Tekan Emisi Gas, Indonesia Dapat Kucuran Dana Rp 1,5 Triliun

Salah satu kinerja paling signifikan terlihat pada penurunan laju deforestasi.

Antara/Wahdi Septiawan
Indonesia mendapatkan pengakuan dari komunitas global atas keberhasilan pengurangan emisi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Pengakuan tersebut berupa persetujuan dari Global Climate Fund (GCF) untuk mengucurkan dana 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun
Rep: Adinda Pryanka Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia mendapatkan pengakuan dari komunitas global atas keberhasilan pengurangan emisi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Pengakuan tersebut berupa persetujuan dari Global Climate Fund (GCF) untuk mengucurkan dana 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun (1 dolar AS = Rp 14.700).


Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, pembiayaan itu didapatkan dengan skema Result Based Payment (RBP)  atau pembayaran berbasis hasil kinerja terhadap program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation+ (REDD+).

"Hal ini menjadi bukti komitmen dan kinerja Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim," ujar Siti dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (27/8).

Siti menjelaskan, salah satu kinerja paling signifikan terlihat pada penurunan laju deforestasi. Merujuk pada data Kementerian LHK, terjadi penurunan angka deforestasi pada periode 2011 sampai 2017 dibandingkan kurun waktu 2003 sampai 2009. Penurunan dikarenakan adanya kebijakan penghentian pemberian izin baru pada kawasan hutan primer dan gambut.

Siti menuturkan, pembiayaan dari GCF akan dikembalikan untuk program-program pemulihan lingkungan, terutama kehutanan dan penanganan deforestasi. Kebijakan ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi.

"Jadi, pasti dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan dan agenda-agenda dari REDD+, termasuk untuk gambut dan dukungan kepada masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat adat," tuturnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pendanaan ke Indonesia ini bahkan melampaui pembiayaan dari GCF ke Brazil yang memiliki Hutan Amazon. Sebelumnya, Brasil mendapatkan pendanaan sebesar 96,5 juta dolar AS dengan skema yang sama.

Sri menyatakan, dirinya mengapresiasi kinerja Kementerian LHK dan seluruh pemangku kepentingan untuk mencapai pendanaan tersebut. "Khususnya dalam rangka menjaga salah satu yang merupakan sumber emisi karbon, yakni deforestasi dan degradasi," ujarnya, dalam kesempatan yang sama.

Indonesia juga memiliki beberapa fasilitas pendanaan iklim REDD+ lainnya. Pertama, kerja sama dengan Norwegia yang sudah diimplementasikan dalam Letter of Intent (LoI) mengenai kerjasama dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.

Pendanaan juga akan dilakukan dengan skema RBP atau menggunakan basis kinerja. Dalam fase pertama RBP Bilateral, Norwegia akan membayar Indonesia sebesar 56 juta dolar AS, yakni kompensasi setara dengan 11,2 juta ton CO2 equivalent untuk pencapaian pengurangan emisi gas rumah kaca pada 2017.

Sri menambahkan, Indonesia juga melakukan kerja sama dengan Bank Dunia melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Dengan skema ini, Indonesia berpotensi mendapatkan 110 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,6 triliun untuk mencegah kerusakan hutan dan deforestasi, terutama di Kalimantan Timur.

Pendanaan lainnya bersumber dari Bio Carbon Fund yang merupakan fasilitas multilateral. Sri menjelaskan, Indonesia mendapatkan insentif dari sisi pengurangan emisi terkait REDD+ di provinsi Jambi dalam periode 2020-2025. "Indonesia berpotensi mendapatkan dana hingga 77 juta berdasarkan kinerja penurunan emisinya," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.

Dari fiskal, Sri mengatakan, Kemenkeu juga sudah mengembangkan climate budget tagging untuk membantu pendanaan perubahan iklim. Mekanisme yang sudah dimulai sejak 2016 ini berupa penandaan anggaran belanja kementerian untuk aktivitas yang terkait perubahan iklim.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler