, Wallahu ‘alam.”
Sa’ad bin Khaulah termasuk golongan orang-orang terdahulu yang masuk ke dalam agama Islam. Dan ia juga adalah orang yang telah berhijrah ke negeri Habasyah pada tahun ke-dua Hijriyyah dalam riwayat Muhammad bin Ishaq dan Muhammad bin Umar, sedang dalam riwayat Musa bin Uqbah dan Abu Misyar belum menyebutkannya. Sa’ad bin Khaulah telah ikut serta dan berperan dalam perang Badar ketika ia berumur 25 tahun, begitu juga telah menyaksikan perang Uhud, Khandaq, dan perjanjian Hudaibiyah.
Ia adalah seorang suami dari Subai’ah Al-Aslamiyah, dan ia wafat dalam peristiwa Haji wada’ (perpisahan) ketika istrinya sedang mengandung. Setelah beberapa hari, atau ada yang mengatakan satu bulan, atau dua puluh lima hari dari hari kewafatannya, istrinya melahirkan. Selepas itu, ia datang menemui Rasulullah SAW seraya menjelaskan keadaannya, maka Rasulullah SAW berkata padanya:
“Sungguh sekarang kamu sudah dalam keadaan halal, maka menikahlah sesuka-Mu.”
أخبرنا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد الفقيه وغيره قالوا: أخبرنا أبو الفتح الكروخي بإسناده إلى أبي عيسى محمد بن عيسى السلمي، حدثنا ابن أبي عمر، أخبرنا سفيان، عن الزهري، عن عامر بن سعد بن أبي وقاص، عن أبيه قال: مرضت عام الفتح مرضاً أشفيت منه على الموت، فأتاني رسول الله صلى الله عليه وسلم يعودني، فقلت: يا رسول الله، إن لي مالاً كثيراً وليس يرثني إلا ابنتي، أفأوصي بمالي كله؟ وذكر الحديث إلى أن قال: قلت: يا رسول الله، أخلف عن هجرتي؟ قال: ” إنك لن تخلف بعدي، فتعمل عملاً تريد به وجه الله تعالى إلا ازددت به رفعةً ودرجةً اللهم امض لأصحابي هجرتهم، ولا تردهم على أعقابهم ” ، لكن البائس سعد ابن خولة! ” يرثي له رسول صلى الله عليه وسلم أن مات بمكة.
Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al-faqih mengabarkan kepada kita, mereka berkata: “Abu Fath Al-Karukhi telah mengabarkan kepada kita dengan sanadnya yang sampai hingga Abu Isa Muhammad bin Isa As-silmiy, Ibnu Abi Umar telah menceritakannya kepada kita, Sufyan telah mengabarkan kepada kita dari Zuhri dan ia mendapatkannya dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqash dari ayahandanya berkata:
“Ketika pembebasan kota Makkah, aku tertimpa penyakit yang amat mengenaskan sehingga aku merasakan bahwa ajal telah datang mendekat, maka datanglah Rasulullah SAW menjengukku di kota tersebut. Aku berkata kepada beliau:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki banyak harta dan aku tidak memiliki ahli waris kecuali satu orang perempuan saja, apakah boleh aku wasiatkan seluruh hartaku ini untuknya?
Hadits ini berlanjut hingga perkataan: Aku (Sa’ad bin Abi Waqash) berkata: “Wahai Rasulullah, apakah aku harus meninggalkan hijrah yang telah ku lakukan?”
Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya kamu tidak akan meninggalkannya setelah-ku, maka dari itu berbuat amal shalihlah untuk mendapatkan ridho-nya Allah SWT, karena tidaklah engkau berbuat seperti itu melainkan akan mendapatkan kemuliaan dan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.” Kemudian beliau mendoakan:
“Ya Allah, teruskanlah perjuangan untuk para sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka, dan janganlah engkau kembalikan mereka kepada tempat asal mereka berpijak di muka bumi ini, akan tetapi orang yang sangat disayangkan (البائس) adalah Sa’ad bin Khaulah,”
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW merasa iba dengan apa yang terjadi dengan Sa’ad bin Khaulah karena ia wafat di Makkah. Definisi perkataan (البائس) jika diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki makna orang yang tertimpa pengaruh berbahaya, yaitu fakir dan sedikit.
Imam Mubarakfuri mengatakan: “Kalimat (البائس) ialah orang yang tertimpa dharar yang mengandung makna cacian dan kasih sayang, dikatakan bahwa barangsiapa yang meyakini Sa’ad bin Khaulah belum melakukan hijrah dari Makkah hingga ia wafat maka ini merupakan cacian terhadapnya. Sedangkan barangsiapa yang meyakini bahwa ia telah melakukan hijrah kemudian ia kembali ke Makkah pada peristiwa haji wada’ (haji perpisahan) dan wafat setelah itu, maka ini adalah bentuk dari kasih sayang kepadanya.
