Gencatan Senjata dan Tanda Kekalahan Israel
Israel gagal di hampir semua sektor.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Dari segi korban jiwa, tak terbilang jumlah syuhada akibat agresi brutal Israel di Jalur Gaza selama 460 hari belakangan. Tapi menurut banyak parameter, gencatan senjata yang tercapai semalam sedianya adalah kekalahan Israel.
Dalam banyak hal, hampir semua tujuan agresi Israel ke Gaza sejak serangan mengejutkan pejuang Palestina pada Oktober 2023 lalu tak ada yang berhasil terwujudkan. Utamanya, soal sesumbar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menghabisi para pejuang Palestina.
Israel berulang kali mengeklaim telah “membersihkan” wilayah tertentu di Gaza hanya untuk kemudian mengalami serangan pejuang di wilayah tersebut. Kerugian Israel di utara Gaza jadi contoh nyata fenomena tersebut.
Pada Oktober tahun lalu, IDF mulai membombardir wilayah tersebut untuk menghabisi pejuang sembari membunuhi warga sipil. Sedikitnya 5.000 orang dibunuh Israel sejak Oktober hingga belakangan ini. Begitupun, Jabaliya tetap jadi kuburan tentara Israel. Prajurit dan perwira pasukan penjajah terus berguguran diserang pejuang di wilayah itu.
Hal serupa terjadi di Beit Hanoun di Gaza utara. Lima belas bulan yang lalu, kota ini merupakan kota pertama di Gaza yang diduduki oleh pasukan Israel. Militer Israel menilai kota tersebut memiliki batalyon Hamas yang paling lemah.
Namun setelah gelombang demi gelombang operasi militer, yang masing-masing seharusnya “membersihkan” kota pejuang Hamas, Beit Hanoun ternyata telah menimbulkan salah satu konsentrasi korban militer Israel yang paling besar.
Jurnalis senior David Hearst menuliskan di Middle East Eye bahwa Hamas terus bangkit dari reruntuhan untuk melawan, mengubah Beit Hanoun menjadi ladang ranjau bagi tentara Israel. Sejak peluncuran operasi militer terbaru di Gaza utara, 55 perwira dan tentara Israel tewas di sektor ini, 15 di antaranya di Beit Hanoun dalam seminggu terakhir saja.
Jika ada tentara yang berdarah-darah dan kelelahan saat ini, menurut Hearst itu adalah tentara Israel. Fakta militer yang nyata dalam kehidupan di Gaza adalah, 15 bulan setalah agresi,, Hamas dapat merekrut dan melakukan regenerasi lebih cepat daripada kemampuan Israel membunuh para pemimpin atau pejuangnya.
“Kita berada dalam situasi di mana kecepatan Hamas dalam membangun kembali dirinya lebih tinggi dibandingkan kecepatan pembasmian oleh tentara Israel,” kata Amir Avivi, pensiunan brigadir jenderal Israel, kepada Wall Street Journal. Dia menambahkan bahwa Muhammad Sinwar, adik dari pemimpin Hamas yang terbunuh, Yahya Sinwar, “mengatur segalanya”.
Utara Gaza menjadi contoh nyata bahwa jumlah korban sipil yang ditimbulkan Israel bukan tanda kemenangan pasukan Zionis. Karena dalam prinsip perang perlawanan kemerdekaan secara gerilya, pasukan perlawanan dianggap menang selama mereka tak bisa dimusnahkan. Bertahannya para pejuang dan warga Gaza sejauh ini adalah kekalahan bagi Israel.
Di Gaza, tekad rakyat Palestina untuk tetap tinggal di tanah mereka – meski tanahnya sudah hancur menjadi puing-puing – terbukti menjadi faktor penentu dalam perang ini. “Dan ini merupakan prestasi yang luar biasa, mengingat wilayah seluas 360 kilometer persegi itu sepenuhnya terputus dari dunia luar, tanpa sekutu yang bisa menghentikan pengepungan dan tidak ada medan alami untuk berlindung,” tulis David Hearst.
Pencaplokan gagal...
Tujuan Israel yang juga gagal adalah upaya mencaplok kembali Jalur Gaza. Usaha ini mengemuka saat pada Oktober Netanyahu mendukung Rencana Jenderal, yang bertujuan untuk mengosongkan Gaza utara sebagai persiapan untuk pemukiman kembali oleh orang Israel. Rencananya adalah membuat penduduk Gaza utara kelaparan dan mengebom dengan menyatakan bahwa siapapun yang tidak pergi secara sukarela akan diperlakukan sebagai teroris.
Bagaimanapun, kelaparan yang dipaksakan, hipotermia, penyakit, atau kebrutalan dan pemerkosaan massal di tangan penjajah, tidak dapat mematahkan keinginan mereka untuk tetap tinggal di tanah mereka. “Belum pernah para pejuang dan warga sipil Palestina menunjukkan tingkat perlawanan seperti ini sepanjang sejarah konflik – dan hal ini bisa menjadi sebuah hal yang transformatif,” kata Hearst.
Pada akhirnya, dalam kesepakatan gencatan senjata, Israel bersedia secara bertahap mundur dari seluruh wilayah Gaza. Tak hanya itu, disepakati juga bahwa penduduk Gaza Utara yang diusir bisa kembali ke rumah-rumah mereka.
Syarat penarikan pasukan itu berulang kali membuat gagal gencatan senjata. Netanyahu bersikeras bahwa syarat itu tak akan ia setujui dan pasukan Israel akan terus berada di Gaza. Berulang kali seruan dari Presiden Joe Biden agar gencatan senjata disepakati tak digubris.
Netanyahu akhirnya keok saat presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump mengirimkan utusan khusus Timur Tengah Presiden terpilih AS Donald Trump, Steve Witkoff. Setelah satu pertemuan, garis merah yang dipertahankan Netanyahu selama 15 bulan terhapus.
Seperti yang dikatakan oleh pakar Israel, Erel Segal: “Kami adalah pihak pertama yang menanggung akibatnya atas terpilihnya Trump. [Kesepakatan] dipaksakan kepada kami… Kami pikir kami akan menguasai Gaza utara, sehingga mereka membiarkan kami menghalangi bantuan kemanusiaan.”
Hal ini muncul sebagai sebuah konsensus. Suasana di Israel skeptis terhadap klaim kemenangan. “Tidak perlu menutup-nutupi kenyataan: gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera berdampak buruk bagi Israel, namun Israel tidak punya pilihan selain menerimanya,” tulis kolumnis Yossi Yehoshua di Ynet.
Draf perjanjian gencatan senjata yang beredar dengan jelas menyatakan bahwa Israel akan menarik diri dari Koridor Philadelphi dan Koridor Netzarim pada akhir proses, ketentuan yang sebelumnya ditolak Netanyahu.
Times of Israel melansir, ada tekanan kuat dari administrasi Trump terhadap Netanyahu. Yang paling mungkin adalah soal bantuan senjata. Seorang pejabat senior Angkatan Udara Israel mengakui bahwa pesawat akan kehabisan bom dalam beberapa bulan jika tidak disuplai kembali oleh AS.
Kekalahan global...
Secara global, citra Israel benar-benar babak belur. Berlangkali pemungutan suara di Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB, Israel sendirian bersama sekutu utamanya AS dan sejumlah negara-negara kecil melawan kecaman global.
Saat serangan Topan al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 terjadi, simpati dunia masih ada yang mengalir ke Israel. 15 bulan kemudian, serangan brutal Gaza yang menewaskan 46 ribu jiwa kebanyakan anak-anak dan perempuan membuat Israel menjadi pariah.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Yoav Galant diburu Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Sementara seribu tentara Israel terbatas pergerakannya karena diburu tuntutan kejahatan perang di mancanegara.
Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan pada 2024 bahwa penjajahan Israel ilegal dan mereka harus menarik diri dari wilayah Palestina yang diduduki. Warga Palestina juga harus dikembalikan ke tanah-tanah mereka di wilayah Palestina historis. Negara-negara Eropa seperti Irlandia, Spanyol, Norwegia, Moldova, Armenia, menambah panjang pihak yang mengakui kedaulatan Palestina.
Sementara di kalangan anak-anak muda di seluruh dunia, bahkan di negara-negara sekutu Israel, seruannya serupa: Israel adalah pelaku genosida. Mereka harus dihukum atas kejahatan yang dilakukan tentara dan pejabatnya di Gaza. dan Palestia harus merdeka “dari sungai hingga samudra!”