Dalam hadits ini, terdapat isykal (permasalahan) sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits ubay bin Abi aufa ‘mengatakan:
“Nabi SAW melarang kami untuk meratapi (mayyit)”, hadits ini di shohihkan oleh imam Hakim. Dari konteks tersebut, timbul pertanyaan. Jika nabi Muhammad SAW melarang hal itu maka mengapa nabi malah melakukan apa yang telah ia larang? Maka dari sini, para ulama telah menjawabnya dengan beberapa pernyataan:
1) Sesungguhnya apa yang nabi katakan tentang Sa’ad bin Khaulah ketika itu tidaklah bisa disebut sebagai ratapan, akan tetapi itu merupakan tanda kasih sayang nabi kepadanya karena ia wafat di kota Makkah setelah ia hijrah dari kota tersebut. Dan ini adalah bentuk kesedihan Rasulullah SAW kepadanya.
2) Sesungguhnya yang meratapi wafat nya Sa’ad bin Khaulah bukanlah nabi Muhammad SAW, tetapi orang lain. Imam Ibnu Hajar Al-Asqolaniy mengatakan:
“Dan mungkin apa yang dimaksud oleh Imam Bukhari di sini adalah intinya apa yang terjadi kepada nabi Muhammad SAW ketika itu ialah merupakan bentuk dari rasa sedih dan peduli, dan ini hukumnya boleh secara syariat. Dengan demikian, hal ini tidak bertentangan dengan hadits nabi yang melarang untuk meratapi seseorang yang sudah meninggal yaitu dengan cara menyebutkan sifat-sifat si mayyit agar membangkitkan rasa kesedihan dan rasa sakit yang mendalam bagi orang-orang yang di tinggalkannya sehingga mereka tidak rela akan kepergian si mayyit tersebut.”
Penjelasan ini di tahkrij oleh imam Ahmad dan imam Ibnu Majah yang di shahihkan oleh imam Hakim dari hadits Abdullah bin Abi Aufa’, yaitu: “Rasulullah SAW melarang kami untuk meratapi (mayyit),” Sedangkan menurut Ibnu Abi Syaibah menggunakan lafadz yang bermakna “Beliau melarang kami untuk saling meratapi”. Dan tidak diragukan lagi jika kedua perkara tersebut digabungkan maka akan menghasilkan makna sakit dan kesedihan.
Imam Al-ainiy berkata: “Bukanlah maksud dari biografi yang telah di paparkan ini termasuk permasalahan akan perkara yang dilarang nabi, namun ini merupakan bentuk kasih sayang nabi Muhammad SAW kepada sahabat Sa’ad bin Khaulah karena ia meninggal di kota Makkah setelah ia melakukan hijrah dari kota tersebut.”
Seakan-akan nabi merasakan sakit dan kesedihan yang amat mendalam dari kejadian yang tertimpa kepada Sa’ad bin Khaulah. Hal ini seperti perkataan yang disampaikan kepada seseorang yang masih hidup “Saya mengasihani kamu atas apa yang terjadi dengan dirimu” oleh karenanya, ini bisa disebut sebagai sesuatu yang menyedihkan. Imam Qurtubiy menyebutkan bahwa yang menyatakan Rasulullah SAW meratapi keadaan sayyidina Sa’ad bin Khaulah bukanlah nabi, akan tetapi sayyidina Sa’ad bin Abi Waqash. Namun pendapat yang paling kuat bahwa itu merupakan perkataan dari imam Zuhri.
Imam Mubarakfuri mengatakan: “Maka jawaban dari ratapan yang dilarang oleh Rasulullah SAW ialah dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan si mayyit yang mampu membangkitkan rasa sedih dan sakit yang amat mendalam sehingga orang-orang yang ditinggalkannya belum sepenuhnya ikhlas atas kepergian si mayyit tersebut, atau dengan menyebutkan bagaimana muamalahnya dengan masyarakat atau dengan orang banyak. Adapun yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW adalah bentuk kesedihan karena ia meninggal di Makkah setelah hijah dari kota tersebut sebelum pembebasan kota Makkah, bukan karena pujian kepada si mayyit yang membangkitkan rasa kesedihan.” Begitulah sebagaimana yang disebutkan oleh imam Qosthalan.
Tidak ada perbedaan pendapat kapan dan waktu wafatnya sayyidina Sa’ad bin Khaulah, ia wafat di kota Makkah pada peristiwa haji wada’, kecuali apa yang disebutkan oleh imam Thabari Muhammad bin Jarir, beliau mengatakan: Sa’ad bin Khaulah wafat pada tanggal 7 hijriyah. Adapun yang paling benar menurut para jumhur ulama ialah yang disebutkan oleh Muammar dari Zuhri dari Ubaidillah dari Abdullah dari Utbah bin Mas’ud dari ayahnya yang berkata: Ia meninggal pada peristiwa haji wada’.
Faisal Dzikri, PCIM Yaman, Alumni Pesantren Modern Daarul ‘Uluum Lido, Bogor